Benteng Keraton Yogya yang Dulu Dihancurkan Bala Tentara Inggris Kini Berdiri Kembali

Sejarah Benteng Keraton Yogyakarta dengan Plengkung yang Dilengkapi Meriam Benteng.

Republika/Wihdan Hidayat
Sisa bangunan Plengkung Madyasura atau Plengkung Buntet di Jalan Mantrigawen, Yogyakarta, Selasa (22/8/2023). Dahulu Plengkung Madyasura menjadi pintu gerbang utama menuju kediaman putra mahkota Keraton Yogyakarta. Namun, plengkung yang tinggal sisa-sisa ini rusak karena serbuan Inggris pada 1812 yang disebut Geger Sepehi. Gerbang ini sempat ditutup oleh Keraton Yogyakarta, oleh karena itu dikenal sebagai Plengkung Buntet. Meskipun ada pemugaran pada 1830an, tetapi bentuk asli plengkung tidak dikembalikan.
Red: Muhammad Subarkah

 
Oleh: Silvy Dian Setiawan, Jurnalis Republika

Kota-kota kerajaan pada masa Mataram Islam identik dengan benteng. Bahkan, semua ibu kota kerajaan Mataram Islam memiliki benteng atau tembok pertahanan.

Mulai dari Kota Gedhe, Plered, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta memiliki benteng yang mengelilingi Keraton. Bahkan, dalam bahasa Sansekerta, kota memiliki makna yang sama dengan benteng.

Di Kota Yogyakarta, Benteng Keraton Yogyakarta saat ini menjadi salah satu ikon budaya yang penting. Benteng Keraton Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang, dan menjadi saksi bisu Kesultanan Yogyakarta sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono 1.

Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok, dengan lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kawasan Keraton atau Kedhaton. Tembok berikutnya, jauh lebih luas dan kuat yang disebut dengan tembok Baluwarti, atau yang sering disebut hanya sebagai Beteng.

"Selain Kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan permukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng," kata Humas Keraton Yogyakarta, Vinia R. Prima, berdasarkan keterangan yang disampaikan ke Republika, Selasa (22/8/2023).

Dikatakan, Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata 'baluarte' dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. Persamaan ini membuat seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, Denys Lombard menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari bahasa Portugis.

Hal ini masuk akal mengingat pembangunan tembok Baluwarti memiliki masa yang sama dengan pembangunan Tamansari, yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis. Tembok tersebut didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Bentuknya sendiri mirip persegi empat, tetapi bagian timur lebih besar. Benteng Keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1.200 meter, sedangkan arah utara ke selatan sepanjang 940 meter. Di sisi timur Keraton juga diperpanjang ke utara sejauh 200 meter mengingat di sana terletak kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Tempat tinggal putra mahkota ini dikenal juga sebagai Istana Sawojajar.

Pada sisi luar benteng, terdapat parit yang dalam dengan air yang jernih. Parit itu disebut jagang dan sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam di kawasan tersebut sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng.

Pada awalnya, benteng ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu, lalu diperkuat hingga memiliki ketebalan dua batu atau lebih kurang 55 sentimeter (cm) dengan longkangan selebar 2,4 meter, yang mana diurug dengan tanah hasil galian jagang. Tinggi urugan mencapai 3,7 meter dari permukaan tanah awal.

Longkangan tersebut digunakan sebagai pelataran benteng bagian dalam, tempat prajurit dapat berjaga. Dari pelataran ini, tinggi benteng dinaikkan 1,5 meter, sedangkan dinding benteng dibuat dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah.

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..
 

 

Baca Juga

 

Lima Plengkung Keraton Yogyakarta

Terdapat lima gerbang dengan pintu melengkung sebagai sarana keluar masuk benteng. Di atas gerbang terdapat pelataran yang dinamakan panggung. Pintu gerbang benteng disebut Plengkung atau Gapura Panggung, yang masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga dan empat buah longkangan sebagai tempat meriam.

Kelima plengkung yang mengelilingi benteng itu disebut Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Plengkung Madyasura kadang disebut juga sebagai Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Buntet (tertutup).

Pada setiap plengkung terdapat jembatan gantung yang dapat ditarik ke atas, sehingga plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula, Plengkung ini terbuka dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Namun, jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi 05.00 WIB hingga 20.00 WIB, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.

Desain Benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya, terutama tampak pada gerbang-gerbang yang tersebar di segala penjuru benteng. Dalam merancang benteng ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi dulunya belajar banyak dari jatuhnya ibu kota Mataram-Kartasura ke tangan pemberontak pada peristiwa Geger Pacina/Perang Cina pada 1740-1743.

Dalam peristiwa tersebut, pasukan pemberontak Cina dan Jawa bergabung melawan VOC. Mereka menyerbu dan merebut Keraton Kartasura karena memandang bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) memihak VOC. Ditilik dari modelnya yang mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar benteng Keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh Patih Kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an.

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..

 

 

 

 

 

Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu, merupakan bagian paling akhir yang diselesaikan oleh Pangeran Mangkubumi.

Benteng ini selesai dibangun pada tahun Jawa 1706 atau tahun 1782 Masehi. Pembangunan benteng dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika Bupati Madiun, kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Sri Sultan Hamengku Buwono II masih memperkuat lagi Benteng Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahannya. Ia merasa bahwa ketegangan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin meningkat dan peperangan akan segera terjadi.

Sultan kemudian memanfaatkan kehadiran rombongan pekerja yang datang saat acara Garebeg Puasa untuk memperkuat pertahanan Keraton. Pada 13 November 1809, keempat sudut benteng dibuat menonjol keluar.

Keempat sudut benteng ditambah dengan bangunan baru, sehingga berwujud segi lima. Pada ketiga sudut yang menjorok keluar diberi semacam sangkar sebagai tempat penjagaan yang disebut bastion.

Bentuknya seperti tabung dengan lubang-lubang kecil untuk mengintai. Pada dinding antar bastion, diberi longkangan sebanyak sepuluh buah sebagai tempat memasang meriam. Bangunan baru itu disebut juga sebagai Tulak Bala, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pojok Beteng, atau kadang disingkat sebagai Jokteng.

 

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..

 

 

 

 

Perang Geger Sepehi Hingga Ditutupnya Plengkung Madyasura (Buntet)

Salah satu sudut benteng ini kemudian hancur saat Perang Geger Sepehi pada 20 Juni 1812. Tak cukup datang menyerbu, bala tentara Inggris datang untuk kemudian menjarah kekayaan keraton seperti melucuti permata di baju Sultan, dan membawa kitab-kitab Jawa yang ada di keraton hingga berpuluh-puluh gerobak. Barang jarahan itu dibawa ke Inggris melalui pelabuhan Semarang.

Selain itu, bala tentara Inggris meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut. Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura ditutup secara permanen sebagai bagian dari strategi pertahanan, setelah sebelumnya pihak Keraton Yogyakarta mendengar bahwa pasukan musuh berencana masuk melalui plengkung tersebut.

Pintu masuk ke dalam benteng di sisi timur baru dibuka lagi tahun 1923, dengan dibongkarnya Plengkung Madyasura atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ini pula plengkung tidak pernah lagi ditutup. Bahkan, demi memperlancar lalu lintas, Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya dirombak menjadi gapura terbuka.

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..

 

 

 

Pojok Beteng Kulon
 
Saat ini sebagian besar Benteng Keraton Yogyakarta telah tertutup oleh permukiman warga. Tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalaupun ada hanyalah selokan di sisi Pojok Beteng. Tidak diketahui dengan pasti kapan bangunan benteng dan jagang tertutup oleh pemukiman. Namun, ada dua peristiwa besar yang dapat dilihat sebagai acuan yakni gempa bumi pada 1867 dan pendudukan Jepang pada 1942-1945.

Gempa bumi pada 1867 membuat kerusakan cukup parah di Kota Yogyakarta. Banyak rumah rusak, termasuk rumah para Abdi Dalem. Didorong oleh rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) memperkenankan para Abdi Dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara. Rupanya kebijakan ini berlanjut terus sampai dengan keturunan-keturunan dari Abdi Dalem yang bersangkutan.

Hal yang sama terjadi pada masa pendudukan Kerajaan Jepang. Di mana-mana rakyat ketakutan dan mencari perlindungan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian memutuskan untuk menampung warga di sisi dalam dan sekitar benteng. Keadaan ini tetap dibiarkan, bahkan ketika masa pendudukan Kerajaan Jepang berakhir.

Dalam perkembangannya, pemukiman ini kemudian merusak benteng yang ada. Ditemukan bahwa ada pemilik rumah yang menempel di sisi benteng mengeruk dinding benteng untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi rumahnya. Ada juga mereka yang menjebol tembok benteng untuk menciptakan akses keluar masuk, yang mana hal ini membuat beberapa bagian benteng tidak lagi terlihat sisanya dan sepenuhnya tertutup oleh permukiman.

Dari lima buah Plengkung, hanya tersisa dua yang masih utuh berbentuk gerbang melengkung, yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing. Bangunan Tulak Bala yang masih utuh adalah Pojok Beteng Wetan (tenggara), Pojok Beteng Kulon (barat daya), dan Pojok Beteng Lor (barat laut). Sisa tembok benteng yang masih utuh hanya dari Plengkung Gading ke timur sampai dengan Pojok Beteng Wetan. Persis di sebelah timur Pojok Beteng Kulon, dibuka jalan lengkap dengan lampu pengatur lalu lintas sehingga pintu keluar masuk benteng bertambah.

Vinia mengatakan, wisatawan atau pengunjung yang saat ini berminat mengunjungi Keraton Yogyakarta, masih bisa menikmati bagian-bagian tembok pertahanan. Tiga Pojok Beteng yang tersisa terbuka untuk umum, dan dapat dikunjungi melalui tangga yang terdapat pada sisi dalam benteng.

Pintunya terbuka dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Begitu juga dengan Plengkung Nirbaya, wisatawan dapat naik ke atasnya melalui tangga di kiri kanan sisi dalam Plengkung. Dari situ, pengunjung bisa berjalan menyusuri benteng sampai dengan Pojok Beteng Wetan.

"Dari masa ke masa, Benteng Keraton telah menjadi saksi bisu bagi perkembangan Kota Yogyakarta. Secara fisik posisinya tidak pernah berubah, tetapi secara sosial ia melambangkan perubahan yang terjadi. Benteng yang awalnya menjadi pemisah tegas antara Keraton dengan dunia di sekelilingnya, kini terbuka bagi rakyat yang bernaung di dalamnya," ucap Vinia.

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..

 

 

  

 

 

Revitalisasi Beteng (Tembok Baluwarti)

Saat ini, revitalisasi Benteng Keraton Yogyakarta juga terus dilakukan, yakni revitalisasi Tembok Baluwarti atau Beteng. Revitalisasi ini terus berlanjut meski sempat ditemukan benda diduga kerangka manusia di galian proyek revitalisasi pada awal Agustus 2023.

"Yang Beteng (proses revitalisasinya) masih dilanjutkan. Walau kemarin ditemukan kerangka itu, juga masih tetap dilanjutkan," kata Vinia kepada Republika.

Dinas Kebudayaan DIY juga telah menyebut bahwa revitalisasi tembok atau benteng yang mengelilingi Keraton Yogyakarta ini telah bergulir sejak 2015. Revitalisasi diawali dengan kajian autentisitas bangunan cagar budaya tersebut.

Revitalisasi sendiri dilakukan dalam rangka menyelamatkan dan melestarikan benteng sebagai salah satu atribut cagar budaya atau keistimewaan. Rencananya, seluruh kawasan benteng akan direvitalisasi secara bertahap, yang saat ini sudah mencapai bagian timur di Plengkung Madyasura atau Buntet.

 

 

 
Berita Terpopuler