Soal Sistem Pemilu, Sikap Jokowi Ternyata Berbeda dengan Keinginan PDIP

Presiden meminta MK memutuskan proporsional terbuka tidak bertentangan dengan UUD.

AP Photo/Firdia Lisnawati
Warga meneliti daftar caleg pada Pemilu 2014. Sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka untuk pemilu legislatif. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Antara

Baca Juga

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan sikap yang berbeda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) soal sistem pemilu. Dalam sidang gugatan uji materi sistem pemilihan legislatif (pileg) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1/2023), Jokowi menyatakan, perubahan sistem pemilu di saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik.

Keterangan resmi Presiden Jokowi disampaikan lewat kuasa hukumnya, Menkumham Yasonna Laoly dan Mendagri Tito Karnavian. Keterangan itu dibacakan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar.

Dalam bagian petitumnya, Presiden meminta MK memutuskan Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih punya kekuatan hukum mengikat. Artinya, Presiden meminta MK menolak permohonan penggugat agar sistem pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Dalam keterangannya, Presiden mengatakan proses penyelenggaraan Pemilu 2024 saat ini sedang berjalan. Jika MK memutuskan merubah sistem pileg di tengah tahapan seperti saat ini, dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak.

"Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai politik maupun di tingkat masyarakat," kata Bahtiar.

Presiden juga menyampaikan sejumlah alasan lain mengapa gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini perlu ditolak. Pertama, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka turut mengacu kepada putusan MK pada 2008.

Kedua, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka merupakan hasil musyawarah lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Pilihan itu dibuat dengan mempertimbangkan kondisi objektif bahwa transisi demokrasi Indonesia memerlukan penguatan sub sistem politik dalam berbagai aspek.

Ketiga, Presiden membantah anggapan penggugat bahwa sistem proporsional terbuka mengecilkan kewenangan partai politik dalam menentukan caleg maupun nomor urutnya. Anggapan tersebut tidak tepat karena partai politik tetap berwenang menentukan caleg di semua daerah pemilihan.

Keempat, Presiden beranggapan bahwa Pasal 168 UU Pemilu masih relevan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kelima, pilihan menggunakan sistem proporsional terbuka adalah kebijakan terbuka atau open legal policy lembaga pembentuk undang-undang

Kendati begitu, Presiden mengakui diperlukan perbaikan sistem pemilu ke depannya. Harus dicari sistem alternatif yang bisa menutupi kelemahan sistem proporsional terbuka maupun tertutup.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

 

 

 

 

Kubu pendukung sistem proporsional terbuka, yang terdiri atas delapan fraksi DPR, berterima kasih kepada Presiden Jokowi atau pemerintah yang menyatakan menolak pergantian sistem pileg proporsional terbuka kepada MK. Mereka menilai, sikap Presiden sejalan dengan kemauan DPR.

"Kami dari DPR setelah mendengar keterangan yang disampaikan pemerintah, kami sangat berterima kasih," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa, seusai sidang uji materi sistem proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/1/2023). 

Supriansa merupakan anggota Tim Kuasa DPR yang membacakan keterangan resmi DPR dalam sidang uji materi tersebut. Ia membacakan bagian yang menyatakan dukungan terhadap sistem proporsional terbuka. Sedangkan bagian yang menyatakan dukungan terhadap sistem proporsional tertutup dibacakan oleh anggota Tim Kuasa yang juga anggota Komisi III dari PDIP, Arteria Dahlan.

Sembilan fraksi di parlemen kini memang terpecah jadi dua kubu dalam menyikapi uji materi sistem pileg ini. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan fraksi, mulai dari Golkar, Nasdem, Demokrat, hingga PPP. Sedangkan kubu pendukung proporsional tertutup hanya PDIP.

Supriansa menilai, sikap DPR dan pemerintah sejalan dalam terkait sistem pileg ini, yakni sama-sama ingin mempertahankan UU Pemilu untuk digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2024. Salah satu isi UU tersebut adalah pileg menggunakan sistem proporsional terbuka.

Lebih lanjut, dia mengklaim DPR dan Pemerintah juga sejalan dalam melihat upaya perbaikan sistem pemilu, yakni harus melibatkan rakyat banyak dalam prosesnya. Dia pun meminta masyarakat yang ingin memperbaiki sistem pemilu agar menyampaikan masukan kepada DPR karena pilihan sistem merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy

"Kapan saja rakyat bisa memberikan masukan kepada kami untuk membuat sistem pemilu yang lebih baik ke depannya menurut pendapat rakyat, kami terbuka untuk secara bersama sama untuk memperbaikinya," kata Supriansa.

Lewat keterangan tertulisnya hari ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto berpendapat sistem proporsional terbuka dalam pemilu menyebabkan skor party-id atau identifikasi masyarakat terhadap partai politik (parpol) tereduksi.

"Ini tolok ukurnya kepuasan masyarakat sangat rendah. Di satu sisi, ini tantangan buat parpol untuk membangun trust. Di sisi lain, ini salah satu sebabnya liberalisasi politik dan sistem proporsional terbuka yang menyebabkan party-id tereduksi oleh elektoral individual-individual yang seringkali tidak membawa platform dan ideologi parpol," kata Hasto.

 

Hasto mengatakan, dengan penerapan sistem proporsional tertutup, untuk menjadi pemimpin legislatif, seseorang diharuskan melakukan persiapan, tidak bisa hanya berbasis elektoral dan popularitas. Seorang yang populer, lanjut dia, harus memahami fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR dengan baik.

"Partai punya tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan partai tidak bisa terlepas dari kepentingan rakyat itu. Kita melihat pendidikan kita tertinggal, maka partai memberikan sentuhan bagaimana politik pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa. Ini harus dijawab juga oleh partai melalui kebijakan-kebijakan politiknya," ujar Hasto.

Saat ini, secara umum skor party-id seluruh parpol di Indonesia masuk dalam kategori rendah, yakni 6,8 persen. Meskipun begitu, Hasto mengatakan pihaknya mengapresiasi hasil riset yang menemukan PDIP menjadi parpol yang paling unggul dalam skor party-id.

 

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

 
Berita Terpopuler