Jejak Laskar Manguni, Ilmu Sihir dan Penolakan Terhadap FPI

Kemenag memastikan bentrokan di Bitung adalah masalah kriminal.

Republika.co.id
Laskar Manguni membawa pedang mengejar peserta Aksi Bela Palestina di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (25/11/2023).
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Laksar Manguni diduga terlibat dalam aksi penyerangan terhadap kelompok bela Palestina di Bitung, Sulawesi Utara. Polisi pun telah menangkap setidaknya sembilan yang diduga terlibat kerusuhan tersebut. 

Baca Juga

Dua pelaku terakhir yang ditahan terkait dengan penganiayaan dan perusakan ambulans. 

"Dari tujuh tersangka sebelumnya yang sudah diamankan, sampai Senin malam ini bertambah lagi dua tersangka yaitu OK dan IG. Tersangka tersebut diduga sebagai pelaku di tempat kejadian perkara (TKP) 1 dengan korban atas nama Anto," kata Iis Kristian didampingi Dirreskrimum Polda Sulawesi Utara Kombes Pol Gani Siahaan.

Lantas siapa sebenarnya Laskar Manguni yang disebut-sebut terkait dengan insiden ini? 

Seperti dikutip buku yang ditulis Laurens Bakker berjudul  "Citizenship and Democratization in Southeast Asia" (2017), gerakan ini lahir setelah jatuhnya Soeharto bersama kelompok-kelompok haluan ekstrem lain. 

Brigade Manguni diambil dari salah satu kelompok dalam pemberontakan Permesta pada tahun 1958-1961. Seperti pendahulu mereka, kelompok ini juga menyiapkan latihan fisik dan ilmu-ilmu sihir atau magis dari adat setempat. 

Salah satu pemimpin kelompok ini yang cukup berpengaruh adalah Dicky Mangkoem, pria asal Manado yang sempat menjadi preman di Jakarta. 

Pulang ke daerah, ia membangun jaringan dengan pemerintahan setempat, otoritas keagamaan, dan preman lokal hingga membuat sebuah organisasi besar. Saat kerusuhan di Poso, gerakan ini juga mengirimkan anggotannya di bawah nama 'Kelelawar Hitam'. 

 

Dalam perkembangan terakhir, kelompok ini telah berubah layaknya sebuah organisasi perlindungan kemasyarakatan. "Kami seperti Linmas (organisasi perlindungan masyarakat yang dibuat pemerintah), hanya saja lebih besar dan siap menghadapi semua bahaya. Kami bisa merespons lebih baik," ujar Brigade Manguni dalam buku itu. 

Dalam praktiknya, tulis buku tersebut, Brigade ini terlibat penjagaan keamanan dalam acara-acara penting seperti hari raya, pemilu, maupun pertemuan-pertemuan darurat. Kelompok ini juga terlibat dalam membantu pemerintah dalam merespons bencana alam seperti gunung berapi atau banjir.

Kelompok ini menekankan visinya untuk menjaga integritas dan perdamaian di masyarakat Minahasa. Mereka menolak masuknya FPI pada 2009 lalu dan menentang klaim sepihak negara bagian Sabah pada 2013. 

Bukan masalah Agama 

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Utara Sarbin Sehe menegaskan peristiwa di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) bukan masalah agama atau ras.

"Saya menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi di Kota Bitung, Sabtu (25/11) merupakan peristiwa kriminal, tidak ada hubungan dengan masalah suku, agama, ras dan golongan," kata Sarbin, di Bitung, Senin, dikutip kantor berita Antara.

Karena itu, Kakanwil mengajak semua elemen masyarakat di Kota Bitung agar tetap tenang dan mempercayakan aparat penegak hukum bekerja. "Kita percayakan penyelesaian kasus kriminal tersebut kepada aparat penegak hukum," jelasnya.

Kakanwil juga meminta para pimpinan lembaga agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan ASN Kemenag untuk terus memberi edukasi kepada masyarakat menjaga persatuan, kerukunan dan kebersamaan di tengah masyarakat Kota Bitung.

Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Utara Sarbin Sehe didampingi Kepala Kantor Kemenag Bitung Yahya Wahidin Pasiak, Kepala Bidang Urusan Agama Kristen Pdt Meidie Tasik, Kepala Bidang Pendidikan Kristen Pdt Anneke M Purukan, Pembimas Katolik Joula Makarawung dan Pembimas Buddha Saryono melakukan monitoring sekaligus bersilahturahmi dengan para Kepala KUA se-Kota Bitung, pimpinan Lembaga Keagamaan, Ormas Kepemudaaan dan perwakilan Pemkot Bitung. 

Kronologi 

Adapun dari laporan resmi Kesbangpolda Provinsi Sulut yang diterima wartawan menyampaikan, bentrokan dua kelompok yang terjadi di Kota Bitung pada Sabtu (25/11/2023) tersebut adalah antara Kelompok Masyarakat Muslim dan Masyarakat Adat Makatana-Minahasa. Kelompok Masyarakat Muslim yang diinisiasi oleh Barisan Solidaritas Muslim (BSM) bersama-sama masyarakat Islam melakukan aksi damai Bela Palestina dan shalat ghaib untuk masyarakat Muslim korban peperangan di Gaza-Palestina.

 

 

Sementara Masyarakat Adat Makatana-Minahasa bersama-sama Pasukan Laskar Kristen Manguni Makasiou, pada hari dan jam yang sama melakukan Parade Budaya HUT ke-12 ormas tersebut. Dikatakan dalam laporan tersebut, sebetulnya dua kegiatan masing-masing kelompok itu digelar terpisah di dua lokasi.

Lokasi aksi damai Bela Palestina di gelar di Masjid Ribaathul Quluub. Sedangkan Parade Budaya Laskar Manguni Makasiou digelar longmarch dari Kantor Polres Kota Bitung menuju Gedung Kantor DPRD Kota Bitung. Melihat dari peta, titik kumpul akhir dua kegiatan dua kelompok tersebut memang saling berselisihan.

Dari sejumlah dokumentasi di media sosial (medsos) sebagian para peserta budaya mengenakan pakaian adat perang, lengkap dengan senjata tajam parang, samurai, dan kayu. Para peserta longmarch budaya itu, juga mengenakan seragam hitam dan membawa, serta mengibar-ngibarkan bendera Zionis Israel.

Sementara para peserta shalat ghaib untuk Palestina hanya didominasi para ibu-ibu, perempuan, dan pemuda-pemudi Islam yang tak ada terlihat membawa-bawa senjata tajam. Meskipun memang para peserta aksi damai solidaritas tersebut, turut serta membawa bendera-bendara Indonesia, dan juga Palestina.

Dari laporan itu dikatakan, kerusuhan mulai terjadi sekitar Pukul 16:17 WITA. Disebutkan Laskar Manguni dari Makatana Minahasa yang berkumpul di Taman Kesatuan Bangsa Bitung mendesak aparat keamanan untuk melanjutkan konvoi ke arah pusat kota dengan melintas di kawasan Masjid Ribaathul Quulub.

Jarak dua lokasi tersebut mengacu peta, hanya sekitar 450 meter dari Jalan Ir Soekarno. “Masa dari Masyarakat Adat Makatana Minahasa bersama Pasukan Kristen Manguni Makasiou berusaha memasuki pusat kota menuju posisi kegiatan Barisan Solidaritas Muslim. Namun dihalang-halangi dan disekat oleh aparat keamanan kepolisian,” begitu menurut laporan itu.

Disebutkan, pada Pukul 16:54 WITA terjadi pengejaran yang dilakukan oleh kelompok Pasukan Manguni terhadap seseorang peserta Aksi Bela Palestina. “Pengejaran itu diduga karena adanya peserta yang meneriakkan kalimat takbir (Allahu Akbar). Kemudian ormas adat melakukan pengejaran sampai ke Pasar Kanopi,” begitu menurut laporan tersebut. Ketika peristiwa itu terjadi, kelompok Laskar Manguni masuk ke pusat kota.

“Masa tersebut berpapasan dengan ambulance yang menggunakan atribut bendera bertuliskan tauhid. Kemudian ormas adat tersebut melakukan pengrusakan terhadap kendaraan ambulance tersebut,” begitu menurut laporan itu.

Dalam aksi perusakan, dan pembakaran kendaraan tersebut, pun kelompok Kristen Manguni membakar semua atribut-atribut keislaman yang ada di ambulan itu. “Serta diketahui adanya penganiayaan terhadap salah seorang dari peserta shalat ghaib,” begitu menurut laporan tersebut. Melihat aksi parade budaya yang berujung teror terhadap peserta shalat ghaib itu, masyarakat Islam dari Barisan Solidaritas Muslim (BSM) Kota Bitung dari Kampung Sari Kalapa melakukan aksi balasan dengan melempari peserta adat yang membawa senjata tajam.

“Dan terjadi aksi baku lempar batu dan panah,” begitu menurut laporan tersebut.

Aksi saling lempar batu itu berujung panjang ketika kelompok masyarakat Muslim Kota Bitung, turut membawa senjata tajam untuk membela diri. Sekitar Pukul 18:00 WITA aparat kepolisian bersama-sama Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan pengamanan maksimal agar kedua kelompok tersebut tak melanjutkan pertikaian. Namun dari kerusuhan yang sudah terjadi, menewaskan satu warga. Dan dua warga lainnya mengalami luka-luka akibat senjata tajam.

 
Berita Terpopuler