Benarkah Perempuan Merupakan Editor Pertama Alquran?

Alquran ditulis dan disusun dengan sangat baik sehingga terjaga keasliannya.

Republika
Seorang Jamaah membaca Alquran
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam banyak diskursus dan pembahasan seputar asal-usul Islam, kebanyakan berfokus pada tindakan para pengikut laki-laki awal Nabi Muhammad SAW. Namun, beberapa sejarawan menunjukkan perempuan memainkan peran penting dalam kebangkitan agama di Arab.

Baca Juga

Salah satu pembahasan ini dibawakan oleh Ruqayya Khan, seorang profesor di Claremont Graduate University. Ia telah menulis sebuah artikel berjudul 'Did a Woman Edit the Qur'an? Hafsa's Famed Codex'.

Dalam tulisannya itu, Khan meneliti bagaimana Alquran dibentuk menjadi dokumen tertulis pada pertengahan abad ketujuh. Setidaknya, ada dua hadis utama tentang bagaimana ayat-ayat tersebut, yang sebagian besar ditransmisikan secara lisan di kalangan komunitas Muslim, dikodifikasi menjadi versi tertulis. Dalam kedua kisah tersebut, Hafsa memainkan peran penting.

Hafsa adalah putri dari 'Umar ibn al-Khattab, salah satu pendukung utama Rasulullah dan menjadi salah satu Khalifah awal. Dia menikah dengan Nabi Muhammad sekitar tahun 625 M atau 3 H, yang mana menjadikannya sebagai istri keempat Rasul.

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Dalam beberapa catatan sejarah, banyak yang menyebut jika hubungan keduanya tidak terlalu harmonis. Bahkan, Nabi Muhammad sempat menceraikannya beberapa waktu.

Sumber-sumber yang ada menggambarkan Hafsa sebagai orang yang sangat cerdas dan terpelajar. Bahkan, ada sumber yang menyebutkan dia sempat menantang Nabi Muhammad SAW atas relevansi ayat-ayat tertentu dalam Alquran. 

Khan mencatat bahwa peran Hafsa dalam penulisan Qur’an dimulai pada masa hidup Muhammad. Gambaran ini muncul dari catatan yang dikutip dalam sumber awal oleh 'Abdullah Ibn Wahb (w. 812) dan dikaitkan dengan 'Urwa b. al-Zūbayr (wafat 712), seorang ahli hukum Madinah yang terkenal dan “pelopor dalam penulisan sejarah”.

Di dalamnya, Hafsa dengan jelas digambarkan fasih membaca, membaca, menulis dan bahkan mengedit materi Alquran. Muhammad juga diperlihatkan sedang mengajar Alquran kepadanya dan menulis ayat-ayat Alquran untuknya.

Sang ayah, 'Umar, menganggapnya sebagai ahli dalam membaca maupun menilus Alquran. Sosoknya selalu dicari ketika datang untuk memilah pembacaan ayat-ayat Alquran.

 

Abu l-Aswad menceritakan (bahwa) 'Urwa b. al-Zūbayr berkata, “Orang-orang berselisih tentang pembacaan 'Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab . . . ’ [Q 98: 1], jadi ‘Umar b. al-Khaṭṭāb datang ke Hafṣa, [membawa] bersamanya secarik] kulit (adīm). Dia berkata:

"Ketika Rasulullah datang kepadamu, mintalah dia untuk mengajarimu 'Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab' . . . dan katakan padanya untuk menuliskannya untukmu di [potongan] kulit ini. Hafsa pun menuruti perintah tersebut dan Nabi Muhammad SAW menuliskannya untuknya. Bacaan ini pun menjadi umum dan tersebar luas ['āmma]. 

Dalam salah satu hadis, pada masa pemerintahan Khalifah pertama Abu Bakar (632-634) ia dan ayah Hafsa, 'Umar, memutuskan untuk menyusun ayat-ayat Alquran menjadi dokumen tertulis setelah kematian sejumlah besar pembaca Alquran. Teks ini kemudian dipegang pertama oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar sampai kematiannya, setelah itu disimpan oleh Hafsa sendiri.

Dalam hadis lain, sekitar tahun 650-an disebutkan Khalifah 'Utsmān berusaha untuk membuat satu set teks terikat dari versi Alquran yang dikodifikasi, yang dapat dia kirim ke pelosok kerajaannya yang sedang berkembang. Untuk mendapatkan dokumen ini, Khalifah mengirim utusan ke Hafsa dan memintanya untuk mengirimkan lembaran [ṣuḥuf], sehingga mereka dapat menyalinnya menjadi kodeks [al-maṣahif] dan nantinya dikembalikan kepadanya.

"Secara tersirat, Hafsa digambarkan sangat berhati-hati dalam melepaskan ṣuḥuf kepada khalifah 'Utsmān. Memang, dalam catatan Islami yang mendahului hadis yang disebutkan di atas oleh al-Bukhāri, Hafṣa sebenarnya dikutip sebagai prasyarat untuk pelepasan hal ini," kata Khan dalam artikelnya dikutip di Medievalists, Kamis (22/6/2023).

 

Kisah ini ditemukan dalam sebuah sumber oleh 'Abdullah Ibn Wahb (wafat 812). Yang menarik, ia menggunakan istilah muṣhaf untuk menggambarkan materi yang dimiliki Hafṣa.

“'Uthmān mengirimkan pesan kepada Hafṣa bahwa dia mengirimkan (muṣhaf) kepadanya. Dia berkata: 'Atas syarat bahwa Anda akan mengembalikannya kepada saya.' Dia berkata: 'Ya',” ujar dia.

Hafsa melanjutkan, sebagai penjaga dokumen asli Alquran, meski bukan tanpa perlawanan. Marwān ibn Hakam, yang merupakan gubernur Madinah dan kemudian menjadi khalifah Umayyah, menuntut agar dia menyerahkan koleksinya kepadanya.

Hafsa pun menolak hal ini. Marwān harus menunggu sampai kematiannya pada tahun 665 untuk memilikinya, yang mana kemudian dihancurkan olehnya.

Khan menyebut sebagian besar ulama yang mengomentari peran Hafsa dalam perumusan Alquran cenderung meminggirkannya. Hafsa digambarkan sebagai perantara di antara para pemimpin laki-laki komunitas Islam awal, serta kumpulan ayat-ayat Alqurannya adalah sesuatu yang lebih mirip dengan salinan pribadi yang tidak begitu penting.

Khan pun menantang gagasan ini dan gagasan lain yang menyebut ayat suci Alquran tidak akan pernah dipercayakan kepada seorang wanita. Bersamaan dengan itu, ia menawarkan beberapa pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh para sejarawan Islam awal.

 

"Cendekiawan Alquran barat modern perlu lebih mengintegrasikan sejarah perempuan dengan perdebatannya tentang historiografi Islam awal dan rekonstruksi asal-usul Islam awal. Dengan menelaah hubungan Hafṣa binti 'Umar dengan kodifikasi Alquran, keilmuan ini dapat memanfaatkan kesempatan untuk menjelaskan dengan lebih baik konteks sastra dan sejarah yang terkait dengan Alquran," kata dia.

 
Berita Terpopuler