Ulama Perempuan yang Disegani pada Masa Kejayaan Islam di Andalusia Spanyol

Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah dikenal cendekiawan ulung

EPA-EFE/FAROOQ KHAN
Ilustrasi. Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah dikenal cendekiawan ulung
Rep: Muhyiddin, Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Aisyah binti ahmad al-Qurthubiyah (w 1009 M) merupakan seorang perempuan cerdas, sastrawan, panyair Andalusia terkemuka pada zamannya. Intinya, ia memiliki pengetahuan yang luas.

Baca Juga

Lebih dari itu, Aisyah juga dikenal sebagai syughufah bil qira’ah wal mu’anasah bil kutub (kutub buku). Dalam “Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Jomblo“ karya KH Husein Muhammad menjelaskan, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah bahkan memiliki perpustakaan pribadi yang berisi buku-buku dan manuskrip langka.

Khalifah Andalusia, Abdurrahman III, yang bergelar An-Nashir (sang pemenang) juga mengagumi Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah. Bahkan, sang khalifah memberikan penghormatan yang tinggi kepada Aisyah, karena kapasitas intelektualnya yang menonjol, bahkan di antara para intelektual laki-laki.

Seorang sastrawan dan sejarawan besar, Ibnu Hayyan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqtabas, memberikan kesaksian atas kepiawaian perempuan cerdas tersebut. Ibnu Hayyan menyampaikan kekagumannya yang luar biasa terhadapnya sebagai berikut:

“Tak ada seorang pun di Andalusia pada zaman itu yang mengungguli Aisyah al-Qurthubiyah dalam banyak aspek: pengetahuan, sastra, puisi, kefasihan bertutur kata, dan keluhuran pribadinya.”

Sedangkan penulis buku Al-Maghrib, menyebut Aisyah al-Qurthubiyah sebagai innaha min ajaib zamaniha wa gharaib awaniha. Artinya, perempuan paling mempesona dan paling “Aneh” pada zamannya.

Namun, sampai akhir hayatnya, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah memilih untuk tidak menikah. Tidak diketahui alasan pasti mengapa perempuan cerdas ini memilih menjomblo seumur hidupnya.

Tetapi, banyak orang menduga bahwa ia memilih tidak menikah karena lebih sibuk dengan ilmu pengetahuan, belajar, membaca, dan meneliti daripada mengamati wajah-wajah para pelamarnya.

Ada juga yang menduga, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah tidak menikah karena baginya menggumuli ilmu pengetahuan itu jauh lebih nikmat daripada kenikmatan menikah dan terikat.

 

Kemajuan Andalusia, Spanyol 

Selama lebih dari tujuh abad, dari 8 M sampai 15 M, peradaban Islam pernah berakar kuat di Spanyol. Wilayah kekuasaan Islam itu lebih dikenal dengan Andalusia. 

Sejak pertengahan abad ke-10 hingga awal abad ke-11, Kordoba menjadi Permata Eropa. Pusat Daulah Umayyah di Andalusia itu berperan sebagai jembatan peradaban Islam di Benua Biru. 

Dari sanalah, orang-orang Barat mulai mengenal dan mempelajari berbagai kemajuan yang dicapai Muslimin. 

Prof Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia mengatakan, Kordoba dan Andalusia secara keseluruhan adalah saluran penting untuk proses transfer pemberadaban (civilising) dari Islam ke Eropa (baca: Barat). Hal itu mencakup bidang ilmu, pemikiran, sosial, ekonomi, dan sebagainya. 

Wilayah Muslimin ini memang sempat dilanda kekacauan politik yang hebat pascawafatnya al-Muzhaffar pada 1008 M. Namun, Andalusia terus bertahan sebagai mimbar pencerahan hingga titik nadir yang tidak lagi terpulihkan, Reconquista, yang ditandai jatuhnya Granada pada 1492 M. 

Keagungan daulah Islam ini diakui para penulis Eropa yang sezaman ataupun era modern. Sosiolog Prancis Gustave Le Bon menulis, “Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Mereka memberikan perhatian yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan sastra, menerjemahkan buku-buku Yunani dan Latin, dan mendirikan universitas-universitas yang menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan peradaban di Eropa dalam waktu yang lama.” 

Mekarnya peradaban Islam di Andalusia juga didukung kebijakan penguasa yang tidak menutup kesempatan bagi siapapun warga. Selama tidak mengancam keamanan negeri, para amir dan khalifah mempersilakan warga dari kalangan Nasrani ataupun Yahudi untuk bekerja di institusi-institusi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. 

Keberadaan kaum terpelajar non-Muslim bukanlah hal yang tabu di lembaga-lembaga yang dibiayai ne gara. Dengan membangun banyak sarana dan prasarana pendidikan, khalifah dapat menerapkan pembuda yaan dengan medium bahasa Arab.

Orang-orang Spanyol, termasuk yang non-Muslim, menjadi terbiasa berbahasa Arab. Bahkan, menurut as-Sirjani, mereka lebih mengutamakannya daripada bahasa Latin. 

Seperti Bait al-Hikmah Baghdad di timur, Kordoba pun menjadi tempat penerjemahan buku-buku ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya yang diterjemahkan ialah catatan Gallienus, Hippokrates, Plato, Aristoteles, dan Euklid. Sebaliknya, proses alih bahasa dari Arab ke Latin pun gencar dilakukan. 

Seorang penerjemah yang masyhur pada masa itu adalah Jirarid ath-Tholtoli. Intelektual kelahiran Italia itu datang ke Toledo pada 1150 M. Dikatakan bahwa ia menerjemahkan 100 buku, termasuk Al-Qanun karya Ibnu Sina dan Al-Manshuri-nya ar-Razi.     

 

Kota-kota Islam pada abad pertengahan memancarkan cahaya ke berbagai penjuru dunia. Para penulis modern mengakui dan mengagumi kemajuan yang dicapai pusat-pusat peradaban tauhid. Penulis berdarah Yahudi kelahiran Austria-Hungaria, Leopold Weiss (1900-1992), mengajak masyarakat Eropa (Barat) untuk merenungi kontribusi Muslimin bagi kebudayaan mutakhir. 

Infografis Enam Pemikir Muslim Andalusia yang Jarang Diketahui - (Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler