Nomokrasi dan Islamofobia: Indonesia adalah Bukti Pemerintahan Nomokrasi Islam (2)

Nomokrasi Islam berbeda dengan sekularisme yang memisahkan agama dengan negara

istimewa
Pengadilan agama di masa kolonial.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: DR Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Baca Juga

Nomokrasi adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan pada hukum yang berlaku secara universal dan tidak diskriminatif. Nomokrasi dapat menjadi solusi bagi Islamofobia dan homofobia atau hate-crime karena nomokrasi menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa membedakan agama, ras, etnis, gender, orientasi seksual, atau identitas lainnya.

Nomokrasi juga menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta mengedepankan dialog dan toleransi antara kelompok-kelompok yang berbeda. Nomokrasi dapat mencegah terjadinya diskriminasi, kekerasan, atau penindasan terhadap minoritas yang sering menjadi korban Islamofobia dan homofobia atau hate-crime.

Dengan nomokrasi, semua orang dapat hidup secara damai dan harmonis dalam masyarakat yang majemuk dan multikultural.

Prinsip kekuasaan sebagai amanah. Kekuasaan dalam nomokrasi Islam adalah sebuah tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umat.

Kekuasaan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kekuasaan juga harus dibatasi oleh hukum-hukum syariat dan tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.

Prinsip musyawarah. Musyawarah adalah sebuah proses konsultasi dan diskusi antara pemimpin dan rakyat atau antara berbagai pihak yang terkait dalam suatu masalah. Musyawarah bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau solusi yang terbaik dan sesuai dengan syariat. 

Musyawarah juga merupakan sebuah bentuk demokrasi yang menghargai pendapat dan hak-hak semua pihak. Musyawarah harus dilakukan dengan sikap saling menghormati, mendengarkan, dan menghargai.

Prinsip keadilan. Keadilan adalah sebuah nilai yang harus dijunjung tinggi dalam nomokrasi Islam. Keadilan berarti memberikan hak kepada yang berhak dan memberikan kewajiban kepada yang berkewajiban tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, atau status sosial. Keadilan juga berarti menegakkan hukum secara adil dan tidak memihak kepada siapa pun. Keadilan juga berarti memberantas segala bentuk penindasan, diskriminasi, korupsi, atau kezaliman.

Prinsip persamaan. Persamaan adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah SWT dan hukum. Persamaan berarti tidak ada manusia yang lebih mulia atau lebih rendah dari manusia lainnya hanya karena perbedaan agama, ras, suku, gender, atau status sosial. Persamaan juga berarti memberikan perlakuan yang sama kepada semua manusia tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, atau status sosial.

baca tulisan di halaman berikutnya

 

Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak beragama, hak berpendapat, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan kesehatan, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan perlindungan hukum, dan hak-hak lainnya yang sesuai dengan syariat.

Negara dalam nomokrasi Islam harus mengakui dan melindungi hak asasi manusia serta tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Maka itu, dengan menerapkan prinsip-prinsip nomokrasi Islam, negara dan masyarakat dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, yaitu agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam juga dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang moderat, toleran, dan inklusif, yang menghormati keragaman dan perbedaan.

Sebaliknya, Islam juga dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai, yang mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, kerjasama, dan saling mengasihi. 

Salah satu contoh negara yang berusaha menerapkan nomokrasi Islam adalah Indonesia. Indonesia memiliki sejarah dan hubungan budaya yang panjang dengan perjuangan nasional yang sejalan dengan orientasi politik dan agama. Akar pemikiran nomokrasi Islam di Indonesia dapat ditelusuri sejak era pra-kemerdekaan.

Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, terjadi proses dialog dan integrasi antara nomokrasi Islam dan pemerintahan kerajaan. Setelah Perang Jawa, terbentuk pola konflik dan kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan Indonesia, pemikiran nomokrasi Islam berkembang menjadi Pan Islamisme yang cenderung konikal terhadap formalisasi hukum melalui sistem khilafah.

Setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian pemikiran nomokrasi Islam mengakui negara sebagai salah satu sistem hukum di Indonesia selain hukum adat dan hukum positif. Kemudian, Indonesia menjadi Negara Hukum Sebagian-Islam dengan hubungan naik-turun dengan negara. 

Penelitian Sugeng Wibdowo  dalam Jurnal Ilmiah Hukum yang berjudul "Islamic nomocracy: from the perspectives of Indonesia, Spain and Russia," secara komprehensif memberikan perspetif tentang nomokrasi, Dia menambahkan dengan pandangan Spanyol dan Rusia sebagai dua negara yang pernah diperintah oleh pemerintahan Muslim.

Mereka membandingkan bagaimana ketiga negara tersebut menerapkan nomokrasi Islam dalam sistem hukum dan konstitusi mereka. Mereka menemukan bahwa Indonesia memiliki pengakuan tertinggi terhadap nomokrasi Islam sebagai sumber hukum nasional, sedangkan Spanyol dan Rusia memiliki pengakuan rendah terhadap nomokrasi Islam sebagai sumber hukum regional atau lokal. 

baca tulisan di halaman berikutnya           

Nomokrasi Islam adalah konsep negara hukum

Nomokrasi dalam agama Islam adalah sebuah konsep negara hukum yang berdasarkan pada hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT, yaitu Alquran dan As-Sunnah. Nomokrasi Islam berbeda dengan teokrasi, yang merupakan sebuah bentuk pemerintahan yang mengakui Tuhan atau dewa sebagai penguasa dekat.

Nomokrasi Islam juga berbeda dengan sekularisme, yang merupakan sebuah paham yang memisahkan agama dari urusan negara. Nomokrasi Islam menekankan bahwa hukum-hukum syariat harus menjadi pedoman bagi negara dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Li dan Liu (2022: 1) membandingkan dua model pembangunan perkotaan partisipatif di China, yaitu nomokrasi dan teleokrasi. Nomokrasi adalah model yang mengutamakan aturan hukum sebagai dasar pengambilan keputusan, sedangkan teleokrasi adalah model yang mengutamakan tujuan politik sebagai dasar pengambilan keputusan.

Mereka menunjukkan bahwa nomokrasi lebih efektif dalam melibatkan masyarakat lokal dan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan teleokrasi lebih rentan terhadap konflik dan ketimpangan sosial.

Jackson (2006: 158) mengkritik pandangan yang menganggap bahwa hukum Islam tidak dapat beradaptasi dengan pluralisme hukum dalam konteks negara-bangsa modern. Ia berpendapat bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas dan dinamika yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan hukum-hukum lain yang berlaku di suatu negara. Ia juga menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki prinsip-prinsip universal yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.

Kusriyah (2022: 284) membahas tentang prinsip-prinsip negara kesejahteraan hukum dalam perspektif Islam. Ia mengemukakan bahwa negara kesejahteraan hukum adalah negara yang mampu memberikan kesejahteraan materiil dan spiritual kepada rakyatnya dengan berlandaskan pada hukum-hukum syariat. Ia juga menguraikan beberapa indikator kesejahteraan dalam Islam, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan keamanan.

Amsori dan Ernawati (2020: 4) menganalisis konsep khilafah Islamiyah dalam perspektif politik internasional Islam. Mereka mengklaim bahwa khilafah Islamiyah adalah sebuah sistem pemerintahan yang ideal bagi umat Islam di seluruh dunia. Mereka juga mengkritik pandangan yang menganggap bahwa khilafah

Islamiyah adalah sebuah bentuk ekstremisme atau terorisme. Mereka menegaskan bahwa khilafah Islamiyah adalah sebuah bentuk perjuangan damai dan konstitusional untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan global.

Madjid Khadduri (2006: 3) menjelaskan tentang konsep perang dan perdamaian dalam hukum Islam. Ia menyatakan bahwa hukum Islam mengatur hubungan antara negara-negara Muslim dan non-Muslim dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip damai, adil, dan saling menghormati.

Ia juga menyebutkan beberapa aturan hukum Islam yang berkaitan dengan perang dan perdamaian, seperti jihad, siyar, hudud, qisas, diyyah, dan sulh.

Sonn (1996: 309) meneliti tentang otoritas politik dalam pemikiran klasik Islam. Ia menyoroti bahwa otoritas politik dalam Islam tidak bersumber dari Tuhan atau agama, melainkan dari rakyat atau umat. Ia juga menekankan bahwa otoritas politik dalam Islam harus tunduk pada syariat dan akuntabel di hadapan rakyat atau umat. Ia juga menunjukkan bahwa otoritas politik dalam Islam harus bersifat inklusif dan toleran terhadap keragaman etnis, budaya, dan agama.

Riyadi et al. (2020: 745) melakukan studi analisis tentang nomokrasi Islam dan demokrasi Pancasila di Indonesia. Mereka mengungkapkan bahwa nomokrasi Islam dan demokrasi Pancasila memiliki banyak kesamaan dalam hal prinsip-prinsip dasar negara hukum, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, hak asasi manusia, dan kesejahteraan. Mereka juga menyimpulkan bahwa nomokrasi Islam dan demokrasi Pancasila dapat saling melengkapi dan mendukung dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Wibowo et al. (2023: 91) membahas nomokrasi Islam dari perspektif Indonesia, Spanyol, dan Rusia. Mereka membandingkan bagaimana ketiga negara tersebut menerapkan nomokrasi Islam dalam sistem hukum dan konstitusi mereka.

Mereka menemukan bahwa Indonesia memiliki pengakuan tertinggi terhadap nomokrasi Islam sebagai sumber hukum nasional, sedangkan Spanyol dan Rusia memiliki pengakuan rendah terhadap nomokrasi Islam sebagai sumber hukum regional atau lokal.

 

 

 
Berita Terpopuler