Bagaimana Indonesia Keluar dari Inflasi dan Krisis Pangan?

Di kantong-kantong sentra produksi pangan perlu dibangun ekosistem hulu-hilir.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petani memanen padi di lahan persawahan di Cisaranten Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp5.000 per kilogram dari HPP semula Rp4.200 per kilogram.
Red: Ferry kisihandi

Oleh Muhammad Firdaus, Profesor Ilmu Ekonomi, IPB University

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Jokowi menggambarkan 2023 sebagai tahun gelap. Pengaruh ekonomi dunia terhadap Indonesia cukup kuat, terutama imbas perang Rusia-Ukraina dan isu geopolitik global lain yang mengakibatkan kenaikan harga energi, input pertanian, dan pangan impor. 

Di 2023, NCEP di AS meramalkan mulai semester kedua di Indonesia akan terjadi kemarau panjang. Pemahaman dan berbagai upaya antisipasi perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul, yaitu ancaman inflasi dan krisis pangan.

Salah satu indikator krisis pangan adalah jika harga naik di atas 50 persen, seperti pada 2008 dan 2022, di mana harga pangan global naik jauh di atas 50 persen. Pada 2008, krisis terjadi akibat El Nino sejak 2005-2006 sehingga cadangan pangan menurun dari 2007. 

Pada 2021 dan 2022, meskipun dampak iklim memegang peranan, pengaruh geopolitik memiliki andil lebih besar, terutama karena naiknya harga input pertanian. Di Indonesia, pengaruh kirsis dari sisi suplai dan permintaan pangan sangat besar terhadap inflasi. 

Fluktuasi harga yang tinggi dapat menyebabkan kondisi ekonomi sulit diprediksi sehingga pengendalian inflasi menjadi penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Maka antisipasi terhadap krisis pangan perlu diupayakan. 

Jika abai, goncangan stok pangan memicu kenaikan harga barang secara umum (volatile food inflation). Produksi pangan Indonesia sebagian besar berasal dari lahan pertanian terbuka skala kecil, di mana petani berproduksi dengan bergantung pada kondisi alam. 

Di sisi permintaan, dengan kondisi ekonomi yang mulai pulih seiring meredanya kasus Covid-19, konsumsi pangan terus meningkat. Wisata kuliner pun semakin berkembang pesat, baik di kota besar maupun kota-kota satelit. 

Jika konsumsi pangan ini tidak diimbangi  peningkatan ketersediaan di pasar, tentu memicu kenaikan harga yang signifikan. Merespon situasi di atas, terdapat lima alternatif jalan keluar dari ancaman krisis pangan yang berpotensi menyebabkan inflasi tinggi. 

Pertama, di kantong-kantong sentra produksi pangan perlu dibangun ekosistem hulu-hilir. Dari sisi hulu, adopsi teknologi merupakan keharusan, khususnya teknologi yang membawa efisiensi input pertanian. 

Untuk menghasilkan 1 kg gabah, petani di Indonesia mengeluarkan biaya dua kali dari petani di Vietnam. Dari sisi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk misalnya, dengan teknik pengembalian jerami padi ke tanah selama enam musim tanam berturut-turut dapat menurunkan penggunaan pupuk anorganik sampai sepertiga. 

Selain penggunaan seperti urea yang sering melebihi rekomendasi teknis, petani mengeluarkan biaya tinggi untuk penanganan hama dan penyakit tanaman. 

Pestisida menyebabkan petani “kecanduan” dan tidak lagi digunakan untuk tindakan yang bersifat pengendalian atau digunakan hanya saat diperlukan. Teknologi untuk mengurangi penggunaan pestisida kini sudah tersedia. 

Sebagai contoh, reduktan yang diciptakan Pandawa Agri, usaha anak milenial di Banyuwangi, dapat mengurangi volume penggunaan sampai 50 persen. Teknologi ini dapat menurunkan biaya hingga 40 persen.

Sifat produk ini tidak sepenuhnya menggantikan pestisida, namun bersifat komplementer, sehingga proses produksi jauh lebih ramah lingkungan. Kedua, teknologi diarahkan pada penerapan pertanian presisi, yang mulai dikembangkan penggiat teknologi pertanian. 

Teknologi ini mampu meningkatkan produktivitas dan mengefisienkan penggunaan sumber daya sehingga harga pokok produk pertanian menurun. Di Indonesia, penggunaan teknologi sudah masif sejak 1990-an untuk sayuran di rumah-rumah kaca pada dataran tinggi. 

Namun, aplikasi pada lahan terbuka masih terbatas. Beberapa pemain seperti Habibi Garden, Telkom dengan Agree, Hara dan lain-lain termasuk Kementerian Pertanian dengan PUTK dan PUTS sudah mencoba menginisiasi. 

Penggunaan irigasi tetes yang potensial di daerah kurang air juga terbatas, yang penting terutama saat ancaman kekeringan melanda. Investasi irigasi ini memang cukup tinggi, misal untuk tanaman cabai seluas 5 hektare diperlukan setidaknya Rp 200 juta.

Namun, jika teknologi ini digunakan maka dapat meningkatkan produktivitas hingga 20-30 persen. Jika dimasukkan sebagai komponen biaya untuk pengajuan kredit perbankan, secara keuangan layak untuk didanai.

Selain teknologi di hulu, persoalan utama pertanian Indonesia adalah pemasaran hasil. Jalan keluar ketiga dengan membangun ekosistem closed-loop, di mana rencana produksi dimulai dengan adanya off-taker yang akan membeli produk petani. 

Mulai pemilihan benih hingga jadwal tanam diatur sedemikian rupa sehingga spesifikasi produk petani sesuai  permintaan pasar dan dapat diserap off-taker. Implementasi skema ini tidak dapat dilakukan secara instan. 

Proses pendampingan harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak: akademisi, pemerintah, dan swasta. Selain itu, dukungan dari pemerintah melalui pemanfaatan Biaya Tidak Terduga (BTT) dari APBD untuk membantu subsidi pengadaan teknologi, input, dan pengadaan pasar murah pun dirasa mampu mendorong implementasi ekosistem closed-loop secara menyeluruh.

Contoh penerapan skema modernisasi hilir ini ini sudah dimulai di beberapa daerah, seperti Agrowisata dan Kebun Edukasi Eptilu di Garut, Koperasi Tamara di Sukabumi, serta Pengembangan Ekosistem Beras Natural Mbay di Nagekeo. 

Replikasi diperlukan karena dengan pendampingan ke petani secara pentaheliks mampu menunjang Indonesia untuk melewati berbagai titik kritis. Pada tingkat makro, jalan keluar keempat adalah optimasi kebijakan Badan Pangan Nasional (NFA). 

Sebagai lembaga baru yang mengatur ketersediaan dan keterjangkauan pangan, NFA sangat penting. Dengan 11 komoditas utama yang paling memengaruhi inflasi pangan, NFA diharapkan dapat menyelesaikan persoalan koordinasi produksi dan perdagangan pangan sehingga bisa lebih baik.

Alternatif terakhir  pada tingkat wilayah (kabupaten/kota), antara lain pendataan mengenai  ketersediaan pangan harus dilakukan secara akurat dan rutin. 

Kondisi defisit suatu daerah dapat diantisipasi jika konsep neraca pangan sudah dipahami pengambil kebijakan di daerah serta data produksi dan konsumsi dapat disediakan.  

Jika sudah terlaksana, maka antardaerah dapat melakukan kerja sama: daerah yang surplus dapat “mempertukarkan” produknya dengan daerah yang terdekat. Ini selain mampu mengurangi food loss, juga mengurangi disparitas dan gejolak harga pangan. 

Dengan kerjasama antara daerah, farmer’s share juga meningkat; di AS, rata-rata sudah di atas 40-60 persen, sedangkan di Indonesia baru 20-30 persen.  Jika lima alternatif jalan keluar dapat dilaksanakan maka impian pertanian menjadi soko guru ekonomi Indonesia tercapai. Tentu SDM pertanain menjadi kunci.

 
Berita Terpopuler