Ini Penyebab Negeri Yaman Diporak-porandakan dan Siapa Paling Diuntungkan? 

Yaman adalah negeri yang sangat memihak kepentingan Palestina

EPA-EFE/HOUTHIS MEDIA CENTER
Foto selebaran yang disediakan oleh pusat media Houthi menunjukkan pejuang Houthi menyita kapal kargo Galaxy Leader di Laut Merah lepas pantai Hodeidah, Yaman, (20/11/2023).
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Yaman merupakan salah satu negeri yang kuat pada awalnya, hingga penggulingan pemerintahan terjadi di negara itu dan muncul koalisi Arab untuk melawan hegemoni Houthi Syiah di kawasan tersebut. Siapa Diuntungkan? 

Baca Juga

Kolumnis Yahudi Zvi Bar’el di media Israel, Haaretz, edisi 30 Maret 2015 menulis sejumlah negara Arab sedang membentuk sebuah kekuatan (koalisi) militer yang besar nan kuat, dan untuk pertama kalinya Israel tidak merasa khawatir. "Bukan hanya tidak khawatir, tetapi sebenarnya Israel juga gembira," tulis Bar’el. 

Menurut Zvi Bar’el, selama beberapa generasi, strategi pertahanan Israel didasarkan pada satu fokus, yaitu untuk menangkal setiap koalisi militer Arab ketimbang militer negara-negara Arab secara individu.

Namun, lanjutnya, Israel justru melihat koalisi yang sekarang sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kebijakan pertahanan Israel sendiri. Bahkan, meskipun tidak terlibat dalam koalisi itu, Israel telah mengambil keuntungan dari koalisi militer Arab itu.

Hal yang sama dinyatakan pengamat Israel lainnya, Prof Eyal Zisser. Dalam makalahnya di media Israel Hayom (Israel Today) pada awal April lalu, ia mengatakan, koalisi militer pimpinan Saudi itu adalah “sesuatu yang menggembirakan”.

The Jewish Press yang terbit di Amerika Serikat pekan lalu menyebutkan alasan mengapa Israel menyambut dengan sukacita koalisi bentukan Arab Saudi tersebut. Menurut media yang menyuarakan kepentingan Yahudi itu, koalisi militer Arab untuk menyerang Israel yang pernah dibentuk 65 tahun lalu kini telah dihidupkan kembali. Namun, kali ini bukan untuk menyerang Israel, tetapi membendung pengaruh Syiah di Jazirah Arabia.

"Negara-negara Arab Suni yang menentang Arab Spring adalah mereka yang kini memimpin perang melawan pengaruh Syiah di Timur Tengah," tulis The Jewish Press. The Arab Spring atau al-Rabi’ al-‘Araby adalah revolusi rakyat Arab untuk menentang penguasa diktator otoriter yang berlangsung sejak empat tahun lalu.

Kolumnis dan wartawan senior Mesir, Fahmi Huwaidi, sepakat dengan pandangan The Jewish Press. Di Aljazirah (08/04/2015) ia menyatakan, kawasan Timur Tengah kini memang sedang berubah. Apalagi bila dibandingkan dengan 1950-an hingga 1970-an—tahun-tahun ketika Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan.

Waktu itu salah satu tujuan utama pendirian kedua organisasi atau lembaga itu adalah membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan di tanah airnya sendiri. Tanah air yang telah di-ghasab oleh Zionis Israel. Namun, kini nasib bangsa Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.

Baca juga: Heboh Wolbachia, Ini Tafsir dan Rahasia Nyamuk yang Diabadikan Alquran Surat Al-Baqarah

Mengutip Huwaidi, ada dua perubahan mendasar yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab. Pertama, para pemimpin Arab kurang atau bahkan tidak peduli lagi pada nasib bangsa Palestina.

Suasana politik, keamanan, dan bahkan kebatinan bangsa-bangsa Arab sekarang ini menunjukkan bahwa musuh utama mereka adalah pengaruh Syiah, bukan lagi Zionis Israel.

Kedua, kekhawatiran terhadap pengaruh Syiah telah mengakibatkan konflik yang tadinya bernuansa politik kini menjadi konflik antarmazhab atau paham keagamaan, tepatnya antara Suni dan Syiah.

Konflik yang demikian bisa...

 

Konflik yang demikian bisa saja melampaui batas negara Arab dan merembet ke negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) dan dapat berlangsung bertahun-tahun. "Hal inilah yang menenangkan Zionis Israel dan memunculkan rasa sukacita," ujar Huwaidi.

Contoh lain mengenai perubahan negara-negara Arab yang menguntungkan Zionis Israel adalah kasus Mesir. Menurut Mohammad al-Minsyawi, pakar politik tentang Amerika dan direktur di Lembaga al-Shuruq di Washington, selama puluhan tahun akidah atau doktrin militer Angkatan Bersenjata Mesir adalah “musuh utama mereka adalah Zionis Israel”. Namun, lanjut al-Minsyawi, doktrin tersebut kini sudah tidak banyak dibicarakan lagi di kalangan militer Mesir.

Hal itu bisa terjadi, katanya, seperti dikutip Aljazirah, adalah bentuk dari pengaruh Gedung Putih, dari satu presiden ke presiden lainnya. Pengaruh yang acap kali dibungkus dalam bentuk bantuan militer Washington ke Kairo.

Mesir hingga kini dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah, baik dari segi jumlah penduduk, politik, sosial/agama, maupun militernya. Bahkan, militer Mesir kini merupakan yang paling kuat di antara negara-negara Arab lainnya.

Ada empat rambu yang selalu digariskan AS dalam memberikan bantuan persenjataan/militer ke Mesir, yaitu untuk memerangi teroris, menjaga perbatasan, mengawal serta menjaga keamanan laut, dan terakhir memelihara keamanan Sinai.

Menurut al-Minsyawi, senjata bantuan dari Amerika tidak mungkin digunakan untuk menghadapi lawan yang didukung Gedung Putih. Artinya, peralatan militer AS, termasuk persenjataannya, tidak mungkin digunakan untuk membantu bangsa Palestina menyerang Israel.

Perubahan berikutnya yang juga disambut sukacita Zionis Israel adalah beralihnya peta kekuatan di negara-negara Arab, terutama menyangkut kekuatan ekonomi, militer, dan politik. Pada era 1980-1990-an, kekuatan dibagi banyak negara.

Ada Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Aljazair. Negara-negara Teluk pada saat itu bisa dikatakan hanyalah anak bawang. Kini negara-negara Teluk yang justru menjelma menjadi kekuatan utama Liga Arab, selain Mesir.

Salah satu contoh pengaruh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah pembentukan koalisi militer untuk menyerang milisi al-Houthi di Yaman. Dengan pengaruh politik dan ekonominya, Arab Saudi telah menjadikan isu keamanan negaranya menjadi masalah keamanan Teluk dan bahkan Liga Arab.

Mengutip pandangan Fahmi al-Huwaidi, Liga Arab sekarang ini sebenarnya adalah Liga Teluk (Dewan Kerja Sama Teluk/Majelis at Ta’awun li Duali al Khalij al ‘Arabiyah). Pengaruh negara-negara Teluk yang kuat tentu akan menguntungkan Israel.

Baca juga: Penjelasan Alquran Mengapa Bangsa Yahudi Kerap Membuat Kekacauan

 

Sebab, negara-negara yang tergabung dengan Dewan Kerja Sama Teluk selama ini dikenal dekat dengan Barat/AS, sementara Barat adalah pendukung utama eksistensi Zionis Israel.

Semua perubahan di negara-negara Arab itulah yang disambut Zionis Israel dengan sukacita. Sebaliknya, ini menurut saya, kasihan pada nasib bangsa Palestina. Kapan mereka bisa merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri seperti negara-negara lain di muka bumi? Wallahu a’lam. 

 

*Naskah resonansi Ikhwanul Kiram Masyhuri tayang di Harian Republika 2015. 

Ragam Faksi Militer di Palestina - (Republika)

 
Berita Terpopuler