Ketika Rasulullah SAW Menahan Ruku untuk Menunggu Ali Bin Abi Thalib, Ini Penyebabnya

Rasulullah SAW menghormati Ali bin Abi Thalib yang memuliakan orang tua

Dok Republika
Nabi Muhammad SAW (ilustrasi). Rasulullah SAW menghormati Ali bin Abi Thalib yang memuliakan orang tua
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Islam mengajarkan kita untuk senantiasa menghormat orang yang lebih tua. Ini merupakan tuntunan agung Rasulullah SAW. 

Baca Juga

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما مرفوعاً: ليس منا من لم يَرحمْ صغيرنا، ويَعرفْ شَرَفَ كبيرنا

Dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā- secara marfū, "Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui kemuliaan orang tua di antara kami." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Ali bin Abi Thalib terburu-buru pergi dari rumahnya untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah di masjid Nabi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua, seorang Yahudi tua, yang berjalan menuju arah yang sama. 

Ali, karena kemuliaan dan keluhuran akhlaknya, berusaha memberikan hormat kepada orang yang lebih tua darinya itu, sehingga ia tidak mau mendahului Yahudi tersebut, walau jalannya sangat lamban. 

Sesampainya ia masjid, sholat berjamaah sudah dimulai, bahkan Nabi SAW sudah dalam keadaan ruku bahkan hampir berdiri dari rukunya tersebut. 

Namun, dengan perintah Allah, Jibril turun, lalu meletakkan tangannya di atas bahu Nabi SAW. Jibril menyuruh beliau menahan rukunya, agar Ali tidak sampai kehilangan rakaat pertama.

Setelah shalat selesai dilaksanakan, yang kemudian dilanjutkan dengan zikir, doa, serta mengajarkan ilmu-ilmu dari Alquran kepada sahabat, beliau berpaling kepada Jibril, lalu bertanya tentang sebab gaib yang membuatnya harus memperpanjang ruku. 

Baca juga: 10 Makanan yang Diharamkan dalam Islam dan Dalil Larangannya

Jibril menjawab bahwa sangat tidak patut jika Ali bin Abi Thalib kehilangan pahala yang terdapat pada rakaat pertama sholat Subuh, karena sikap hormat yang ditunjukkannya kepada seorang Yahudi tua yang ditemuinya di tengah perjalanan menuju masjid Nabi.

Setiap manusia, siapapun dia, memiliki hak untuk dihargai, dihormati dan diperlakukan sesuai kedudukan serta kapasitas dirinya. Ada yang layak dihormati karena ilmunya, seperti halnya para ulama, cerdik cendekia, para guru, ilmuwan, dan sebagainya. 

Baca juga: Sosok Perempuan Hebat di Balik Tumbangnya Tiran dan Singgasana Firaun

Ada yang harus dihormati karena sebab hubungan darah dengannya, misal orang tua, kakak, paman, bibi, serta saudara-saudara lainnya. Ada pula yang dihormati karena sebab usianya, di sini ada orang yang lebih tua, ada yang seusia, ada pula yang lebih muda. Semuanya harus diperlakukan secara proporsional sesuai haknya.

Ada pula urutan-urutan prioritas dalam proses hormat-menghormati ini, mana yang paling layak dihormati, mana yang harus lebih dulu dihormati, mana pula yang paling wajib memberi penghormatan dibanding yang lainnya. 

Misalnya, yang berkendaraan lebih wajib memberi salam kepada yang berjalan kaki. Yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk. Yang sendirian lebih wajib memberi salam kepada yang berkumpul, dan sebagainya. (HR Muttafaqun 'Alaih).

Jika kita menelaah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat, maka kita akan menemukan nuansa keadilan dalam pergaulan hidup mereka. 

Setiap orang diperlakukan sesuai dengan kedudukannya, dalam arti dipenuhi haknya, serta diberi keleluasaan untuk menunaikan kewajibannya. 

Akibatnya, lahirlah proses timbal balik, di mana setiap orang akan berusaha memberikan yang terbaik untuk yang lainnya. Dalam kondisi seperti inilah, konsep persaudaraan yang diungkapkan dalam Alquran dan hadits benar-benar teraplikasikan secara optimal.

Sejatinya, apa yang dicontohkan Ali bin Abi Thalib dalam kisah ini, adalah gambaran puncak bagaimana seorang manusia menunaikan hak-hak yang dimiliki manusia lainnya, siapa pun orang tersebut. Di mana yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. 

Seorang anak harus menaati orangtuanya. Seorang murid harus memuliakan gurunya. Walau pun ada tuntutan bagi yang lebih tua untuk menghargai, mengayomi, serta memberi teladan yang baik pula kepada yang muda.

Sesungguhnya, mudah saja bagi Ali untuk mendahului Yahudi tua tersebut, toh ia hanya seorang Yahudi tua kafir, tidak bisa melihat, serta berjalan bukan untuk ke masjid. Ia pun tidak terkena dosa jika mendahului jalannya. 

Namun Ali tidak melakukan hal tersebut. Mengapa? Karena beliau tidak ingin mencederai hak orang lain. Biarlah orang lain tidak balas menghormati, biarlah orang lain tidak melihat apa yang dilakukannya, yang penting ia telah menunaikan kewajibannya sebaik mungkin. 

Sebab, bagaimana pun keadaannya, Yahudi tersebut tetaplah orang yang harus dihargai nilai kemanusiaannya. Inilah yang dinamakan ihsan.

Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar

Dalam arti, tidak sekadar melakukan yang baik, namun melakukan yang terbaik. Karena sikapnya itu, Ali beroleh bonus luar biasa dari Allah SWT. Betapa tidak luar biasa, Allah SWT sampai memerintahkan Rasulullah SAW untuk memperlama rukunya, sebagaimana Dia perantarakan pesan-Nya kepada Malaikat Jibril. 

Berkaca dari peristiwa ini, Imam Bakr bin Abdullah Al Mazni mengungkapkan sebuah prinsip hidup terkait hubungan interpersonal. 

 

Prinsip ini layak kita jadikan pegangan dalam bergaul. Katanya, Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua, katakanlah, orang ini lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal saleh. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang usia lebih mudanya, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, ia lebih baik dariku.  

 
Berita Terpopuler