Bolehkah Solat Sambil Memakai Sandal?

Sandal tidak menjadi penghalang sahnya solat

network /Rahmat Fajar
.
Rep: Rahmat Fajar Red: Partner

Masyarakat sedang solat di jalanan

Sumber: republika

NYANTRI--Terkadang kita menemukan orang yang solat sambil menggunakan sandal atau sepetu, apakah hal itu diperbolehkan dalam solat karena kita tidak tahu apa yang ada di telapak sepatu itu serta tidak terlalu sulit dalam melepas sepatu. Hal ini berkaitan dengan riwayat-riwayat tentang diperbolehkannya memakai sandal atau sepatu. Di samping itu, tidak jarang, sandal atau sepatu menginjak kotoran yang najis sehingga tidak bisa dipakai dalam solat. Sandal atau sepatu tidaklah menjadi sebuah penghalang sahnya solat.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Asrar al-Sholah wa Muhimmatuha, beliau menjelaskan tentang solat dengan menggunakan sandal atau sepatu. Hukum menggunakan sandal dalam solat menurutnya boleh, walaupun mudah sekali untuk melepaskanya. Dibolehkannya menggunakan sandal ini bersandar pada sebuah riwayat Nabi, yang mana beliau pernah menegur seorang yang ikut solat dengan beliau. Pada awalnya Nabi solat dengan menggunakan sandal, namun beliau melepaskannya. Sehingga orang lain di belakangnya ikut melepaskannya.

فقال: لم خلعتم نعالكم ؟ قالوا : راينك خلعت فخلعنا. فقال صل الله عليه و سلم : إن جبريل عليه السلام أتاني فأخبرني ان بهما خبثا، فإذا اراد احدكم المسجد فليقلب نعليه ولينظر فيهما فإن رأى خبث فليمسحه بالأرض و ليصل فيهما

Artinya: Setelah solat Nabi berkata “Mengapa kalian melepaskan sandal-sandal kalian?” Mereka menjawab, “kami melihat anda melepaskan dan kami pun mengikuti.” Nabi Muhammad berkata, “Jibril as. Datang dan memeberitahukan bahwa ada najis melekat padanya. Maka jika ada seseorang dari kamu memasuki masjid, hendaknya dia membalikkan sandalnya dan mengeceknya. Jika melihat najis, segera menggosok-gosoknya dengan tanah, lalu bolehlah dia solat dengan mengenakannya.”

Riwayat di atas sangat jelas jika solat memakai sandal itu boleh, bahkan ada yang mengataka lebih afdhal karena secara umum terkadang dalam hati kita masih terikat pada sandal, semisal takut diambil oleh orang lain dan sebagainya. Maka agar hati kita khusyuk lebih baik dipakai. Selain itu, sudah jelas jika Nabi mencopot sandalnya atas dasar terdapat najis yang melekat pada sandal beliau.

Ada dua kesimpulan dalam riwayat hadith di atas, jika Nabi pernah menggunakan sandal sektika solat dan Nabi juga tidak menggunakan sandal ketika solat. Bagaimana dengan kondisi sosial, di mana kebiasaan meraka adalah melepaskan sandal. Walaupun diperbolehkan, akan tetapi kita harus mengenal kode etik dalam masyarakat, selain itu menjaga kebersihan musolla dan masjid. Karena kondisi masjid sekarang dengan dulu itu berbeda. Selain itu menjaga kehati-hatian sandal kita membawa najis ke atas masjid. Maka mayoritas umat islam tidak menggunakan sandal ketika sedang solat.

Bagaimana jika solat di tengah padang pasir atau di halaman masjid yang tidak diperlukan untuk melepas sandal. Akan tetap mereka tetap melepasnya karena sudah membawa sajadah? Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali mengenai tatacara meletakkan sandal mereka yaitu dengan tidak meletakkannya di samping kanan dan kiri mereka karena menyebabkan sempitnya tempat solat dan terputusnya saf. Yang benar adalah dengan meletakannya di depan. Ada sebuah riwayat jika meletakannya di antara kedua kaki. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi pernah bersabda:

و إذا صل احدكم فليجعل نعليه بين رجليه. و قال ابو هريرة لغيره: اجعلهما بين رجليك تؤذ بهما مسلما

Artinya: “JIka seseorang dari kami solat, hendaknya meletakkan sandalnya di antara kedua kakinya.” Abu Hurairah berkata kepada seseorang, “letakkanlah sandalmu di antara kedua kakimu dan jangan mengganggu seorang muslim dengannya.”

Namun hadith di atas dikomentari oleh Jubair bin Mun’im bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah. Berbeda jika seseorang menjadi Imam, boleh seseorang meletakkan sandalnya di samping kiri. Sebagaima yang pernah dilakukan oleh Rasululllah sallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjadi Imam. Wallahu a’lam

Sumber: Imam al-Ghazali, asrar al-Shalah wa Muhimmatuh, (t.tp., t.p., t.th.), hlm 117-118

Ahmad Fatoni

 
Berita Terpopuler