Kepala BKKBN: Orang Berpendidikan Rendah Cenderung Tinggi Angka Kehamilannya

Jarak ideal untuk hamil lagi setelah melahirkan ialah 36 bulan.

Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi). Tingkat pendidikan yang rendah dapat memengaruhi tingginya angka kehamilan perempuan di Indonesia.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, menyoroti pentingnya pendidikan bagi calon orang tua. Ia menyatakan tingkat pendidikan yang rendah dapat memengaruhi tingginya angka kehamilan perempuan di Indonesia.

"Pendidikan itu penting. Berdasarkan data, orang berpendidikan lebih rendah cenderung lebih tinggi angka kehamilannya. Hati-hati kepada yang berpendidikan rendah, ekonomi rendah, tinggal di pelosok, apabila hamil terlalu sering, jaraknya terlalu dekat, maka dapat berisiko melahirkan bayi stunting," kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/11/2023).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut Hasto, jarak kelahiran pada perempuan memiliki batas ideal. Itu sebabnya program kontrasepsi atau KB setelah ibu melahirkan anak pertama penting untuk diikuti.

"Kalau kurang dari 15 bulan melahirkan sudah ada kehamilan lagi, maka berpotensi meningkatkan tiga kali lipat angka kematian bayi. Jarak ideal menurut WHO itu 36 bulan. Oleh karena itu, penting merencanakan KB yang tepat. Jangan juga di atas lima tahun kalau masih mau punya anak lagi," ujarnya.

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik anak. Itujuga memberikan dampak mental yang buruk bagi mereka pada masa depan.

"Dengan pendeknya jarak kelahiran antar anak, kebutuhan emosinya bisa terpengaruh, sehingga anak cenderung memiliki mental yang rendah. Hal ini dapat mengakibatkan dia menjadi orang yang toksik atau berpotensi merugikan orang-orang di sekitarnya pada saat dewasa," tuturnya.

Baca Juga

Hasto juga mengingatkan permasalahan gangguan mental dan emosional di Indonesia saat ini tengah mengintai masa depan generasi bangsa. Di samping stunting, itu juga menjadi tantangan bagi Indonesia.

"Saat ini dari 100 orang remaja, ada 9,8 persen remaja yang error, lalu tujuh dari 1.000 orang dinyatakan memiliki gangguan jiwa. Kemudian, yang terjebak kasus narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) ada 5,1 persen," paparnya.

Hal itu, lanjut Hasto, sangat berdampak pada angka perceraian tinggi. Berdasarkan data, ada 581 ribu keluarga yang bercerai pada tahun 2021.

Selain itu, para remaja juga rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship). Karena itu, menurut Hasto, penting mendidik anak dalam keluarga dengan asah, asih, dan asuh.

"Asah, yakni diajari ilmu agama yang baik, asih yaitu dikasihi dengan sebaik-baiknya, dan asuh dengan diimunisasi, kemudian diberikan perlindungan yang baik," kata Hasto.

Menurut Hasto, dengan pengasuhan yang baik dan peningkatan kualitas layanan pendidikan, maka angka kehamilan bisa diturunkan untuk menghasilkan generasi yang berkualitas secara fisik maupun mental, juga tidak terlahir stunting.

 
Berita Terpopuler