Jauh dari Keluarga, Kesedihan Pekerja Migran di Malaysia Saat Idul Fitri

Mereka tidak pulang saat Idul Fitri karena harus mencari nafkah.

Adib Rawi Yahya/theSun
Seorang perantau dari Bangladesh, Toybur Alamin (36 tahun) menghabiskan libur Idul Fitri di Menara Petronas, Malaysia, Rabu (10/4/2024).
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Bagi para perantau atau pekerja asing Muslim di Malaysia, Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi saat yang menyedihkan ketika mereka memikirkan keluarga mereka di negara asal mereka.

Seorang perantau dari Bangladesh, Toybur Alamin (36 tahun) dalam lebaran tahun ini pikirannya hanya tertuju pada istri dan dua anaknya yang berusia lima dan tiga tahun.

Meskipun Toybur sudah sering berbicara dengan keluarganya melalui panggilan video, hal itu tidak sama jika dibandingkan dengan bersama mereka saat momen Idul Fitri.

“Saya sangat merindukan mereka dan istri saya sering menitikkan air mata karena saya tidak ada untuk melengkapi keluarga kami,” ujar Toybur dilansir The Sun, Jumat (12/4/2024).

Tetapi, istrinya memahami Toybur perlu berada di Malaysia karena hanya ada sedikit pekerjaan yang tersedia di kampung halamannya di Madaripur. “Dia juga tahu bahwa saya harus mencari nafkah di sini agar anak-anak kami bisa hidup lebih baik,” ucap Toybur.

Baca Juga

Toybur telah cukup lama bekerja...

Toybur telah cukup lama bekerja di bidang konstruksi. Dia telah bekerja di Malaysia selama sekitar lima tahun dan selama itu dia juga membantu beberapa saudara kandungnya secara finansial.

“Lima saudara saya berada di Bangladesh dan dua lainnya bekerja di Indonesia. Ini sulit bagi kami. Kami menghabiskan banyak uang untuk membayar agen perekrutan hanya untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri,” kata Toybur.

“Meski begitu, beberapa agen perekrutan meminta lebih banyak uang yang harus kami bayarkan, jika tidak, mereka hanya akan menunda dokumentasi kami dan melakukan perjalanan ke luar negeri,” jelas dia.

Toybur kemarin bersama teman-temannya berada di Jalan Silang, salah satu destinasi favorit para pekerja asing yang berkumpul di lokasi tersebut saat berlibur.

“Kami selalu berada di sini saat istirahat panjang, sekadar makan bersama, bersantai, selfie, dan ngobrol. Foto itu penting karena kami dapat mengirimkannya ke keluarga kami dan meyakinkan mereka bahwa kami baik-baik saja,” ujar Toybur.

Dia mengatakan teman-temannya di Malaysia...

Dia mengatakan teman-temannya di Malaysia telah menjadi keluarga baginya selama bertahun-tahun dan mereka selalu berencana menghabiskan liburan bersama.

Perantau dari Pakistan di Menara Kembar Petronas, Abedul Raseed (29) juga memiliki nasib yang sama saat lebaran Idul Fitri. Pemuda asal Lahore ini merupakan buruh pabrik furnitur dan mengaku sudah dua tahun berada di Malaysia.

Anak sulung dari dua bersaudara ini mengatakan, orang tuanya sakit-sakitan dan adik laki-lakinya masih bersekolah. Ia harus mencari nafkah di Malaysia untuk menafkahi mereka.

“Gaji saya tidak terlalu tinggi, tapi saya punya teman yang memiliki toko yang menjual karpet dari Pakistan, Iran, dan Turki, jadi pada hari libur, saya membantu mereka hanya untuk mendapatkan uang tambahan,” ucap Abedul.

Abedul mengatakan dia juga melakukan panggilan video ke rumah setiap hari agar orang tuanya tidak mengkhawatirkannya.

Saya berasal dari keluarga dekat...

“Saya berasal dari keluarga dekat dan saya tahu mereka mengkhawatirkan saya. Ibu saya sering berbicara tentang saya akan menikah. Tapi itu harus menunggu karena menghasilkan uang adalah prioritas saya,” kata dia.

“Aidilfitri ini, saya ngobrol panjang lebar dengan adik saya dan menyuruhnya untuk giat belajar,” jelas dia.

Abedul juga berjanji akan mengirim lebih banyak uang ke kampungnya bulan ini karena bosnya memberi uang THR. Baik Toybur maupun Abedul mengatakan mereka secara umum bahagia di Malaysia, namun memohon agar masyarakat Malaysia lebih menunjukkan rasa hormat kepada mereka.

“Beberapa warga Malaysia nampaknya marah ketika kami berkumpul dalam kelompok besar di KLCC atau tempat menarik lainnya. Saya menyesal mereka merasa tidak nyaman, tapi ke mana lagi kami bisa pergi,” kata Toybur.

Hal senada juga disampaikan Abedul. “Kami juga manusia, dan kami punya perasaan. Kami telah belajar Bahasa Malaysia dan kami dapat memahami ketika kami dihina oleh beberapa orang yang bertanya, 'mengapa mereka ada di sini dan bukannya berada di tempat kerja mereka?’” ucap dia.

Abedul mungkin tidak berpendidikan tinggi atau mengenakan pakaian mahal, tapi ia juga punya perasaan. “Saya berharap masyarakat Malaysia memahami hal ini karena suatu hari, anak-anak Anda mungkin bekerja di luar negeri, dan Anda tidak ingin mereka diperlakukan dengan buruk,” kata Abedul.

 
Berita Terpopuler