Nyala Meritokrasi Erick Thohir

Di kawasan regional, ada Singapura yang mewujudkan meritokrasi modern.

Dok PSSI
Menteri BUMN Erick Thohir.
Red: Ferry kisihandi

Oleh: Endang Tirtana, Peneliti Senior Maarif Institute dan Kandidat Doktor di Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang mengatakan hanya mitos tetapi meritokrasi sering dipandang sebagai jalan keluar ampuh untuk mendongkrak kemajuan. Pada level politik global, kebangkitan Cina misalnya, kerap dihubungkan dengan kemampuan mengelola potensi meritokrasi budayanya. 

Para pemimpin liberal di negara-negara Eropa terbiasa mengungkap kecemasan pada “kebangkitan Cina” itu dengan menuding Cina mengembangkan seperangkat sistem alternatif yang komprehensif untuk menandingi demokrasi Barat, mengorbankan prinsip kebebasan dan penegakan hak asasi manusia (HAM). 

Namun, Daniel A Bell, seorang profesor politik di Shandong University mengatakan, pendapat semacam itu memerlukan pemeriksaan yang saksama.  Pertama, karena meritokrasi politik di Cina, sebagian besar sesuai prinsip demokrasi, kecuali sistem pemilu (demokrasi elektoral). 

Cina juga mendukung HAM dan kesamaan hak semua warga di depan hukum pidana. 

Meritokrasi Cina menentang demokrasi elektoral karena seorang pemimpin terpilih tanpa pengalaman politik dapat menarik emosi terburuk rakyat dan naik ke puncak serta mungkin membuat kesalahan pemula.

Pemimpin seperti itu juga akan lebih dibatasi oleh pertimbangan elektoral jangka pendek dengan mengorbankan perencanaan jangka panjang demi kebaikan komunitas politik dan seluruh dunia.

Kedua, karena kesadaran meritokrasi politik Cina lebih bersifat kontekstual di lingkup geo-kultural Cina. Dengan kata lain, negara itu tidak terlalu bernafsu mengekspor prinsip meritokrasinya ke luar dunia Cina sebagaimana Barat menggariskan demokrasi elekoral sebagai standar civil society yang sehat di seluruh masyarakat manusia.

Di Indonesia, perhatian kepada kemajuan Cina mulai mendapat tempat semenjak periode reformasi. 

Orang sering menyebut-nyebut peran mantan presiden Abdurrahman Wahid yang menjembatani hubungan dengan Cina dan upayanya mengatasi resistensi budaya antara Indonesia dan Tionghoa yang diwariskan Orde Baru.

Kebijakan semacam itu tampaknya terus berlanjut baik di masa-masa presiden selanjutnya. 

Belakangan, hubungan luar negeri dan investasi yang terus ditingkatkan dengan Cina oleh pemerintah Jokowi, ditengarai merupakan proposisi menuju langkah-langkah membangun kultur meritokrasi baru sebagai cara untuk ‘bangkit’ sebagaimana Tiongkok bangkit itu.

Di kawasan regional yang lebih dekat, ada Singapura yang mewujudkan meritokrasi modernnya melalui integrasi sumber daya asing dan lokal, teknorasi yang kuat dan tentu saja sistem kepemimpinan terpusat pada intelegensia seorang figur. 

Yang menurut para pengamat, merupakan faktor utama yang mengubah pulau kecil tanpa sumber daya alam itu secara ajaib menjadi kawasan termaju di dunia dan paling kompetitif secara ekonomi.

Perbandingan-perbandingan semacam itu tentu mendorong topik meritokrasi ke titik fokus perbincangan tentang pembangunan dan sistem politik. Bagi negara seperti Indonesia, tantangannya adalah perbedaan sistem ideologi politik yang mendasar dengan negara seperti Cina dan Singapura.

Indonesia adalah salah satu negara demokrasi (elektoral) terbesar di dunia, yang dipilih sebagai hasil perhikmahan dari akibat-akibat yang ditimbulkan otoritarianisme politik dan militerisme. Karena itu sistem demokrasi Indonesia tentu mengharamkan setiap potensi semacam itu. 

Di level kebudayaan, keragaman etnik dan kekayaan budaya secara umum sejauh ini masih merupakan problem ketimbang solusi. Namun, orang juga menyadari, masalah terbesar kita ada pada tataran birokrasi, korupsi, dan politik yang sering tidak stabil. 

Oligarki yang dominan pengaruhnya pada proses politik kita pun dinilai lebih mengedepankan aspek pragmatisme ketimbang memprioritaskan ‘kebangkitan’. 

Gambaran tantangan semacam itu, membuat meritokrasi menjadi semakin sukar dam bahkan cenderung mustahil diwujudkan. Sehingga mungkin diperlukan semacam ‘meritokrasi alternatif’ yang lebih sesuai dengan bangunan demokrasi dan budaya kontemporer kita. Masalahnya bagaimana memulai realisasinya?

Jawaban meritokrasi

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, prinsip meritokrasi umumnya identik wawasan yang teknoratis melalui pengoptimalan uji kompetensi dan kualifikasi sebagaimana tampak pada proses perbaikan birokrasi, penyeleksian ASN, dan dunia persekolahan. 

Namun di sini kita masih tersandung pada setidaknya dua hal; pertama, pada sumber daya yang mampu mengoperasikan gagasan itu dan kedua, iklim politik. Presiden Jokowi, terutama di periode kedua kepemimpinannya, menyadari masalah ini. 

Kita melihat ia mulai menyasar figur-figur mumpuni untuk memimpin sektor-sektor terpenting yang akan sangat memengaruhi jalannya ekonomi dan pemerintahan secara umum. Erick Thohir (selanjutnya ditulis ET) adalah salah satu yang sudah dikenal publik. 

Tidak perlu kita ulang lagi di sini bagaimana penilaian positif telah diberikan kepadanya atas kerja-kerjanya yang membuktikan kepercayaan presiden padanya tidak keliru. Bahkan, Presiden Jokowi sendiri secara eksplisit sering memuji sosok ini di depan publik. 

ET bukan hanya seorang teknorat yang baik tetapi juga mampu hadir di ruang yang lebih populis seperti halnya olahraga, sama seperti ia menunjukkan kemampuan di bidang pemerintahan. 

Jika di lingkup pemerintahan, ia berjuang menciptakan budaya teknorasi yang efisien, di dunia seperti olahraga ia sebenarnya sedang memperjuangkan citra dan rasa bangga nasional sebagaimana pernah penulis singgung di tulisan yang lain. 

Suatu hal yang pasti besar dampaknya pada penerimaan publik secara umum padanya bilamana ia digadang-gadang ke panggung politik. Dengan kemampuannya semacam itu, kita melihat cerminan meritokrasi nasional yang unik pada ET.

Bila para pakar mengatakan, dasar dari semua upaya membangun budaya meritokrasi adalah komitmen atau realisasi tanggung jawab, baik kepada bidang yang sedang ditekuni maupun tanggung jawab kebangsaan, maka kita melihat itu ada pada ET. 

Apakah faktor-faktor ini yang juga dilihat masyarakat ketika memberikan penilaian melalui survei dan polling politik? Masyarakat yang tahu jawabannya, Erick Thohir. n

 
Berita Terpopuler