Gaji Selangit Petinggi Lembaga Filantropi? Ini Kajian Forum Musyawarah Pondok Pesantren

Forum Musyawarah Pondok Pesantren kaji hukum gaji petinggi lembaga filantropi

Dok Istimewa
Forum Musyawarah Pondok Pesantren kaji hukum gaji petinggi lembaga filantropi.
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jawa dan Madura menggelar Bahstul Masail ke-37 Se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren al-Hamid Jakarta Timur, Ahad (11/9/2022). 

Baca Juga

Salah satu yang dikaji dalam forum ini terkait gaji selangit para petinggi filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang mencapai 200 juta per bulan pada 2021. 

Forum ini menjawab sebuah pertanyaan yang muncul, apakah dibenarkan tindakan petinggi ACT yang mengambil jatah 13,5 persen dari donasi yang terkumpul?  

Setelah melakukan kajian, Forum Bahtsul Masail FMPP ini kemudian memutuskan bahwa tindakan ACT tersebut tidak sesuai dengan regulasi dan syariat Islam. 

Keputusan ini diambil berdasarkan beberapa pertimbangan yang dibacakan perwakilan dari Komisi A Forum Bahtsul Masail FMPP, Ustadz Ahmad Muntaha dalam acara penutupan. 

Pertama, Ustadz Muntaha menjelaskan bahwa lembaga filantropi merupakan lembaga nirlaba yang berorientasi pada asas tolong menolong, bukan mengejar profit. 

Kedua, lanjut dia, donasi yang terkumpul merupakan amanat dari donatur untuk disalurkan sesuai peruntukannya.  

Ketiga, lembaga filantropi hanya boleh mengambil upah dari dana yang terkumpul dengan beberapa ketentuan. 

Pertama, yaitu besaran upah harus nominal terkecil di antara biaya nafkah dan atau ujratul mitsli (upah standar). 

Kedua, upah tersebut diperuntukkan bagi mereka yang miskin dan tidak ada waktu bekerja karena fokus dalam menjalankan tugas-tugas filantropi. 

Pertimbangan keempat, lembaga filantropi yang mendapatkan izin negara boleh mengambil untuk gaji dan operasional lembaga sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni maksimal 10 persen dari dana yang terkumpul.  

Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka forum memutuskan bahwa tindakan petinggi lembaga filantropi ACT yang mengambil jatah 13,5 persen tidak diperbolehkan. 

Baca juga: Tahajud Sang Istri Selamatkan Mualaf Izhac dari Dunia Kriminal hingga Bersyahadat

Menurut dia, kinerja ACT tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.  

Menurut dia, dalam Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.  

"Pengambilan jatah 13,5 persen oleh ACT tidak dibenarkan karena tidak sesuai regulasi, di antaranya PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, pasal 6 ayat 1, sebanyak-banyaknya 10 persen dari dana yang terkumpul," ujar Ustadz Muntaha saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/9/2022).  

Menurut Ustadz Muntaha, sepuluh persen dari total dana yang boleh diambil itu adalah untuk operasional, bukan untuk gaji. Menurut dia, pengurus lembaga filantropi hanya boleh mengambil jatah yang tidak melebihi ujratul mitsli atau upah sepadan pekerjaan tersebut. 

"Pengurus lembaga filantropi hanya boleh mengambil jatah yang tidak melebihi kadar ujrah mitsli atau upah standar," ucap pengurus Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur ini

Meskipun syariat tidak menjelaskan secara pasti nominal persentase yang diambil, lanjut dia, syariat sudah secara tegas memberikan ketentuan terkait dana operasional yang boleh diambil pihak filantropi, yakni sebatas kecukupan nafkah untuk dirinya, atau ditakar sesuai dengan upah pekerjaan yang sepadan.

Untuk persentase sendiri, Ustaz Muntaha menegaskan bahwa pemerintah boleh menentukan prosentase tersebut. "Untuk nominal persentase sendiri, meskipun kitab fikih tidak menjelaskan, namun pemerintah berhak membatasi 10 persen untuk biaya operasional dengan pertimbangan kemaslahatan," kata Ustadz Muntaha. 

Dia pun merekomendasikan kepada pemerintah agar membuat sistematika pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga filantropi semacam ini, sehingga ke depannya kasus yang terjadi di ACT tidak terulang kembali. 

"Kalau regulasinya saya rasa sudah baik. Tinggal pengawasannya yang perlu dipertegas. Jika perlu, sebenarnya boleh saja pemerintah melakukan audit yang baik dan transparan sehingga publik pun bisa ikut mengawasi," jelas Kiai Muntaha. 

Baca juga: Mualaf Maryum, Masuk Islam Setelah Empat Kali Baca Alquran

Dihubungi lebih lanjut, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Mahbub Maafi mengapresiasi forum para kiai dan santri tersebut. 

Menurut dia, hasil Bahtsul Masail ini merupakan sumbangsih FMPP untuk menyelesaikan persoalan kekinian dari sudut pandang syariat.  

 

"Saya memberikan apresiasi pada hasil keputusan Bahtsul Masail FMPP Se-Jawa Madura. Ini bagian sumbangsih mereka dalam menyelesaikan salah satu persoalan masyarakat dari sudut pandang syariat. Dengan demikian ini juga termasuk khidmah nyata kepada masyarakat," ujar Kiai Mahbub.      

 
Berita Terpopuler