Kasus Virus Marburg Meningkat, Akankah Jadi Pandemi Berikutnya?

Pakar dari AS mengecam WHO karena tidak proaktif terhadap temuan kasus Marburg.

EPA
Kelelawar buah yang terinfeksi menjadi salah satu penyebab penyebaran virus Nipah. Virus Marburg yang ditemukan di Guinea Khatulistiwa disebarkan oleh kelelawar buah Mesir.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) telah mengeluarkan peringatan agar para dokter di AS mengawasi perkembangan kasus virus Marburg. Penyakit demam berdarah yang disebabkan oleh virus Marburg itu dilaporkan mulai mewabah di negara-negara Afrika, yakni Guinea Khatulistiwa (Quatorial Guinea) dan Tanzania.

"Saat ini, risiko MVD (penyakit virus Marburg) di Amerika Serikat masih rendah, namun para dokter harus mewaspadai potensi adanya kasus-kasus yang diimpor. Penting untuk menilai pasien secara sistematis untuk kemungkinan paparan MVD," kata CDC, seperti dilansir Fox News, Selasa (11/4/2023).

Dokter spesialis penyakit dalam di NYU Langone, Marc Siegel, menjelaskan bahwa virus Marburg bukanlah virus baru. Virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1967, ketika wabah terjadi di laboratorium Marburg dan Frankfurt (keduanya di Jerman) dan di Serbia (sebelumnya di Beograd, Yugoslavia). Namun, dr Siegel mengatakan bahwa wabah yang lebih berkelanjutan terjadi di tempat yang dulunya sporadis.

Baca Juga

"Ini adalah virus yang berasal dari kelelawar, virus ini sangat mirip dengan Ebola," ujar Dr Siegel saat tampil dalam acara Fox & Friends pada Senin.

CDC mencatat, virus Marburg yang ditemukan di Guinea Khatulistiwa memang disebarkan oleh kelelawar buah Mesir.

"Kami melihat wabah yang cukup besar di Tanzania, yang menurut saya tampaknya sudah bisa dikendalikan, karena sangat sedikit orang yang dikarantina saat ini. Namun di Guinea Khatulistiwa, ada masalah," kata dr Siegel.

Sementara itu, gejala-gejala Marburg termasuk mual, muntah, sakit tenggorokan, sakit dada, sakit perut dan diare. Kasus yang lebih parah dapat menyebabkan radang pankreas, penyakit kuning, mengigau, penurunan berat badan yang parah, syok, perdarahan, dan kegagalan organ.

Karena kemiripannya dengan virus Ebola, CDC merekomendasikan agar para dokter mengikuti protokol yang sama untuk pencegahan dan pengendalian infeksi ketika menangani kasus virus Marburg. Di sisi lain, dr Siegel menyatakan keprihatinannya lantaran otoritas negara di mana virus Marburg mewabah tidak membagikan rincian lengkapnya.

"Ini adalah masalah yang biasa terjadi, mereka tidak memberi tahu apapun. Mereka menyembunyikan kasus. Mungkin ada setidaknya 29 kematian," ujar Dr Siegel.

Dokter Siegel juga mengecam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena tidak bereaksi dengan tepat. Padahal menurut dia, WHO seharusnya proaktif dan "menjemput bola", dengan menyuplai vaksin ke Guinea Khatulistiwa dan Tanzania.

Dokterr Siegel mencatat bahwa ada vaksin untuk virus Marburg dan bahwa tindakan yang direkomendasikan adalah melakukan pendekatan vaksinasi cincin. Ini berarti vaksin perlu diberikan pada pasien yang memiliki kontak erat dengan pasien seperti pernah berhubungan seksual, berciuman, selama dua pekan terakhir.

Strategi ini digunakan untuk membantu mengakhiri wabah cacar pada pertengahan tahun 1900-an. Kabar baiknya, menurut dr Siegel, virus Marburg tidak menyebar melalui udara. Virus ini menyebar melalui kontak dekat seperti sekresi, istilah untuk cairan tubuh yang terdiri atas darah, air liur, plasma, air mani, dan urine.

"Tetapi ini adalah virus yang mengerikan dan menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Kita tentu saja perlu mengawasinya, karena kita tidak ingin melihat ada kasus di sini (AS)," jelas dr Siegel.

Dokter Siegel juga yakin virus Marburg tidak akan menjadi pandemi berikutnya, karena virus ini dinilai stabil dalam bermutasi. Namun, dia mengungkapkan kekhawatirannya tentang virus yang ‘dipermainkan’ di laboratorium.

"Saya tidak bisa mengatakan 100 persen bahwa sesuatu tidak akan terjadi di laboratorium. Di situlah kekhawatiran saya. Namun di alam, hal ini tidak akan menyebabkan pandemi, ini hanya akan menyebabkan wabah sporadis. Dan itu bisa dikendalikan, seperti yang baru saja terjadi di Tanzania," kata dr Siegel.

 
Berita Terpopuler