Mau Tahu Tiga Besar Negara Penghasil Konten Islamofobia? Ini Penjelasannya

Banyak negara abaikan PBB untuk hentikan islamofobia.

EPA-EFE/SHAHZAIB AKBER
Ilustrasi gerakan melawan islamofobia.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi internasional PBB beberapa waktu lalu mendorong masyarakat internasional memerangi diskriminasi terhadap Muslim. Bahkan, PBB mengimbau untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan guna mendukung hal tersebut.

Baca Juga

Tidak hanya itu, mereka juga melarang advokasi kebencian agama apa pun, yang merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan. Sebuah peringatan juga disampaikan perihal kebencian anti-Muslim yang dinilai telah mencapai proporsi epidemik.

Hingga saat ini, seruan tersebut sebagian besar diabaikan, terutama di ruang rapat eksekutif perusahaan media sosial. Terlihat hanya sedikit upaya, bahkan kebanyakan tidak melakukan apa pun, untuk menghapus konten anti-Muslim dari platform mereka.

Kelambanan ini memiliki dampak yang menghancurkan bagi komunitas minoritas Muslim di seluruh dunia. Situs microblogging X, yang dulu dikenal sebagai Twitter, menjadi sumber utama proliferasi dan amplifikasi kebencian anti-Muslim.

Menurut jurnalis CJ Werleman, saat ini perusahaan media sosial harus memusatkan perhatiannya pada perilaku pengguna di tiga negara, yaitu AS, Inggris dan India.

 

 

Menurut sebuah studi, 86 persen konten anti-Muslim di X selama tiga tahun didominasi tiga negara tersebut.

 

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Studi tersebut dibuat oleh Islamic Council of Victoria (ICV), badan Muslim puncak di negara bagian Victoria, Australia yang mewakili sekitar 270.000 anggota komunitas. Mereka menemukan hampir empat juta postingan anti-Muslim dibuat selama periode 24 bulan, antara 2017 dan 2019.

ICV juga menandai adanya lingkaran setan kebencian yang terwujud dalam serangan daring dan luring, terhadap komunitas global. Pengguna di India, di sisi lain, menghasilkan lebih dari separuh postingan yang penuh kebencian dan menyakitkan ini.

Di antara pengguna X yang berbasis di India, para peneliti menyalahkan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di negara tersebut, atas penyebaran dan penguatan kebencian anti-Muslim. “(BJP) secara aktif menormalkan kebencian terhadap Muslim sehingga 55,12 persen tulisan kebencian Muslim sekarang berasal dari India,” kata mereka dalam laporannya, dikutip di TRT World, Rabu (23/8/2023).

ICV juga menunjuk pada undang-undang diskriminatif yang menyangkal kewarganegaraan Muslim dan hak-hak sipil lainnya, atas munculnya kebencian anti-Muslim secara daring di antara akun media sosial India itu. 

Di Amerika Serikat, proliferasi kebencian anti-Muslim di X hampir tidak dapat dipisahkan dari retorika dan kebijakan penuh kebencian mantan presiden Donald Trump. Sosok ini menempati peringkat ketiga, sebagai pengguna yang paling sering disebut dalam postingan anti-Muslim.

 

Menurut para peneliti, banyak tulisan yang terkait dengan pembelaannya terhadap larangan imigrasi Muslim dan teori konspirasi anti-Muslim. Termasuk salah satunya menempatkan Demokrat yang disebut berkolaborasi dengan “Islamis” untuk mengambil alih Barat.

Di Inggris Raya, para peneliti mengaitkan prevalensi tweet anti-Muslim dengan banyak faktor. Di antaranya adalah jangkauan global permusuhan anti-Muslim Trump, sentimen anti-imigrasi yang dipicu oleh krisis pengungsi, wacana seputar Brexit, serta rasisme yang dilakukan mantan Perdana Menteri Boris Johnson.

Dengan menganalisis konten anti-Muslim yang diproduksi oleh ketiga negara tersebut, para peneliti mengidentifikasi beberapa tema utama yang biasa dibahas. Salah satunya adalah asosiasi Islam dengan terorisme, penggambaran Muslim sebagai pelaku kekerasan seksual dan ketakutan Muslim ingin memaksakan Syariah pada orang lain.

Selain itu, muncul konspirasi yang menuduh imigran Muslim menggantikan kulit putih di Barat dan Hindu di India, serta karakterisasi halal sebagai praktik tidak manusiawi yang melambangkan apa yang disebut "kebiadaban" Islam.

“Namun, yang lebih memprihatinkan adalah penemuan hanya 14,83 persen cuitan anti-Muslim yang akhirnya dihapus,” kata para peneliti. Kondisi ini dinilai terus mendorong peningkatan kejahatan rasial terhadap komunitas minoritas Muslim, bahkan lebih parah lagi dengan ujaran kebencian anti-Muslim secara daring.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Di sisi lain, serangan Masjid Christchurch 2019 disebut menggambarkan lingkaran setan ini. Pelaku pria bersenjata itu diradikalisasi oleh konten online anti-Muslim, yang mana dalam seminggu setelah dia membunuh 52 jamaah Muslim. 

Akibatnya, insiden pelecehan anti-Muslim melonjak hingga 1.300 persen di Selandia Baru dan 600 persen di Inggris. Hal ini juga memicu atau menginspirasi gelombang kekerasan anti-Muslim di Inggris dan Skotlandia, termasuk serangan terhadap masjid di Stanwel, dan penikaman seorang remaja Muslim di Surrei.

Sebuah laporan juga mendokumentasikan lebih dari 800 serangan terhadap masjid oleh ekstremis sayap kanan di Jerman sejak 2014. Terjadi  pula serangan yang dilakukan oleh migran Hindu sayap kanan India terhadap komunitas Muslim di Anaheim, AS, dan Leicester, Inggris.

Serangan-serangan ini tidak hanya menimbulkan dampak psikologis yang besar terhadap umat Islam, tetapi juga masyarakat luas. Peneliti menilai sangat tidak masuk akal //X// hanya melakukan sedikit atau tidak melakukan apa pun, untuk menghapus sebagian besar konten anti-Muslim di platformnya.

Sebuah studi tahun 2020 berjudul “From Hashtag to Hate: Twitter and anti-Minority Sentiment” sama-sama mengutuk raksasa media sosial tersebut. Mereka menemukan korelasi langsung antara kebencian anti-Muslim di X dan kekerasan terhadap Muslim di depan umum. 

Berfokus pada akun X dengan jumlah pengikut yang tinggi, termasuk AS, penulis studi tersebut menemukan bahwa peningkatan kejahatan rasial anti-Muslim sejak kampanye presiden Donald Trump tahun 2016 telah terkonsentrasi di negara-negara Amerika, dengan tingkat penggunaan yang tinggi.

“Konsisten dengan peran media sosial, kicauan Trump tentang topik terkait Islam sangat berkorelasi dengan kejahatan rasial anti-Muslim setelahnya, tetapi tidak sebelum dimulainya kampanye kepresidenannya dan tidak berkorelasi dengan jenis kejahatan rasial lainnya,” tulis mereka dalam kesimpulannya. 

Meski demikian, tidak satu pun dari informasi ini yang baru atau mengungkapkan ke X. Pada 2020, perusahaan ini mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan anggota independen dari Kelompok Kerja Lintas Pemerintah untuk Kebencian Anti-Muslim (AMHWG).

Hal ini disebut sebagai bagian dari komitmen bersama untuk melawan perilaku kebencian secara daring. Mereka juga menyebut ingin mengatasi kebencian anti-Muslim bersama-sama, sambil bekerja sama dengan kelompok lain yang memiliki komitmen yang sama. 

Media sosial X, bersama dengan Google dan Meta, juga telah berjanji untuk menghapus konten anti-Muslim dari platformnya pada 2019, setelah serangan teroris masjid Christchurch. Tapi janji-janji ini gagal, seperti yang disoroti oleh Center for Countering Digital Hate (CCDH).

Ditemukan bahwa perusahaan media sosial, termasuk X, telah gagal menindak 89 persen postingan berisi kebencian anti-Muslim yang dilaporkan kepada mereka.

Sederhananya, jika perusahaan media sosial terus menolak seruan untuk menghilangkan kebencian anti-Muslim dari platformnya, maka anggota kelompok minoritas Muslim akan terus diancam, disakiti, atau dibunuh.  

 

Muslim di seluruh Barat akan mengalami serangan yang sama seperti yang terlihat di masjid-masjid di Selandia Baru, Kanada, Inggris, Jerman dan AS dalam beberapa tahun terakhir. 

 
Berita Terpopuler