Menjaga Hak Privasi di Era Digitalisasi

Hak privasi di era digitalisasi memudar

retizen /Silvi Gusvina
.
Rep: Silvi Gusvina Red: Retizen

Dewasa ini perkembangan digital di Indonesia semakin berkembang pesat. Perkembangan teknologi membuat mulusnya akses informasi. Setiap orang dapat dengan mudah menikmati segala konten atau informasi yang disajikan media. Tak terbatas waktu dan jarak siapapun dapat menimati perkembangan media ini, mulai dari belanja keperluan rumah tangga, jasa antar jemput, social media, game, bekerja, belajar dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat dilakukan secara online. Semua hal serasa didalam gengaman, dengan hanya memanfaatkan smartphone kita dapat melakukan berbagai kegiatan.

Perkembangan digital memang membawa segudang manfaat atau kelebihan namun tak dapat dihindari juga memiliki kekurangan. Di Era digital saat ini privasi menjadi pudar dan melemah karena kemudahan akses informasi dan rendahnya keamanan teknologi membuat seseorang kehilangan privasi. Hal inilah yang menjadi penyakit yang belum ada obatnya saat ini. Privasi sendiri diartikan sebagai keadaan atau kondisi dimana seseorang tidak dicampuri atau terbebas dari gangguan dan pengawasan orang lain. Setiap orang memiliki hak privasi karena privasi termasuk kedalam hak asasi manusia. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Di media khususnya Pers, hak privasi termasuk kedalam kode etik jurnalistik yang keberadannya harus dihormati dan dipatuhi. Wartawan sebagai salah satu bagian dari Pers harus menjaga hak privasi ini, terutama privasi narasumber. Terdapat beberapa hal yang menjadi privasi diantaranya, identitas korban kejahatan seksual, tersangka dibawah umur, informasi seseorang tentang penyakit menular, Homoseksual, identitas seseorang yang bunuh diri, dan sebagainya.

Menurut Alan Westin dalam bukunya yang berjudul “Privacy and Freedom” ada 4 jenis privasi. Pertama, solitude yaitu hak seseorang untuk menyendiri, tidak diganggu, dan tidak dalam pengamatan orang lain. Kedua, intimacy yaitu hak seseorang untuk merasa keintiman dengan orang terdekat tanpa gangguan orang lain. Ketiga, anonymity yaitu hak kebebasan di ruang publik, tanpa diawasi orang lain. Terakhir, reverse yaitu hak untuk membatasi informasi dan komunikasi tentang diri sendiri.

Wartawan dalam membuat berita harus menghirmati hak-hak privasi sesuai dengan kode etik jurnalitik pasal 2 bahwa ”Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik” dan ”cara yang profesional” termasuk ”menghormati hak privasi.”. Bila ditemukan wartawan yang melanggar hak privasi ini maka dapat diberikan sanksi oleh Dewan Pers. Baik subjek berita maupun pembaca berhak melaporkan pelanggaran kode etik kepada Dewan Pers. Wartawan dalam profesinya wajib menerapkan asas praduga tak bersalah guna melindungi identitas pribadi dari subjek berita. Terlebih akibat perkembangan digital membuat masyarakat mudah menelan mentah-mentah berita yang disajikan media tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini tentunya sangat merugikan seseorang yang dihakimi atas pemberitaan yang sejatinya merupakan sebuah privasi.

Pelaku Pers diharapkan dapat menhormati hak-hak yang tertuang dalam kode etik jurnalitik, salah satunya hak privasi. Wartawan harus membuat berita yang dapat dibuktikan kebenarannya, Menulis berita yang bernilai tinggi dengan tidak melukai hak-hak orang lain. Kesalahan dan kelalaian yang dilakukan mediaterhadap subjek berita akan membawa dampak serius bagi subjek, dicemooh, dikucilkan, serta dapat memicu niat bunuh diri. Untuk itu, media dan pelaku pers harus bijak dalam memberikan informasi di era digital seperti sekarang ini.

 
Berita Terpopuler