Tanda Kiamat Budak Melahirkan Tuannya, Apa Maksudnya?

Ada berbagai tafsiran tentang hadis mengenai budak melahirkan tuannya.

republika
Tanda-tanda kiamat (ilustrasi)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara berbagai tanda kiamat besar adalah fenomena yang cukup unik, yakni budak melahirkan tuannya. Hal itu diungkapkan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan Imam Muslim.

Baca Juga

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW ditanya oleh seorang lelaki--yang belakangan diketahui sebagai Malaikat Jibril dalam wujud manusia.

عن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال:... فأخبرني عن الساعة قال: ما المسئول عنها بأعلم من السائل قال : فأخبرني عن أماراتها قال أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان

"Dari Umar bin Khattab RA, (diriwayatkan bahwa) seorang lelaki bertanya (kepada Nabi SAW), 'Beritahukan kepadaku kapan terjadinya kiamat.'

BACA JUGA: Impor Barang Israel ke Indonesia Melonjak, Pengamat Menduga yang Mengatur Singapura

 

Rasulullah SAW menjawab, 'Yang ditanya tidaklah lebih mengetahui daripada yang bertanya.'

Dia pun bertanya lagi, 'Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!'

Nabi SAW menjawab, 'Jika budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa), serta gembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi'" (HR Muslim).

Dilansir dari laman Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, salah satu ciri akan terjadinya hari kiamat adalah jika budak wanita telah melahirkan tuannya. Diakuinya, ucapan yang disampaikan Nabi SAW tersebut agak aneh terdengar, bahkan untuk para ahli hadis sekalipun.

Tentunya lafal ini adalah... Selanjutnya...

 

"Tentunya lafal ini adalah kalimat yang bisa punya makna sesungguhnya, tetapi bisa jadi sebuah idiom atau ungkapan khas, yang barangkali di masa Nabi SAW cukup dipahami dengan mudah maknanya. Namun, buat kita yang tidak hidup di sana, cukup bingung juga memahaminya," tuturnya.

Ustaz Ahmad memaparkan, ada beberapa penafsiran terkait hal itu dari para ulama hadis melalui banyak karyanya.

BACA JUGA: Ketika Orang Minang Koreksi Bacaan Imam Masjidil Haram

Paling tidak ada empat makna yang saling berbeda yang sering kali diungkapkan para ulama. Satu versi melihat dengan konotasi positif. Adapun tiga versi lainnya melihat dengan pandangan negatif.

Pertama, tanda bahwa sudah semakin tersebarnya agama Islam. Bila disebut bahwa para budak wanita telah melahirkan orang-orang yang jadi tuannya. Artinya, perbudakan telah hilang dari muka bumi. Karena para budak itu tidak lagi melahirkan budak, melainkan telah melahirkan orang-orang yang merdeka.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang telah berhasil menghapuskan perbudakan. Manusia pada akhirnya tidak lagi mengalami sistem yang menistakan kemanusiaan itu. "Maka ungkapan bahwa 'budak melahirkan tuannya' dalam pendapat ini menjadi sesuatu yang bersifat positif," paparnya.

Pandangan kedua, ungkapan 'budak telah melahirkan tuannya' sekadar menjadi ungkapan. Maknanya adalah bahwa anak-anak akan menjadi durhaka kepada orang tuanya, terlebih kepada ibunya. Ibarat ibu yang menjadi budak, dan anak menjadi tuan yang memperbudak ibunya sendiri.

"Dalam pandangan ini, gambarannya malah terbalik, bukan gambaran yang bersifat optimistis, melainkan bersifat apatis. Tanda-tanda kiamat dihiasi dengan semakin hilangnya rasa hormat kepada orang tua," lanjut Ustaz Ahmad.

Pandangan ketiga... Selanjutnya...

Pandangan ketiga, tersebarnya kebodohan dan makin banyak orang abai syariat Islam. Dalam pandangan ini, apa yang disampaikan Nabi SAW merupakan simbol dari kebodohan yang dialami oleh umat. Selain kebodohan, juga terhinanya kaum Muslimin.

Pandangan keempat, tersebarnya zina dan nikah syubhat. Penafsiran ini menyampaikan bahwa kiamat akan didahului dengan tersebarnya zina di mana-mana, sampai para wanita budak melahirkan anak dari orang yang merdeka. Itu terjadi lewat perzinaan yang melanggar syariat Islam.

"Atau zina sudah menjadi sebuah fenomena massal dan kebiasaan masyarakat sehari-hari. Di mana-mana kita temui zina, bahkan di kampung sendiri. Sesuatu yang di masa lalu masih tabu kita dengar, tapi hari ini tidak demikian. Di layar kaca, misalnya, ditayangkan bagaimana selingkuh dan perzinaan berubah dari tontonan menjadi tuntunan," jelas Ustaz Ahmad.

Dalam Alquran dan beberapa hadis Rasulullah SAW, ada lima prinsip pokok dalam yang harus dilakukan seorang Muslim saat memperlakukan budak. Kelimanya menjadi jalan untuk menghapuskan sistem perbudakan dari muka bumi.

Pertama, berbuat baiklah pada hamba sahaya, sebagaimana kita berbuat baik pada kedua orang tua sendiri, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, dan tetangga jauh.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS an-Nisa: 36).

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa antara budak dan orang tua sendiri pun terdapat kesamaan, yakni sama-sama manusia. Ini menunjukkan, Islam mengajarkan kesetaraan di antara insan.

Nabi SAW melarang seorang Muslim... Selanjutnya...

Kedua, Nabi SAW melarang seorang Muslim memanggil budak dengan ungkapan yang menghina dan istilah yang mengandung konotasi hamba. Beliau bersabda,

لا يقولَنَّ أحدُكم عبدي وأمتي ولكن ليقُلْ فتاي وفتاتي

"Janganlah kamu panggil budakmu dengan 'Hai budakku, hai hambaku,’ tetapi ia harus dipanggil dengan ‘Hai pemudaku, hai remajaku’” (HR Muslim).

Ketiga, berilah makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk budak, sebagaimana makanan, pakaian dan hunian yang digunakan oleh majikannya. Bahkan, Islam mengajarkan bahwa tuan dan budak makan dalam satu meja dan pada waktu yang sama. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda,

إخوانكم خولكم، جعلهم الله تحت أيديكم، فمن كان أخوه تحت يديه فليطعمه ممّا يأكل، وليلبسه ممّا يلبس، ولا تكلّفوهم ما يغلبهم، فإن كلّفتموهم ما يغلبهم فأعينوهم

"Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan Allah berada di bawah pengawasanmu. Maka siapa saja di antara saudaramu yang berada di bawah kekuasaanmu, berilah dia makanan seperti yang kamu makan, serta berilah ia pakaian seperti yang kamu pakai. Dan jangan sekali-kali beri mereka tugas atau beban yang tidak bisa mereka lakukan. Dan bila diberi tugas yang agak berat, bantulah mereka sehingga mereka merasa senang untuk melakukannya” (HR Bukhari).

Keempat, budak dilarang untuk dianiaya dan disakiti. Jika si majikan melakukan penganiayaan, ia pun wajib membebaskan budaknya. Rasul SAW bersabda,

مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ

"Siapa yang menampar (menganiaya) budaknya, maka ia wajib memerdekakannya” (HR Ahmad bin Hanbal).

Suatu ketika, Ibnu Mas'ud kedapatan memukul budaknya. Mengetahui itu, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Wahai Ibnu Mas’ud, Allah telah menetapkan terhadapmu sebuah kewajiban mengenai budakmu itu.”

Ibnu Mas'ud menjawab, “Kalau demikian, karena Allah ia merdeka.”

Nabi SAW lalu memberitahukannya, "Sungguh, seandainya engkau tidak memerdekakannya, kelak ia akan menyeretmu ke dalam neraka" (HR Muslim).

Terakhir, anjuran untuk mendidik dan mengajari budak. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang memiliki budak, maka ia harus mengajarinya dan memperlakukannya dengan baik serta mengawinkannya. Dengan demikian, ia mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.” (HR Abu Dawud).

Jelaslah bahwa kelima prinsip itu menunjukkan keberpihakan Islam pada penghapusan sistem perbudakan dari muka bumi.

 
Berita Terpopuler