7 Perang Perjuangan Indonesia yang Dilandasi Nilai Islam

Islam menjadi bagian penting dari semangat perlawanan dan perjuangan rakyat.

Dok Republika
Pangeran Diponegoro
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, ada sejumlah perang perjuangan yang dilandasi nilai-nilai Islam. Sejumlah perang perjuangan itu dilakukan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.

Perjuangan dalam perang itu mencerminkan bagaimana agama Islam telah menjadi bagian penting dari semangat perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dan keadilan. Apa saja perang itu?

Baca Juga

Perang Perjuangan Indonesia yang Dilandasi Nilai-Nilai Islam

1. Perang Padri (1803 sampai 1837)

Perang Padri adalah konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia, pada abad ke-19. Perang ini terjadi antara kelompok Padri yang merupakan penganut aliran Islam yang lebih puritan, dengan kelompok tradisionalis atau adat yang lebih mengikuti tata cara adat istiadat Minangkabau. Konflik ini juga memiliki dimensi politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks.

Perang Padri berawal dari perbedaan pandangan agama dan kebijakan sosial di kalangan masyarakat Minangkabau. Kelompok Padri, yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam yang keras, ingin melakukan reformasi terhadap praktik-praktik adat dan budaya yang mereka pandang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Perang Padri terjadi dalam beberapa fase, dimulai dari awal abad ke-19 hingga pertengahan abad tersebut, yaitu sekitar 1803-1837. Pada fase awal, konflik ini lebih cenderung bersifat dakwah dan pengajaran. Namun, seiring waktu, konflik tersebut semakin memanas dan berubah menjadi konflik bersenjata.

Konflik ini melibatkan berbagai kelompok dan faksi di Minangkabau. Di satu sisi, terdapat kelompok Padri yang dipimpin oleh pemimpin agama, seperti Tuanku Imam Bonjol. Orientasi perjuangan Tuanku Imam Bonjol adalah mengembalikan Alquran dan Sunnah sebagai fondasi kehidupan masyarakat serta menentang dominasi kekuasaan kolonial Belanda.

Di sisi lain, terdapat kelompok tradisionalis yang ingin menjaga keberlanjutan adat istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Perang Padri ini tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat Minangkabau.

Perang Padri berakhir pada tahun 1837 ketika pasukan Belanda berhasil mengalahkan kelompok Padri. Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah dan diasingkan ke Jawa, di mana ia tinggal hingga akhir hayatnya.

Perang Padri merupakan contoh perjuangan dan konflik internal dalam masyarakat yang dipicu oleh perbedaan agama, budaya, dan pandangan politik. Ini juga mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia dalam menavigasi perubahan sosial dan agama serta interaksi dengan kekuatan kolonial Belanda.

Perang Diponegoro...

2. Perang Diponegoro

Perang perjuangan Indonesia selanjutnya yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam adalah Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Diponegoro adalah perang antara pasukan pemberontak di Jawa untuk melawan pemerintahan Hindia-Belanda yang didukung oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Bendara Pengeran Harya Dipanegara atau lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro adalah pahlawan nasional Indonesia yang memimpin perlawanan ini sebagai bentuk penolakan terhadap perlakuan kolonial Belanda yang merusak tatanan sosial dan budaya Jawa. Dia pun melibatkan faktor agama dalam gerakan perlawanannya.

Dalam perjuangannya melawan pasukan kolonial Hindia-Belanda, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan penuh dari rakyat, kalangan ulama, serta kaum bangsawan. Adapun ulama-ulama yang mendukung dan turut berjuang dengannya antara lain Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin, dan Alibasaha Sentot Prawirodirjo.

Seperti diungkapkan dalam Baba Diponegoro, latar belakang sang pangeran angkat senjata melawan Belanda lebih sebagai upaya mengukuhkan tatanan Islam di Tanah Jawa. Karena itu, perang ini dari sudut pandang Pangeran Diponegoro disebut perang sabil (jihad fi sabilillah). Visi itulah yang jamak didukung para pengikutnya, khususnya dari kalangan santri dan kawula biasa.

Selain Pangeran Diponegoro, tokoh yang selalu membangkitkan semangat dan keberanian para pejuang adalah Kiai Mojo. Ia selalu menegaskan, perang Diponegoro atau perang Jawa adalah jihad yang harus dilakukan semua umat Islam. Tujuannya tak lain untuk melawan penderitaan serta kesengsaraan yang diakibatkan kesewenang-wenangan dan kelaliman pemerintahan Hindia-Belanda.

Perang Diponegoro menjadi salah satu contoh penting dari perjuangan nasional Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Islam, dalam upaya untuk mendapatkan kemerdekaan.

Perang Aceh...

3. Perang Aceh (1873-1904)

Ini adalah perang panjang antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda. Selama perang ini, nilai-nilai Islam juga berperan penting dalam memotivasi rakyat Aceh untuk melawan penjajahan Belanda.

Perang Aceh-Belanda ini dimulai pada 1873 sampai 1904. Meskipun Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904, tetapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Perang yang berlangsung lebih dari tiga dekade itu melahirkan tokoh-tokoh perjuangan, seperti Sultan Mahmud Syah, Sultan Muhammad Daud Syah, Panglima Polem, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia.

4. Perang Banjar (1859-1905)

Perang ini adalah konflik antara Kesultanan Banjar dan Belanda. Selama perang ini, pemimpin-pemimpin Muslim Banjar juga berusaha mempertahankan kemerdekaan dan nilai-nilai Islam. Inilah perang yang amat menentukan bagi jatuhnya Kalimantan Selatan di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda.

Perang Banjar adalah peperangan yang terjadi di Banjarmasin pada masa kerajaan Islam dan penjajahan Belanda. Sejak pertengahan abad ke-19, masyarakat dari pelbagai golongan di Kesultanan Banjar tidak menyukai campur tangan Belanda.

Pangeran Antasari muncul sebagai salah satu tokoh utama dalam perang di tanah Borneo ini. Gelarnya yaitu Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Dalam perang ini, Pangeran Antasari bahkan berhasil menyatukan Banjar dan Dayak dengan spirit perlawanan terhadap penjajah.

5. Geger Cilegon (1888)

Pemberontakan melawan Belanda juga terjadi di wilayah Banten, dengan elemen-elemen Islam yang turut berperan. Perang yang dikenal dengan Geger Cilegon ini termasuk perlawanan yang paling fenomenal di Banten pada masa penjajahan, tepatnya pada 9-30 Juli 1888.

Ini adalah sebuah peristiwa sejarah yang disebut salah satu peristiwa penyerangan masyarakat tani terbesar setelah usainya Kesultanan Banten 1813 oleh VOC dan sebelum terjadinya peristiwa Kaum Tani 1926 di Anyer. Peristiwa ini juga dipelopori oleh beberapa ulama di Banten.

Dalam bukunya, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Nina Herlina Lubis mengungkapkan peran empat tokoh guru tarekat yang ikut memelopori Geger Cilegon 1888. Mereka adalah Haji Abdul Karim alias Kiai Agung, Haji Marjuki, Haji Wasid, dan Haji Tubagus Ismail. Dengan hadirnya ulama, maka nilai-nilai Islam tentu membakar semangat perjuangan rakyat Banten kala itu.

Perang Aceh...

6. Resolusi Jihad untuk Perang 10 November 1945

Pada 22 Oktober 1945, Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, mengeluarkan "Resolusi Jihad". Reolusi ini berisi seruan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kepada para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia.

Resolusi ini dikeluarkan sebagai tanggapan terhadap situasi politik dan sosial yang berkembang pada saat itu, terutama terkait dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan upaya untuk mempertahankan integritas negara dari ancaman kolonialisme.

Dalam resolusi ini, Kiai Hasyim Asy’ari menyatakan perang suci (jihad) melawan pemerintahan kolonial Belanda sebagai bagian dari perjuangan untuk mempertahankan agama dan negara. Seruan perang suci tersebut mendorong banyak pengikut NU ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Resolusi Jihad NU menjadi bukti bagaimana agama dan nasionalisme dapat saling berdampingan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan Islam sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk melindungi kedaulatan negara.

Bung Tomo - (wikipedia)



7. Teriakan Allahu Akbar dalam Perang 10 November 1945

Teriakan "Allahu Akbar" yang dilakukan oleh Bung Tomo merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, terutama dalam peristiwa Pertempuran 10 November 1945 atau yang lebih dikenal dengan "Hari Pahlawan".

Bung Tomo, yang nama lengkapnya adalah Sutomo, adalah salah seorang pemimpin perjuangan dan pahlawan nasional Indonesia. Pada 10 November 1945, di Surabaya, Bung Tomo memimpin perlawanan rakyat Indonesia melawan pasukan sekutu yang mencoba menguasai kembali kota tersebut setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Dalam momen penting itu, ketika pasukan sekutu hendak merebut kembali kemerdekaan yang telah diraih Indonesia, Bung Tomo memberikan pidato yang menginspirasi rakyat Surabaya untuk melawan dengan semangat juang yang tinggi.

Pada akhir pidatonya di radio, Bung Tomo selalu berteriak dengan penuh semangat, "Allahu Akbar!" yang berarti "Allah Maha Besar!".

Teriakan "Allahu Akbar" tersebut menjadi simbol semangat perjuangan dan keteguhan hati rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Momen ini juga menunjukkan semangat perjuangan dan agama dapat menjadi sumber inspirasi yang kuat dalam perjuangan nasional.

“Andai tidak ada kalimat takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah,” kata Bung Tomo, pahlawan kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920 dan wafat pada 7 Oktober 1981.

Beberapa perang di atas hanya sebagian contoh perjuangan yang dilandasi nilai-nilai Islam dalam sejarah perjalanan panjang Indonesia. Perjuangan ini mencerminkan bagaimana agama Islam telah menjadi bagian penting dari semangat perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dan keadilan.

 
Berita Terpopuler