Ini Dampak Ekonomi yang Dirasakan Masyarakat Tepi Barat Akibat Serangan Israel

Israel memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap Otoritas Palestina.

EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Warga Palestina memeriksa kerusakan di sebuah rumah usai serangan Israel di desa Kafr Dan dekat kota Jenin, Tepi Barat,(ilustrasi)
Rep: Frederikus Bata Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Para remaja di Palestina terlihat melewati rintangan di dalam tenda yang menjulang tinggi di pinggiran Ramallah, pusat kota keuangan Tepi Barat yang diduduki. Sedikit gambaran situasi terkini di sana.

Baca Juga

Rupanya situasi menantang tidak hanya dihadapi para siswa di paviliun. Direktur sekolah juga mengalami kendala keuangan untuk membeli tenda dari Eropa, dan trampolin dari Asia. "Kami menderita karena pembayaran internasional," kata Mohamad Rabah, kepala Sekolah Sirkus Palestina, dikutip dari Arab News, Senin (17/6/2024).

Ia menjelaskan proses birokrasi yang kompleks. Pengiriman peralatan bisa mengalami penundaan hingga satu bulan. Perbankan di wilayah Palestina mendapat tantangan sulit. Itu karena Otoritas Palestina (PA) berada dalam pengawasan ketat, terkait dugaan pembiayaan teror. Keadaan demikian menghambat transaksi.

Israel telah menduduki Tepi Barat sejak 1967. Hubungan ekonomi yang kuat memungkinkan dua lembaga pemberi pinjaman Israel berfungsi sebagai bank koresponden di wilayah Palestina. Hal ini bisa berubah jika Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, melaksanakan ancamannya. Ia mengancam memutus hubungan jalur vital perbankan pada bulan depan.

Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang Gaza, Israel memberlakukan pembatasan ekonomi terhadap Otoritas Palestina, menahan pendapatan pajak yang dikumpulkan atas nama PA. Smotrich mengatakan ia telah mengalihkan pendapatan pajak PA sebesar 35 juta dolar AS kepada keluarga korban 'terorisme', sebuah tindakan yang dikutuk oleh Amerika Serikat.

Baca di halaman selanjutnya...

Setelah tiga negara Eropa mengakui Palestina sebagai negara pada Mei 2024 lalu, Smotrich mengatakan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ia tidak akan memberikan kompensasi kepada bank-bank yang melakukan transfer dana mulai akhir Juni 2024 ini. Bank Israel, Bank Hapoalim dan Bank Discount, membutuhkan perlindungan hukum yang berakhir pada 1 Juli 2024, untuk menghindari sanksi atas transaksi dengan pihak pemberi pinjaman Palestina.

Bank sentral dan kementerian keuangan Israel menolak berkomentar ketika dihubungi oleh AFP. Saluran perbankan yang digunakan untuk membayar impor ke Tepi Barat, termasuk barang-barang penting seperti air, bahan bakar, dan makanan, mengelola transaksi senilai delapan miliar dolar AS per tahun. Bisnis Palestina menerima hampir 1,7 miliar dolar AS per tahun untuk ekspor, menurut Otoritas Moneter Palestina (PMA).

"Bagi kami, karena perekonomian kami bergantung pada perekonomian Israel, karena Israel mengendalikan perbatasan, dampaknya akan besar," ujar Gubernur PMA Feras Milhem.

Perekonomian Palestina sebagian besar diatur oleh Protokol Paris 1994. Itu memberikan kendali eksklusif atas perbatasan wilayah tersebut dengan Israel, termasuk hak untuk memungut bea masuk dan pajak pertambahan nilai untuk Otoritas Palestina (PA).

Mata pencaharian orang-orang Palestina juga terkena dampak dari larangan masuknya pekerja ke Israel. Juga penurunan tajam dalam pariwisata di wilayah tersebut, termasuk musim Natal yang sepi di Betlehem.

Baca di halaman selanjutnya...

Amerika Serikat mendesak Israel untuk memperbaiki kondisi tersebut. AS memperingatkan bahwa memutus jalur perbankan akan berdampak buruk pada perekonomian Tepi Barat. "Saya yakin hal ini akan menciptakan krisis kemanusiaan jika bank-bank Palestina diputus dari korespondensi Israel," ujar Menteri Keuangan AS Janet Yellen bulan lalu.

Pemerintah negara-negara Barat khawatir kebijakan ekonomi Israel dapat mengganggu stabilitas Tepi Barat. "Sistem perbankan bisa runtuh dan Otoritas Palestina juga bisa runtuh. PA berada dalam krisis keuangan dan bisa runtuh sebelum Agustus,” kata seorang sumber diplomatik Eropa di Yerusalem yang tidak mau disebutkan namanya.

Para pengusaha Palestina mengatakan keuntungan mereka terdampak sejak 7 Oktober. Pemilik perusahaan plastik, Imad Rabah, mengatakan laba bersihnya turun 50 persen dalam setahun. Musa Shamieh, pemilik perusahaan pakaian perempuan mengatakan, kebijakan Israel dirancang untuk mendorong warga Palestina meninggalkan Tepi Barat.

"Mereka ingin kami meninggalkan tanah kami dan mereka tahu akan sulit bagi kami untuk tetap tinggal jika kami tidak bisa berbisnis," ujar Shamieh.

Kebijakan ekonomi Israel yang keras pada akhirnya dapat mendorong para pembuat kebijakan Palestina untuk melakukan perubahan besar-besaran pada sistem moneter. Ada plan b, dalam hal hubungan dagang. Yousef Daoud, seorang profesor di Universitas Birzeit di Tepi Barat, mengatakan bahwa wilayah tersebut dapat menggantikan syikal sebagai mata uang de facto dan mendukung alternatif digital.

 
Berita Terpopuler