Viral Bantahan Kapolda Sulteng Kasus Asusila Terhadap Anak Bukan Pemerkosaan Tuai Kecaman

Kapolda menegaskan kasus di Parigi Moutong melibatkan 11 pelaku sebagai persetubuhan.

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah
Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho (kanan) saat rilis kasus kejahatan terhadap anak di Mapolda Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/5/2023). Polisi mengungkap kasus tindak asusila terhadap anak di bawah umur dan menetapkan 10 tersangka diantaranya oknum guru, seorang kepala desa dan mahasiswa, serta memeriksa satu oknum polisi yang diduga ikut terlibat.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Fergi Nadira, Zainur Mashir Ramadhan, Ali Mansur

Baca Juga

Kepolisian Sulawesi Tengah (Sulteng) menolak menyebut kasus asusila terhadap anak RO (15 tahun) sebagai tindak pidana pemerkosaan atau rudapaksa. Kapolda Sulteng Inspektur Jenderal (Irjen) Agus Nugroho menegaskan, kasus yang melibatkan 11 orang sebagai pelaku dan tersangka tersebut, adalah tindak pidana berupa persetubuhan terhadap anak di bawah umur.

“Kasus tersebut adalah bukan pemerkosaan, ataupun rudapaksa. Saya ingin meluruskan penggunaan istilah ini. Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan dalam kasus ini. Melainkan persetubuhan terhadap anak di bawah umur,” kata Irjen Agus dalam konfrensi pers yang dikutip Republika dari Instagram resmi Bidhumas Polda Sulteng, pada Kamis (1/6/2023). 

Agus menjelaskan mengapa kasus itu bukan pemerkosaan. Menurut dia, tindak pidana pemerkosaan mengacu pada konstruksi Pasal 285 KUH Pidana.

Di dalam pasal tersebut, unsur-unsur pemerkosaan adalah terjadinya persetubuhan paksa di luar pertalian pernikahan. Pun dilakukan karena adanya tindak kekerasan, maupun pengancaman.

“Secara tegas dinyatakan bahwa dalam pemerkosaan adanya sifat konstitutif berupa tindakan kekerasan, ataupun ancaman kekerasan dalam memaksa seorang wanita untuk bersetubuh di luar perkawinan,” ujar Agus.

Akan tetapi dalam kasus yang dialami oleh RO, perempuan 15 tahun itu terjadinya persetubuhan lantaran dasar iming-iming dan janji. Para pelaku persetubuhan anak itu, pun dari hasil penyidikan tak ada yang melakukan pengancaman, ataupun kekerasan.

“Modus operandi yang digunakan bukan dengan kekerasan, atau pengancaman. Melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming dan janji, akan diberikan uang, dan sejumlah barang,” terang Agus.

Bahkan dikatakan Agus, ada beberapa pelaku persetubuhan tersebut yang menjanjikan akan menikahi jika RO hamil. Karena kasus tersebut tak masuk dalam tindak pidana pemerkosaan, menurut Agus, tim penyidik Polda Sulteng mengambil jalan penuntasan kasus tersebut dengan mengacu pada Pasal 81 Undang-undang (UU) 35/2014 tentang Perlindungan Anak (PA).

Karena dikatakan Agus, peristiwa persetubuhan yang dialami oleh, terjadi pada saat usianya baru menginjak 15 tahun 7 bulan. Penggunaan sangkaan tersebut, pun dikatakan Irjen Agus lebih mumpuni dalam menghukum pelaku dan tersangka yang saat ini beberapa di antarnya sudah berhasil ditangkap dan ditahan.

Para pelaku

Irjen Agus menjelaskan, kasus yang dialami oleh RO ini terjadi di Desa Sausu, Parigi Moutong. Kasus tersebut dilaporkan pertama kali ke Polres Parigi Moutong, pada 25 Mei 2023.

Kasus tersebut dilaporkan sendiri oleh orang tua RO. Dan penyelidikan, serta penyidikan yang dilakukan oleh Polres Parigi Moutong, saat ini diambil alih oleh Polda Sulteng.

Dalam penyidikan saat ini, ditemukan 11 nama yang terlibat dalam persetubuhan anak RO tersebut. Akan tetapi, kata Agus, 11 pelaku tersebut tak melakukan persetubuhan itu dengan cara serempak.

Menurut Agus, 11 pelaku tersebut adalah HR alias Pak Kades (43 tahun); ARH alias Pak Guru (40); AK (47), AR (26), NT (36), FN (22), K (32), AW, dan AS, HK, serta MKS. Pelaku inisial MKS, diakui Irjen Agus adalah sebagai anggota Polri.

“Namun siapa pun dia, anggota Polri atau tidak, kita akan tindak tegas jika memang terbukti terlibat dalam perkara ini,” ujar Agus.

Dari hasil penyidikan sementara ini terungkap, para pelaku tersebut menyetubuhi RO tidak dengan cara bersama-sama. “Jadi persetubuhan anak ini dilakukan secara berdiri sendiri-sendiri. Dari penyidikan diketahui persetubuhan anak ini terjadi sepanjang 10 bulan, dari April 2022 sampai Januari 2023,” kata Agus menerangkan.

Sementara ini, kata Agus, tim penyidikan sudah melakukan penangkapan terhadap lima pelaku. Mereka di antaranya NT, ARH, AR, AK, dan HR.

Kelima tersangka itu, sudah dalam penahanan di Polda Sulteng. Dari kelima tersangka itu, terungkap NT melalukan persetubuhan dengan anak RO sebanyak dua kali sepanjang Desember 2022-Januari 2023.

Sedangkan tersangka ARH menyetubuhi RO sebanyak enam kali pada April 2022-Januari 2023. Tersangka AR, melakukan persetubuhan dengan RO sebanyak empat kali periode Mei - Desember 2022.

Tersangka AK, melakukan persetubuhan dengan RO empat kali pada Desember 2022-Januari 2023, dan tersangka HR menyetubuhi RO dua kali pada April - Desember 2022. Dari penjelasan para tersangka, dan kesaksian korban anak RO, diketahui ada enam titik lokasi perbuatan persetubuhan itu dilakukan.

Tempat kejadian pertama di rumah tersangka AK. Dan juga sering dilakukan di Kantor Kesekretariatan Desa Sausu. Di Penginapan C, dan di Penginapan S. Persetubuhan itu juga dilakukan di pinggir Sungai Desa Sausu, serta di satu pondok perkebunan di Desa Sausu.

“Semua peristiwa tersebut tempat kejadiannya ada di wilayah hukum Parigi Muotong,” kata Agus menambahkan.

Saat ini, dikatakan Agus, tim penyidik Polda Sulteng terus melanjutkan pengungkapan kasus tersebut. Prioritas utama dikatakan dia, adalah melakukan pencarian, dan penangkapan terhadap enam tersangka, pelaku persetubuhan tersebut. Termasuk dikatakan dia, akan mencari keberadaan salah-satu anggota Polri, yang turut terlibat dalam persetubuhan anak RO tersebut.

 

In Picture: Pengungkapan Kasus Tindak Pidana Asusila Terhadap Anak

 

Rekaman video pernyataan Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho pada Kamis (1/6/2023) viral di media sosial dan menuai kecaman warganet. Tagar '#percumalaporpolisi pun menggema di Twitter. Penulis yang peduli dengan isu-isu berbasis gender, Kalis Mardiasih geram akan pernyataan polisi yang menyebut tindakan kekerasan seksual dengan diksi 'persetubuhan.'

"Cuma di Indonesia: Pas kita edukasi soal consent, katanya nggak usah bicara consent consent, itu propaganda seks bebas. Giliran kasus kekerasan seksual pada anak oleh 11 pria dewasa, korbannya terancam diangkat rahim, eh peristiwanya dibilang consent/persetubuhan (emoji marah)," kata Kalis di Twitter centang birunya @mardiasih dikutip Republika di Jakarta pada Kamis.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, pun ikut menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng, yang menurutnya, sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia.

"Dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui,” kata Erasmus dalam keterangannya di Jakarta kepada Republika, Kamis (1/6/2023).

Menurut dia, dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No. 23 tahun 2002, tidak menjelaskan narasi polisi bahwa iming-iming dalam kekerasan seksual itu menurunkannya menjadi ‘persetubuhan’. Sebaliknya, kata dia, sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetap kekerasan seksual.

“Bahkan level kejahatannya lebih berat. Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat,” jelas dia.

Sebab itu, dia meminta agar pihak kepolisian memahami diskursus perlindungan anak, bahwa setiap bentuk persetubuhan terhadap anak adalah perkosaan yang mutlak atau statutory rape. Menurutnya, polisi juga harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia.

“Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak,” tutur dia.

ICJR, kata dia, menyerukan agar polisi mempelajarai perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia. Lebih jauh, narasi polisi yang menyalahkan korban, disebutnya juga sangat keliru, sehingga pimpinan polisi diminta mengambil sikap dan teguran atau sanksi yang lebih berat.

“Ketiga, pendidikan gender harus masuk dan dipahami oleh polisi yang mayoritas laki-laki dan cenderung lekat dengan maskulinitas. Terakhir, Keempat, Pendidikan di level kepolisian harus direformasi, munculnya pernyataan dari kepolisian di level setinggi Kapolda menunjukkan adanya masalah dalam pemahaman hukum,” kata dia.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto juga menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho kasus pemerkosaan terhadap anak berusia 15 di Parigi Moutong. Dia menilai pernyataan Agus yang menyebut kasus tersebut bukan tindak pidana pemerkosaan tidak sensitif terhadap gender. 

"Pernyataan itu tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada korban tindak pidana kekerasan seksual apalagi korbannya anak di bawah umur," ujar Bambang saat dihubungi Republika, Kamis.

Bahkan, menurut Bambang, pertanyaan Irjen Agus Nugroho layak dipertanyakan, apakah Kapolda sebagai pimpinan penegak hukum di wilayah Sulteng memahami Undang-undang (UU) 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS. Kapolda juga harus bisa menjelaskan perbedaan antara perkosaan dengan pasal 4 ayat 2 (c) persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak.

"Substansi dari kasus tersebut adalah tindak pidana kekerasan seksual. Bahwa modusnya adalah perkosaan, pelecehan, penyiksaan seksual sesuai pasal 11 undang-undang tersebut itu adalah persoalan lain yang harus dibuktikan,Tapi faktanya ada korban yang mengalami TPKS," terang Bambang.

Karena itu, Bambang menyatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hendaknya mengevaluasi Kapolda Sulteng yang tidak sensitif terhadap kasus TPKS. Lalu juga layak dipertanyakan juga apa motif Kapolda membuat pernyataan yang mencoreng wajah Polri dengan tidak sensitif pada perlindungan anak dan TPKS tersebut.

"Kapolri hendaknya segera mengevaluasi kapolda yang memiliki mindset tidak sensitif pada TPKS ini," tegas Bambang. 

 

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 

 

 

 
Berita Terpopuler