Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Guru Besar Unand: MK Buat Putusan Monumental

Guru Besar Unand mengapresiasi MK tetap menguatkan sistem proporsional terbuka.

Republika/Putra M. Akbar
Foto double exposure Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memimpin sidang putusan terkait gugatan sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023). Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Pemilu. Sehingga Pemilu 2024 tetap diselenggarakan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Akademisi sekaligus pakar politik dari Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat Prof. Asrinaldi menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat sebuah keputusan yang monumental usai menolak permohonan sistem pemilu proporsional tertutup.

Baca Juga

"Keputusan MK ini sangat monumental bagi perkembangan demokrasi Indonesia," kata Prof. Asrinaldi di Padang, Kamis (15/6/2023).

Hal tersebut disampaikan Prof. Asrinaldi menanggapi putusan MK yang menolak permohonan pemohon perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait dengan sistem pemilu tertutup.

Atas putusan sembilan hakim MK tersebut, Asrinaldi menyambut baik karena para hakim dinilai telah mempertimbangkan aspek-aspek konstitusi.

"Hakim konstitusi pastinya tidak hanya mempertimbangkan aspek konstitusi. tapi juga manfaat keterwakilan dalam demokrasi," tutur dia.

Menurut dia, poin-poin yang disampaikan pemohon atau penggugat dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu terbuka, sejati-nya berada di partai politik itu sendiri bukan pada masyarakat atau konstituen.

Dengan diputus-nya perkara tersebut diharapkan dapat terus dipertahankan. Ke depannya, kalaupun masih ada pihak-pihak yang ingin menggugat diharapkan lebih mempertimbangkan berbagai aspek terutama masalah keterwakilan demokrasi.

Sebab, bagaimanapun juga dalam konteks demokrasi aspek keterwakilan harus ditegaskan lebih penting untuk kedaulatan rakyat daripada partai politik yang selama ini sangat mendominasi, jelas dia.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi...

Lihat halaman berikutnya >>

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka. 

Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, gugatan bernomor 114/PUU-XX/2022 itu gagal menjadikan pemilu sistem proporsional tertutup diberlakukan lagi. 

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK pada Kamis (14/6/2023). 

Dalam pertimbangannya, MK menilai Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif. Sikap ini diambil MK setelah menimbang ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum. 

"UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujar hakim MK Suhartoyo. 

MK lebih mendukung sistem proporsional terbuka karena lebih mendukung iklim demokrasi di Tanah Air. Hal ini berkebalikan kalau sistem proporsional tertutup yang diterapkan. 

"Sistem proporsional dengan daftar terbuka dinilai lebih demokratis," ujar Suhartoyo. 

Analisis Denny Indrayana

Lihat halaman berikutnya>>

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana memprediksi lima bentuk putusan yang kemungkinan diambil Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka. Mantan wakil menteri hukum dan HAM itu menyebut lima prediksinya tersebut sebagai 'bocoran'. 

"Mau tahu putusan MK soal pemilihan legislatif? Ada lima 'bocoran' terkait arah putusan MK tersebut," kata Denny lewat keterangan tertulisnya, Kamis (1/6/2023). 

Pertama, MK memutuskan tidak menerima gugatan pemohon. Artinya, pemohon dianggap tidak berhak mengajukan gugatan. Dengan demikian, sistem proporsional terbuka tetap digunakan dalam Pemilu 2024. 

Kedua, MK memutuskan menolak permohonan. Dengan begitu, sistem proporsional terbuka juga akan tetap digunakan dalam gelaran Pemilu 2024. 

Ketiga, MK memutuskan mengabulkan seluruh permohonan. Artinya, sistem pemilu berubah menjadi proporsional tertutup alias sistem coblos partai. MK bisa saja memerintahkan agar sistem proporsional tertutup itu diterapkan mulai Pemilu 2024, atau dipakai mulai Pemilu 2029. 

Keempat, MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan. Kemungkinan, kata Denny, MK akan memerintahkan agar pemilu menggunakan sistem campuran, yakni sistem proporsional tertutup dengan memperhatikan perolehan suara calon anggota legislatif (caleg). MK bisa memutuskan sistem campuran ini berlaku mulai dari Pemilu 2024, atau mulai Pemilu 2029. 

 

Kelima, MK memutuskan mengabulkan sebagian. Denny memprediksi MK bakal memutuskan pemilu menggunakan sistem campuran beda level. "Misalnya sistem tertutup untuk DPR, namun sistem terbuka untuk DPR provinsi dan kabupaten/kota, atau sebaliknya," ujarnya. Penerapannya bisa mulai dari Pemilu 2024, atau ditunda untuk Pemilu 2029. 

Menurut Denny, apabila MK memutuskan pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup dan berlaku mulai Pemilu 2024, maka kemungkinan akan terjadi empat bentuk kekacauan politik. Pertama, partai politik terpaksa menyusun ulang daftar bakal caleg-nya yang sudah terlanjur diserahkan ke KPU dengan logika sistem proporsional terbuka. 

Kedua, banyak bakal caleg yang mengundurkan diri karena tidak mendapatkan nomor urut kecil atau teratas dalam daftar caleg partai. Sebagai catatan, dalam sistem proporsional tertutup, nomor urut merupakan penentu caleg mana yang berhak menenangkan kursi anggota dewan.

"Ketiga, ada potensi terjadi perebutan, bahkan perkelahian, dan jual beli nomor urut," kata Denny. Keempat, tiga kekacauan sebelumnya akan mengakibatkan persiapan Pemilu 2024 terganggu. 

Karena itu, Denny mendorong agar MK menolak gugatan tersebut dengan argumentasi bahwa pilihan sistem pemilu merupakan open legal policy alias kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang. Dengan begitu, sistem proporsional terbuka tetap berlaku dalam Pemilu 2024. 

"Kalaupun mau mengubah sistem, maka serahkanlah kepada proses legislasi di parlemen," kata pria yang berprofesi sebagai advokat itu. Perubahan sistem lewat parlemen itu sebaiknya dilakukan setelah gelaran Pemilu 2024. 

Kendati mendorong agar gugatan itu ditolak, Denny juga tak menutup mata bahwa MK bisa saja memutuskan menerima permohonan seluruhnya sehingga sistem proporsional tertutup yang berlaku. Jika benar demikian, Denny berharap agar MK tidak memberlakukan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 karena akan menimbulkan kebingungan dan kekacauan. 

"Kalau tetap berketetapan mengubah menjadi sistem tertutup, (sebaiknya) dilaksanakan untuk pemilihan legislatif Pemilu 2029," kata Denny, sosok yang menjadi wakil menteri di era Presiden SBY. 

 

Adapun MK telah menyatakan akan segera memutuskan perkara uji materi sistem proporsional terbuka ini. MK telah selesai menggelar sidang pemeriksaan pada pekan lalu. MK juga telah menerima berkas kesimpulan akhir dari para Pihak dan Pihak Terkait pada Rabu (31/5/2023). 

 
Berita Terpopuler