Perbedaan Antara Manusia dan Hewan Menurut Filsuf Muslim Ibnu Bajjah 

Manusia dan hewan mempunyai perbedaan mendasar dalam pandangan Ibnu Bajjah

Anadolu Agency
Ilustrasi manusia. Manusia dan hewan mempunyai perbedaan mendasar dalam pandangan Ibnu Bajjah
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA- Ibnu Bajjah merupakan tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam khususnya di Andalusia. Para sejarawan umumnya sepakat, dialah pembuka jalan bagi lahirnya filsuf-filsuf Muslim besar dari Semenanjung Iberia, seperti Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun.  

Baca Juga

Menurut Mian Mohammad Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, dalam konteks zaman kala itu, naiknya pamor sang pemikir yang oleh Barat dikenal dengan Avempace itu, menjadi kemunculan pertama kaum filosof di dunia Islam usai di serang Imam Ghazali, penulis Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). 

Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia secara terbuka mengkritik sang Hujjatul Islam dengan argumen-argumen. 

Ibnu Bajjah menulis banyak karya. Sayangnya, yang sampai pada masa modern hanyalah terjemahan-terjemahan dalam bahasa Latin. Adapun naskah aslinya dalam bahasa Arab lekang oleh waktu. 

Dari sekian banyak buah penanya, ada empat buku yang menjadi karya monumentalnya. Keempatnya adalah Kitab an-Nafs, Risalat al- Ittishal al-'Aql bi al-Insan, Al-Wada', dan Tadbir al-Mutawahhid.

Yang pertama itu membicarakan perihal jiwa, kaitan jiwa dengan Tuhan, serta kewujudan pencapaian tertinggi jiwa manusia, yakni kebahagiaan. 

Pembicaraan di dalamnya menunjukkan kuatnya pengaruh para filsuf Muslim dari era Abbasiyah, semisal al-Farabi dan al- Razi. Tentunya, jejak-jejak pemikiran para pemikir Yunani kuno juga tampak di sana, seperti Aristoteles dan Galen. 

Beberapa peneliti mengomentari, kitab tersebut adalah parafrase dari sang filsuf Muslim atas De Anima (Tentang Jiwa) karya Aristoteles. 

Ma'an Ziyadah dalam Kitab Tadbir al- Mutawwahid: Ibnu Bajjah Rezim Sang Failasuf (2018) menerangkan pandangan Ibnu Bajjah perihal ruh dan jiwa (nafs). Menurut sang pemikir, kedua istilah itu dapat disamakan penggunaannya. 

Dalam pandangannya, jiwa adalah penggerak bagi setiap manusia. Jiwa tidak mengalami perubahan, seperti halnya jasmani. Tampak bahwa gagasan sang filsuf Muslim ini banyak terpengaruh oleh dualisme badan-jiwa yang dicetuskan Aristoteles. 

Baca juga: Ritual Sholat Memukau Mualaf Iin Anita dan Penantian 7 Tahun Hidayah Akhirnya Terjawab 

Lebih lanjut, Ibnu Bajjah memaparkan, pengetahuan dalam diri manusia merupakan hasil dari observasi yang menandakan keberadaannya. 

Pengetahuan adalah anugerah yang tidak datang dengan sendirinya. Di dalamnya, terdapat hidayah Ilahi, yang membuat seseorang mengetahui banyak hal tentang alam dan kehidupan sekitar. 

Dalam Risalat al-Ittishal, Ibnu Bajjah mengungkapkan, antara lain, kategori tindakan, yakni manusiawi dan hewani.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi tentunya berlaku bagi masing-masing makhluk. Namun, berbeda dengan binatang, manusia makan bukan hanya untuk menjaga kekuatan atau nyawa, tetapi juga mencapai kebaha giaan spiritual. 

 

 

Dalam kitab yang sama, ia juga membahas perihal kehendak sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Hal itu dihubungkannya dengan dua jenis nilai, yakni formal dan spekulatif. Ambil contoh, kejujuran. Dalam jagat hewan, kejujuran hanya bernilai formal. 

Sebab, tidak mungkin seekor hewan berbohong. Sementara itu, kejujuran dalam dunia manusia bernilai spekulatif karena ada nya kehendak.

Dengan demikian, sebuah tindak an manusia dapat dinilai jujur, dapat pula sebaliknyatergantung pada kehendak apa di baliknya. 

Seperti al-Farabi, Ibnu Bajjah juga mengulas perihal akal aktif, yakni maujud spiritual yang ber posisi antara Tuhan dan alam materiel.

Penyatuan atau keterhubungan dengan akal aktif itulah yang menjadi prasyarat utama agar keba hagiaan bisa dirasakan manusia. 

Menurut dia, pertalian itu dapat dilakukan dengan menjalani hi dup dalam kesendirian sebaik mungkin. Orang yang melakukannya disebut al-insan al-munfarid, manusia penyendiri, yang diandaikannya berasal dari kalangan filsuf atau juga cendekiawan. 

Dalam Al-Wada' dan Tadbir al-Mutawahhid, ia mengatakan, filsuf yang al-insan al-munfarid dapat hidup dalam suatu negeri tidak sempurna sebuah keadaan yang juga dirumuskan Ibnu Bajjah. 

Dalam konteks demikian, filsuf tersebut cukup berinteraksi dengan kaum ilmuwan, sembari mengasingkan diri dari sikap atau perbuatan yang tidak baik bagi publik, seumpama korupsinya kaum politikus atau elite. 

Baca juga: Ditanya Kiai Marsudi Soal KM 50, Prof Mahfud: Bukan Pelanggaran HAM Berat, Tapi…

Jika si filsuf tidak dapat menemukan sesama ilmuwan atau ulama yang menjauhi sikap-sikap korup, maka sebaiknya ia mengasingkan diri secara total. 

Dirinya tidak berinteraksi sama sekali dengan lingkungan kecuali sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, atau kedaruratan. 

Melalui karyanya itu, Ibnu Bajjah juga menguraikan sebuah utopia, yakni apa yang diyakininya sebagai negara sempurna. Menurut dia, negara yang sempurna adalah yang di dalamnya masyarakat tidak lagi membutuhkan dokter dan hakim.

Adanya kedua profesi itu menandakan bahwa (masyarakat) negara tersebut masih terjangkit penyakit, baik fisik maupun sosial.

 

Kalau adanya dokter dan hakim ternyata tidak mampu menuntaskan atau mengurangi penyakit-penyakit itu, negara tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Lebih parah lagi bila pihakpihak yang seharusnya menyelesaikan masalah justru menjadi bagian dari masalah.   

 
Berita Terpopuler