Jejak PDIP dan PKS Dulu Dukung, Sekarang Kompak Tolak Iuran Tapera

Pemerintah akan menarik iuran Tapera dari gaji karyawan sebesar 3 persen.

Republika/Thoudy Badai
Kondisi salah satu lorong Rusunawa Marunda Blok C di Jakarta Utara, yang tidak terawat. Pemerintah akan memotong gaji karyawan 3 persen agar mereka memiliki rumah.
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah menerapkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai sikap kontra yang masif di masyarakat. Apalagi, potongan tiga persen dari gaji menambah daftar potongan karyawan setiap bulan, setelah sebelumnya dikenakan BPJS Kesehatan dan Ketengakerjaan. Tidak sedikit, suara warganet menuding keputusan pemerintah memotong gaji lewat Tapera seperti era penguasa VOC memungut pajak dari penduduk jajahan.

Baca Juga

Jika dicermati, ternyata Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera yang sudah disahkan merupakan usulan inisiatif legislatif. Merujuk laman resmi DPR, Fraksi PDIP dan PKS DPR RI periode 2014-2019, termasuk yang setuju dengan pengesahan payung hukum tersebut. Semua fraksi, termasuk PDIP dan PKS yang sekarang ikut mengkritik iuran tapera, dulunya sangat mendukung berlakunya UU Tapera agar masyarakat menengah bawah bisa memiliki rumah.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tapera DPR, Yoseph Umar Hadi memastikan, UU tersebut akan memudahkan rakyat untuk mendapatkan rumah. Karena itu, seluruh fraksi di DPR setuju pengesahan UU dalam sidang paripurna pada 23 Februari 2016.

"Nantinya masalah perumahan yang terkait dengan pembiayaan, dengan adanya UU ini akan bisa teratasi dengan cepat. Pemerintah dengan mudah akan menyediakan dana murah, secara panjang dan berkelanjutaan kepada rakyat yang susah mendapatkan rumah, karena harus bersaing dengan rakyat yang mudah mengajukan kredit rumah," kata Yoseph usai Rapat Paripurna di Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta Pusar pada 23 Februari 2016.

Politikus PDIP tersebut menyebut, kebutuhan rumah adalah kebutuhan dasar setiap manusia yang diamanatkan oleh konstitusi. Sehingga, lahirnya UU Tapera merupakan solusi revolusioner. Menurut Yosep, UU Tapera merupakan ideologi bangsa untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

Menanggapi kabar pengusaha merasa keberatan dengan besaran simpanan, menurut Yoseph, besaran simpanan, nantinya diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Dia juga memastikan, ketika Pemerintah menyusun PP akan menyerap aspirasi dari pengusaha.

"Besaran simpanan yang wajib disetorkan kepada dana Tapera tadi, itu tidak disebutkan dalam UU. Itu diserahkan kepada PP. Tapi nantinya akan melihat kemampuan dan kondisi ekonomi yang ada saat itu. Semakin besar, tentu akan semakin memberatkan pengusaha. Yang pasti, Pemerintah akan melakukan konsolidasi dengan pengusaha, untuk menyatukan berapa persen simpanan sesuai kemampuan perusahaan," ucap Yoseph.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Abdul Hakim mengapresiasi berbagai pihak yang mendukung lahirnya RUU Tapera. Hal itu dilandasi kondisi meningkatnya kebutuhan masyarakat atas rumah yang telah mencapai 15 juta unit. Sedangkan produksi rata-rata rumah formal kurang dari 200 ribu unit per tahun, berdasarkan data Perumnas maupun DPP Real Estate Indonesia (REI).

"Fraksi PKS memandang bahwa RUU Tapera memiliki arti penting dan strategis untuk membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah," kata Hakim yang menjadi menjadi inisiator pembahasan RUU Tapera dikutip dari laman resmi PKS.

PKS yang berposisi di luar pemerintah bahkan ikut memuji pengesahan UU Tapera. "Fraksi PKS memandang bahwa RUU Tapera memiliki arti penting dan strategis untuk membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah," kata Hakim menambahkan dikutip laman resmi DPR.

Adapun PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera yang diteken Presiden Jokowi, mengamanatkan gaji pekerja dipotong tiga persen untuk simpanan mulai Mei 2027. Hal itu karena PP Tapera berlaku tujuh tahun mulai tanggal berlaku.

"Pemberi Kerja untuk Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i mendaftarkan Pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini," begitu bunyi Pasal 68 PP Tapera.

Sebelumnya, anggota Fraksi PKS DPR RI, Suryadi Jaya Purnama merespons sikap Kantor Staf Presiden di Jakarta, Jumat, (31/5/2024), sebagai respons dari kritikan dari masyarakat terkait program Tapera. Menurut dia, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera tidak semata-mata langsung memotong gaji atau upah para pekerja non-ASN, TNI, Polri.

Hal itu karena mekanismenya akan diatur dalam peraturan yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan dan pemberlakuan kepesertaan adalah paling lambat 2027. Menurut anggota Komisi V DPR tersebut, masalah sebenarnya bukan tentang sosialisasi, melainkan terlalu lamanya pengundangan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera atau delapan tahun menunggu baru dibuat PP pada 2020 dan 2024 dan akan menunggu lagi peraturan menteri ketenagakerjaan. Pasalnya, situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas.

"Padahal UU tentang Tapera pada tahun 2016 lalu mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh seperti Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Bahkan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) DPR RI dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBS) membahas UU ini pernah dilakukan pada 23 November 2015," ucap Suryadi.

 

PDIP tuding penindasan...

Pun dengan PDIP yang sekarang tidak kalah kencang mengkritik UU Tapera. Menurut Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, iuran aturan Tapera yang mewajibkan pemotongan gaji karyawan merupakan bentuk baru penindasan pemerintah kepada warganya.

"Undang-Undang Tapera sebenarnya tidak mewajibkan, namun ketika ini diberlakukan sebagai kewajiban, maka ini menjadi suatu bentuk penindasan dengan memanfaatkan legalisme otokrasi," kata Hasto dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.

 
Berita Terpopuler