PBB: Manusia Makin Dekat dengan Perpecahan Besar

Sekjen PBB mendesak pemimpin dunia untuk mengambil tindakan tangani perpecahan.

AP Photo/Dita Alangkara
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyuarakan peringatan global mengenai kelangsungan umat manusia dan Bumi.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pada pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) tahun lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyuarakan peringatan global mengenai kelangsungan umat manusia dan Bumi. Tahun ini, alarm berbunyi lebih keras dan lebih menakutkan, dengan pesan lebih mendesak untuk sadar dan ambil tindakan sekarang juga.

Baca Juga

Penyampaian Guterres dengan gayanya yang tanpa basa-basi bertujuan untuk mengejutkan. Menurut sekjen PBB itu, cara yang digunakan agar para perwakilan yang hadir merasa tertekuk.

Dalam penilaian Guterres, manusia semakin dekat dengan perpecahan besar. Konflik, kudeta, dan kekacauan sedang meningkat. Krisis iklim semakin memuncak. Perpecahan semakin mendalam antara kekuatan militer dan ekonomi, yaitu negara-negara Utara yang lebih kaya dan negara-negara Selatan, Timur, dan Barat yang lebih miskin.

Guterres sudah sering berbicara mengenai semua masalah ini. Namun tahun ini, dia berpidato kepada para pemimpin lebih keras dan bahkan lebih mendesak. Melihat pidato-pidato kenegaraannya sebelumnya, tampak jelas bahwa dia telah menuju ke arah ini selama beberapa waktu ke belakang.

Dalam pidato pertama Guterres di hadapan para pemimpin dunia pada  2017 setelah memimpin PBB yang beranggotakan 193 negara, dia menyebut bahaya nuklir sebagai ancaman global utama. Dua tahun kemudian, dia memperingatkan dunia akan terpecah menjadi dua, dengan Amerika Serikat (AS) dan Cina menciptakan persaingan dalam internet, mata uang, perdagangan, peraturan keuangan.

"Dan strategi geopolitik dan militer mereka yang tidak menguntungkan," ujar Guterres mendesak tindakan tegas untuk mencegah perpecahan besar.

Lalu muncullah pandemi Covid-19 pada awal 2020. Respons global yang diserukan Guterres tidak pernah terjadi, negara-negara kaya mendapat vaksin, sementara negara-negara miskin dibiarkan menunggu.

Pada pertemuan para pemimpin tahun lalu, pesannya hampir sama mengerikannya dengan pesan pekan ini. “Dunia kita berada dalam bahaya dan lumpuh. Kita terjebak dalam disfungsi global yang sangat besar," ujar Guterres.

Tahun ini, pesan sekjen PBB itu kepada para presiden dan perdana menteri, raja, dan menteri yang berkumpul di aula Majelis Umum yang luas sangatlah jelas dan tegas. “Kami tampaknya tidak mampu untuk bersatu memberikan tanggapan," kata Guterres.

Inti dari banyak pidato Guterres pekan ini adalah masa depan PBB. Lembaga ini dibentuk segera setelah Perang Dunia II untuk menyatukan negara-negara dan menyelamatkan generasi masa depan dari perang. Namun di dunia abad ke-21 yang semakin saling terhubung dan semakin terpecah belah, bagi Guterres, PBB harus tetap bisa relevan.

Perang dingin menampilkan....

 

 

Perang Dingin menampilkan dua negara adidaya, yaitu AS yang kapitalis dan Uni Soviet yang komunis. Ketika rezim ini berakhir, terdapat periode singkat unipolaritas yang didominasi AS setelah pecahnya Uni Soviet dan pembubarannya menjadi Rusia yang dominan dan bekas republik-republik yang lebih kecil.

Kini negara-negara tersebut bergerak menuju dunia multipolar yang lebih kacau. Kondisi ini, menurut kata Guterres, menciptakan peluang-peluang baru bagi berbagai negara untuk memimpin.

Tapi argumen utama Guterres berakar pada sejarah. Dia mengatakan, hal ini mengajarkan bahwa dunia yang memiliki banyak pusat kekuatan dan sekelompok kecil negara tidak akan mampu menyelesaikan tantangan yang dihadapi semua negara.

Kondisi ini alasan diperlukan institusi global yang kuat. “Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah satu-satunya forum di mana hal ini dapat terjadi," ujarnya.

Pertanyaan besar yang kini menjadi fokus Guterres adalah apakah sebuah institusi yang lahir pada 1945 dapat dilengkapi dan diperbarui untuk mengatasi tantangan saat ini. “Saya tidak punya ilusi. Reformasi adalah persoalan kekuasaan. Saya tahu ada banyak kepentingan dan agenda yang bersaing," ujarnya.

"Tapi alternatif terhadap reformasi bukanlah status quo. Alternatif terhadap reformasi adalah fragmentasi lebih lanjut. Ini adalah reformasi atau perpecahan," kata Guterres.

Inilah teka-teki yang ada di benak sekjen PBB, dapatkah 193 negara dengan agenda yang saling bersaing melakukan reformasi besar-besaran? Untuk menghadapi tantangan ini, Guterres telah meminta para pemimpin dunia untuk menghadiri “KTT Masa Depan” pada pertemuan global PBB September mendatang.

Tahun mendatang dapat digunakan untuk merundingkan “Pakta untuk Masa Depan”. Pada pertemuan 21 September 2023, Guterres mengatakan kepada para menteri, bahwa perjanjian tersebut mewakili janji untuk menggunakan semua alat yang dimiliki di tingkat global untuk menyelesaikan masalah, sebelum masalah tersebut membebani.

 

Guterres sadar mencapai kesepakatan akan sulit. “Namun hal itu mungkin terjadi," ujarnya. 

 
Berita Terpopuler