Sederet Alasan Kegagalan Leicester City Bertahan di Liga Primer Inggris

Padahal, dari barisan pemain, Leicester dinilai memiliki skuad yang bisa bersaing.

AP Photo/Rui Vieira
Para pemain Leicester City harus menerima kenyataan pahit terdegradasi dari Liga Primer Inggris musim ini.
Rep: Reja Irfa Widodo Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, LEICESTER -- Leicester City mengejutkan nyaris semua pihak saat mampu finish di posisi tertinggi klasemen akhir Liga Primer Inggris musim 2015/2016. The Foxes, yang kala itu ditangani Claudio Ranieri, berhasil menjuarai Liga Primer Inggris dengan keunggulan 10 poin.

Leicester City mampu mengandaskan perlawanan klub-klub mapan di Liga Primer Inggris. Capaian gelar juara itu begitu spesial karena the Foxes baru melakoni musim kedua di pentas Liga Primer Inggris setelah promosi pada akhir musim 2013/2014.

Meski sempat kesulitan pada musim berikutnya, Leicester terbukti mampu bertahan. Bahkan, the Foxes menjadi yang terbaik di pentas Piala FA pada akhir musim 2020/2021. Namun, dua musim setelah merengkuh titel Piala FA atau tujuh tahun seusai mengangkat trofi Liga Primer Inggris, Leicester dipaksa menelan pil pahit.

Klub yang bermarkas di Stadion King Power itu harus mengucapkan selamat tinggal pada Liga Primer Inggris. Duduk di peringkat ke-18 klasemen akhir Liga Primer Inggris musim ini, Leicester dipastikan terdegradasi ke Divisi Championship pada musim depan.

Kemenangan 2-1 atas West Ham United pada pekan terakhir Liga Primer Inggris musim ini, Ahad (28/5/2023) malam WIB, tidak bisa menolong the Foxes. Pasalnya, di laga lainnya, Everton sukses membungkam Bournemouth, 1-0. Everton, yang duduk di peringkat ke-17, akhirnya menutup Liga Primer Inggris dengan keunggulan dua poin atas the Foxes.

Dari 38 penampilan di pentas Liga Primer Inggris musim ini, the Foxes hanya bisa memetik 34 poin hasil dari sembilan kemenangan, tujuh hasil imbang, dan 22 kekalahan. Padahal, dari barisan pemain, Leicester dinilai memiliki skuad yang bisa bersaing, setidaknya di papan tengah klasemen Liga Primer Inggris.

Namun, penampilan di atas lapangan berkata lain. Leicester pun tercatat tim dengan skuad paling mahal yang turun kasta ke Divisi Championship. Setidaknya ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab keterpurukan the Foxes pada musim ini tersebut. Berikut faktor-faktor tersebut seperti dilansir BBC, Senin (29/5/2023).

Ekpektasi yang terlalu besar

Pada musim lalu, Leicester City mampu finish di peringkat kedelapan Liga Primer Inggris. Tidak hanya itu, the Foxes pun mengawali musim lalu dengan raihan trofi, tepatnya Piala Community Shields. Selain itu, Jamie Vardy dan kawan-kawan juga mampu melaju ke babak semifinal UEFA Conference League. Catatan itu membawa optimisme tinggi di kubu the Foxes pada awal musim ini.

Namun, optimisme ini tidak ditopang oleh dukungan penuh kepada Brendan Rodgers, yang saat itu masih menjadi pelatih Leicester City. Sejumlah pemain yang siap dilepas mantan pelatih Liverpool itu, malah masih memperkuat tim utama, seperti Nampalys Mendy dan Ayoze Perez.

Kondisinya pun kian sulit karena pemilik klub, King Power, kesulitan untuk mendatangkan pemain anyar. Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar pada King Power, perusahaan retail travel asal Bangkok, Thailand, tersebut. Leicester City baru mendatangkan pemain anyar pada menit-menit terakhir bursa transfer, tepatnya saat mendatangkan Wout Jaes dari Rennes.

Baca Juga


Keterlambatan melakukan pergantian pelatih

Leicester harus menunggu hingga sembilan partai untuk bisa merasakan kemenangan perdana di Liga Primer Inggris musim ini. Dari delapan partai awal, the Foxes bahkan menelan tujuh kekalahan secara beruntun. Hingga pertengahan musim, Leicester hanya mampu memetik lima kemenangan di pentas Liga Primer Inggris.

Fan Leicester City sebenarnya sudah berharap Rodgers dipecat pada awal musim, terutama pasca-kekalahan, 2-5, dari Brighton pada awal September 2022. Namun, manajemen klub tetap mendukung dan memberikan kepercayaan pada pelatih asal Irlandia Utara tersebut.

Rodgers akhirnya benar-benar dipecat pada awal April 2023, tepatnya seusai the Foxes menelan kekalahan, 1-2, dari Cyrstal Palace. Saat itu, Leicester sudah terperosok di zona degradasi. Namun, manajemen the Foxes justru terlihat belum memiliki calon pengganti Rodgers.

Alhasil, Adam Sadler dipercaya menjadi sebagai caretaker sebelum akhirnya digantikan Dean Smith, yang menjabat sebagai pelatih permanen. Mantan pelatih Norwich City itu hanya memiliki waktu delapan laga untuk bisa membawa the Foxes keluar dari zona degradasi. Namun, perubahan pelatih itu sudah terlalu terlambat buat Leicester.

Kegagalan mencari pengganti Schmeichel

Ketangguhan Kasper Schmeichel di bawah mistar gawang kerap dianggap sebagai salah satu kekuatan utama the Foxes. Namun, kerja sama antara Schmeichel dan Leicester, yang telah terjalin selama 11 tahun, berakhir pada awal musim ini. Hanya mendapatkan sodoran perpanjangan kontrak satu tahun, penjaga gawang asal Denmark itu memilih hengkang.

Salah satu penggawa Leicester saat merengkuh titel Liga Primer Inggris itu pun hengkang ke Nice dengan status free transfer. Selama memperkuat the Foxes, Schmeichel merupakan salah satu pemain yang cukup vokal dan menjadi pemimpin rekan-rekan setimnya, baik di dalam ataupun di luar lapangan.

Namun, manajemen the Foxes gagal mencari pengganti Schmeichel. Danny Ward ditunjuk sebagai kiper utama, kemudian diikuti dengan Daniel Iversen, dan rekrutan teranyar Alex Smithies, yang didatangkan dari Cardiff dengan status free transfer. Dari segi performa, Ward terbilang gagal menggantikan Schmeichel.

Meski sempat mencatatkan enam clean sheet di delapan laga, Ward cenderung begitu rentan kebobolan dengan rataan gol mencapai 1,8 gol per laga. Posisi Ward akhirnya digantikan Iversen. Hasil imbang, 0-0, kala menghadapi Newcastle United, dua pekan lalu, menjadi catatan clean sheet pertama the Foxes sejak November lalu.

Sebelum berhasil menahan imbang the Magpies, Leicester City tercatat selalu kebobolan di 21 laga. Total, the Foxes kebobolan 68 gol di pentas Liga Primer Inggris musim ini atau berada di urutan keempat dalam urusan tim dengan jumlah kebobolan terbanyak.

 
Berita Terpopuler