Kota di Mesir Ini Pernah Dilanda Tsunami Mematikan Telan 5000 Jiwa, Kini Jadi Wisata

Alexandria merupakan salah satu kota bersejarah di Mesir

Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Alexandria, Mesir.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – UNESCO pada 25 Mei 2024 menyetujui Kegubernuran Alexandria sebagai kota pertama di Afrika dan Mesir yang menerapkan standar untuk mengurangi risiko gelombang tsunami.

Hal ini didasarkan pada prestasi yang diraih Institut Ilmu Kelautan dan Perikanan Nasional Mesir, di bidang kesadaran akan bahaya gelombang tsunami yang akan datang akibat perubahan iklim dan letusan Laut Mediterania.

Di balik itu, ternyata Mesir menyimpan sejarah panjang tentang tsunami. Sebab sepanjang sejarahnya, sebagian besar kota Mesir kuno ini hilang ditelan laut karena tenggelam akibat gelombang tsunami sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 365 M dan 1303 M.

Pada 365 M, gempa bumi dahsyat di lepas pantai Yunani menyebabkan tsunami dahsyat yang melanda kota Alexandria, Mesir.

Meski belum ada alat ukur pada saat itu, para ilmuwan kini memperkirakan gempa tersebut sebenarnya berkekuatan dua kali gempa berturut-turut, yang terkuat diyakini memiliki suhu 8,0 derajat.

Episentrum gempa berada di dekat batas lempeng yang dikenal sebagai Busur Hellenic,yaitu pegunungan melengkung di bagian selatan Laut Aegea. Gempa tersebut dengan cepat mengirimkan dinding air melintasi Laut Mediterania menuju pantai Mesir, menyebabkan kapal-kapal terbalik di pelabuhan Alexandria ketika air tiba-tiba surut dari pantai.

Hal ini menyebabkan banyak dari mereka jatuh ke bangunan. Akibatnya, sekitar 5.000 orang kehilangan nyawa dan 50 ribu rumah hancur.

Desa-desa dan kota-kota di sekitarnya bahkan lebih hancur, banyak di antaranya hampir terhapus dari peta, dan sekitar 45 ribu orang tewas akibat gempa bumi tersebut.

Selain itu, genangan air asin di kota menyebabkan lahan pertanian tidak dapat digunakan selama bertahun-tahun, dan bukti menunjukkan bahwa garis pantai di wilayah tersebut secara permanen diubah oleh gempa bumi.

 

Bangunan-bangunan di Royal Quarter Alexandria juga ditelan oleh laut setelah tsunami, dan para arkeolog juga mengalami hal tersebut belum menemukan reruntuhan kota kuno. Di lepas pantai kota saat ini hanya pada 1995.

Pada masa pemerintahan Sultan Al-Nasir Muhammad bin Qalawun, tepatnya pada waktu subuh 24 Dzulhijjah 702 H/8 Agustus 1303 M, gempa bumi dahsyat mengguncang kota tersebut.

Gempa bumi berlanjut selama beberapa jam, dan gempa susulan berlanjut selama empat puluh hari, menyusup ke seluruh wilayah Timur, melampaui perbatasan Mesir dan Levant, dan mencapai Cyrenaica, Tunisia, Sisilia, Gabes, dan bahkan Siprus. Gelombang tsunami setinggi 9 meter menyapu kapal-kapal besar hingga dua mil ke daratan, dan menghancurkan menara dan tembok kota.

Mercusuar kota Alexandria juga rusak, membelahnya menjadi dua bagian sebagian tembok utara runtuh, dan tangki air yang digunakan untuk mengairi kota pecah, menenggelamkan perdagangan dan menghancurkan uang dan barang para pedagang.

Lokasi kota memainkan peran penting dalam skenario tenggelamnya kota tersebut.

Baca Juga

Pada 331 SM, Alexander Agung memilih untuk membangun kota di antara dua perairan: Laut Mediterania di utara untuk menjadi pusat komersial, dan Danau Mariout di selatan.

Dengan demikian, "Pelabuhan Alexander" dibangun, dan proyek ini dilaksanakan oleh insinyur Yunani Dinocrates.

Lokasi yang dipilih adalah tanah tandus, sehingga Dinocrates memutuskan untuk membuat sistem yang cerdas dan kompleks untuk memasok air ke tanah melalui kanal yang berasal dari Sungai Nil, mendistribusikannya melalui jaringan pipa bercabang, dan menyimpannya di dalam tangki bawah tanah.

Beberapa bagian dari jaringan ini masih ada sampai sekarang tapi tidak memiliki fungsi apa pun. Karena kota Alexandria saat ini dibangun di atas reruntuhan beberapa kota kuno, yang merupakan alasan lain terjadinya penurunan permukaan tanah.

Lokasi Alexandria ini terletak di dekat lempeng tektonik aktif, yang telah menyebabkan banyak gempa bumi dan kerusakan kota baik dalam sejarah maupun modern.

Patut dicatat bahwa salah satu dampak dari pergerakan tanah ini adalah penurunan permukaan tanah, yang sangat penting bagi studi geologi. Inilah yang dianggap sebagai kunci untuk memprediksi risiko gempa bumi di wilayah pesisir saat ini.

Sumber: arabicpost.net

 
Berita Terpopuler