Setahun Setelah Taliban Berkuasa, Warga Afghanistan Masih Bersembunyi

Taliban mengincar orang-orang yang berhubungan dengan AS dengan sistem digital.

AP Photo/Ebrahim Noroozi
Seorang pejuang Taliban berjaga di lingkungan Syiah Dasht-e-Barchi, di Kabul, Afghanistan, Minggu, 7 Agustus 2022. Satu tahun setelah Taliban menguasai Afghanistan, sebagian besar mantan staf yang pernah bekerja di kantor maupun lembaga pemerintahan sebelumnya yang didukung Amerika Serikat (AS), masih bersembunyi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Satu tahun setelah Taliban menguasai Afghanistan, sebagian besar mantan staf yang pernah bekerja di kantor maupun lembaga pemerintahan sebelumnya yang didukung Amerika Serikat (AS), masih bersembunyi. Mereka takut ditangkap dan dibunuh oleh Taliban.

Baca Juga

Tahun lalu seorang warga Afghanistan, Sadaf sedang bekerja di kantor jaksa agung di pinggiran kota Kabul ketika saudara perempuannya menelepon dan memberikan kabar bahwa Taliban telah memasuki ibu kota Afghanistan. Saudara perempuan Sadaf memintanya untuk segera pulang.

“Tutup wajahmu! Dan jangan beri tahu siapa pun di mana kamu bekerja,” kata saudara perempuan Sadaf dengan suara bergetar ketakutan.

Sadaf tidak mengetahuinya saat itu. Tetapi Sadaf menyadari, kembalinya Taliban adalah awal dari pengasingan di negaranya sendiri. Ketika mendapatkan kabar bahwa Taliban telah mengambil alih Kabul, Sadaf menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kantor. Dia menarik menutupi wajahnya dengan jilbab dan menyelipkan ID kantornya ke dalam sepatunya.

Sadaf mengatakan, ketika itu jalan-jalan macet dan orang-orang berlarian ke segala arah untuk melarikan diri. Saat itu, Sadaf pulang dengan berjalan kaki. Sekitar setengah jalan pulang, dia menumpang sebuah kendaraan dan tiba di rumahnya dua jam kemudian.

Setibanya di rumah, Sadaf dengan cepat memeluk ketiga anaknya, lalu bersembunyi di kamar tidur. Dia mengumpulkan semua dokumen identitasnya dan dokumen apa pun yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dia kemudian membakar semua dokumen itu di wastafel kamar mandi.

“Saya sangat takut,” kata Sadaf, yang telah bekerja di kantor pemerintah selama lebih dari 25 tahun.

Sadaf meminta agar nama belakangnya tidak digunakan, karena alasan keamanan. Taliban sebelumnya telah mengebom kendaraan yang ditumpangi  Sadaf. Ketika itu, Sadaf terluka dan kehilangan beberapa rekannya.

“Saya tidak ingin apa pun jatuh ke tangan Taliban,” kata Sadaf melalui pesan teks dari lokasi yang dirahasiakan di Afghanistan.

Seminggu setelah Taliban mengambil alih Afghanistan, beberapa pria mengetuk pintu rumah Sadaf. Sekelompok pria itu menggeledah rumah Sadaf selama berjam-jam. Mereka mengetahui bahwa Sadaf adalah staf di kantor kejaksaan. Setelah menggeledah, sekelompok pria itu mengatakan bahwa mereka akan terus mengawasi Sadaf dan keluarganya.

 

Keesokan harinya, Sadaf mengemasi barang-barangnya dan melarikan diri bersama anak-anak dan suaminya. Sejak itu, mereka telah bersembunyi dengan menginap di rumah kerabat maupun teman. Sadaf beserta keluarganya terus melakukan pelarian untuk menghindari Taliban. Dia tidak pernah tinggal di suatu tempat selama lebih dari dua minggu.

“Saya dalam bahaya karena pekerjaan saya,” kata wanita berusia 48 tahun itu.

Sadaf mengatakan, kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan ketakutan di telah membuat hidupnya sangat sulit. "Saya berharap ini adalah mimpi buruk dan saya bisa bangun (dari mimpi buruk)," kata Sadaf.

Sadaf termasuk salah satu di antara puluhan ribu warga Afghanistan yang bersembunyi sejak Taliban berkuasa. Mantan pejabat pemerintah, hakim, polisi dan aktivis hak asasi manusia juga melarikan diri ke tempat yang aman setelah Taliban mengambil alih Kabul. Mereka takut Taliban akan melacak keberadaan mereka dengan ID digital dan sistem data.

Pejuang Taliban berjaga di lokasi ledakan di depan Stadion Kriket Internasional Kabul, di Kabul, Afghanistan, Jumat, 29 Juli 2022. - (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Pada tahun lalu, kelompok hak asasi manusia dan PBB telah mendokumentasikan pembunuhan atau penghilangan paksa ratusan mantan anggota pasukan keamanan, termasuk jurnalis, hakim, aktivis dan orang-orang LGBT+. Afghanistan mendorong untuk digitalisasi data dalam beberapa tahun terakhir dengan pendanaan dan keahlian dari Bank Dunia, AS, Uni Eropa, badan pengungsi PBB (UNHCR), serta program Pangan Dunia.

Salah satu program tersebut adalah sistem ID digital yang dikenal sebagai e-Tazkira. Sistem ini menyimpan banyak data pribadi dan biometrik termasuk nama seseorang, nomor ID, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, agama, etnis, bahasa, profesi, pemindaian iris mata, sidik jari, dan foto. ID diperlukan untuk mengakses layanan, pekerjaan, dan pemilihan umum. Penggunaan data itu sangat rentan digunakan untuk melacak kelompok etnis yang rentan, dan orang-orang yang bekerja di pemerintahan atau dengan lembaga asing.

“Semua orang rentan,” kata Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Sipil Afghanistan, Aziz Rafiee, yang mendapat ratusan pesan putus asa setiap hari dari warga Afghanistan yang bersembunyi.

 

 

"Sistem ini adalah kesalahan besar sejak awal. Di negara seperti Afghanistan, selalu ada kemungkinan bahwa informasi akan berakhir di tangan teroris, dan Anda bisa terbunuh,” kata Rafiee, yang tidak mengajukan permohonan e-Tazkira.

Awal tahun ini, Human Rights Watch mengkonfirmasi bahwa Taliban mengendalikan data penggajian pemerintah dan mahkamah agung. Termasuk sistem biometrik polisi dan tentara, serta mereka yang bekerja dengan pemerintah asing dan lembaga bantuan.

“Bagi mereka yang bersembunyi, tidak ada cara untuk menghindari deteksi karena Taliban melakukan pemeriksaan identitas dengan foto, sidik jari, dan pemindaian iris mata di pos pemeriksaan,” kata peneliti senior di Human Rights Watch, Belkis Willie.

"Orang-orang tidak bisa meninggalkan rumah tempat mereka bersembunyi. Selain itu, siapa pun yang pergi ke kantor paspor untuk mendapatkan paspor mereka dan meninggalkan negara, identitas mereka akan diketahui,” kata Willie menambahkan.

Pengungsi Afghanistan (ilustrasi). - (AP Photo/Massoud Hossaini)

Kelompok yang mendukung sistem data digital berpendapat, sistem biometrik memungkinkan penghitungan dan mengidentifikasi orang yang membutuhkan bantuan dengan lebih akurat. Sehingga memastikan pengiriman bantuan lebih efisien, dan membantu mencegah penipuan. Tetapi para kritikus mengatakan, sistem tersebut dapat disalahgunakan.

Raman Jit Singh Chima dari kelompok hak digital, Access Now mengatakan, peristiwa di Afghanistan telah menggarisbawahi risiko sistem ID yang dibangun tanpa mempertimbangkan kemungkinan dampak pada hak asasi manusia, dan tanpa perlindungan untuk mencegah penyalahgunaan. Selama setahun terakhir, kelompok hak digital telah meminta lembaga bantuan, donor asing, serta perusahaan telekomunikasi dan teknologi untuk memikirkan kembali bagaimana mereka mengumpulkan data biometrik. Termasuk mengamankan sistem mereka untuk mencegah bahaya.

“Program ID Digital dengan implikasi serius terhadap hak asasi manusia masih dilaksanakan, atau didorong, bahkan di lingkungan yang berisiko tinggi atau dilanda krisis,” kata Chima.

 
Berita Terpopuler