Ratusan Ribu Karya Muslim Berada di Perpustakaan Barat, Termasuk Kitab Ulama Nusantara

Karya ulama buah peradaban Islam banyak tersimpan di perpustakaan Barat

Antara/Budi Candra Setya
Ilustrasi manuskrip. Karya ulama buah peradaban Islam banyak tersimpan di perpustakaan Barat
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para ulama terdahulu banyak meninggalkan karya-karya ilmiah yang dikenal dengan turats. Kitab-kitab turats (kutub at turats) inilah yang menjadi rujukan untuk memahami Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. 

Baca Juga

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga mantan Menteri Agama, Prof Said Agil Husin Al Munawar mengatakan manuskrip kitab-kitab turats ada yang sudah tercetak (disebut matbu'ah), namun ada juga yang turats belum tercetak (disebut makhtutoh).  

Banyak karya ilmiah ulama terdahulu yang belum tercetak atau ditemukan masih dalam bentuk tulisan asli penulisannya (makhtutat). Sebagian turats yang ditemukan ada juga yang ditulis ulang oleh orang lain dengan tulisannya sendiri.  Naskah-naskah salinan tulisan tangan tersebut tersebar di berbagai perpustakaan di sejumlah negara seperti Arab Saudi, Mesir, Maroko dan lainnya baik milik negara maupun pribadi.  

Menurut Prof Said, saat ini baru tercatat ada sekitar 650 ribu naskah turats dalam tulisan asli yang belum tercetak yang tersebar di berbagai negara. Dia mencontohkan ada sebuah perpustakaan pribadi di Iran milik seorang ulama bernama Marasyi Najafi  yang menyimpan 350 ribu naskah manuskrip dalam ilmu-ilmu agama Islam. 

Di Maktabah Al Misriyah milik Al Azhar juga menyimpan ratusan ribu manuskrip tulisan tangan karya ulama terdahulu. Di Uni Emirat terdapat perpustakaan pribadi milik seorang pedagang bernama Jumah Majid yang mengoleksi sekitar 350 ribu manuskrip turats.  

Bahkan menurut Prof Said, sejumlah perpustakaan  telah membuat mikrofilm dengan alat khusus sehingga bisa membuat manuskrip yang rusak dan tidak bisa terbaca menjadi dapat terbaca utuh seperti baru. 

Tidak hanya di negeri Islam, kitab-kitab turats juga tersimpan di negara-negara Eropa. Salah satunya adalah di Perpustakaan di Leiden Belanda. Bahkan menurutnya banyak karya-karya ulama Indonesia yang tersimpan di perpustakaan tersebut.

Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Pelajar dan para peneliti yang ingin mengakses data tentang kitab turats tertentu harus merogoh kocek yang tak sedikit agar bisa memperoleh salinan per halaman dan mikrofilmnya.  

"Nah Kita belum mengarah ke sana. Kita masih yang tercetak. Yang manuskrip belum ada. Jadi kita tidak punya alat untuk membaca alat manuskrip itu. Jadi alatnya seperti laboratorium. Naskah dimasukan melalui mikro itu, kita baca melalui kaca pembesar itu. Itulah yang sekarang dilakukan usaha penelitian dengan sebutan tahqiq. Artinya studi secara mendalam naskah yang diinginkan itu," kata Prof Said saat mengisi Kuliah Umum dan Pembukaan Program Santri Pasca Tahfiz Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran angkatan ke-28 beberapa hari lalu dengan tema Revitalisasi Turats dalam Studi Alquran Kontemporer, sebagaimana dikutip dari Harian Republika, Sabtu (28/5/2022). 

Prof Said mengatakan tahqiq makhtutat merupakan penelitian yang menyeluruh terhadap kitab-kitab turats yang masih dalam bentuk tulisan asli penulisannya. Menurutnya seorang peneliti dapat mengoreksi sebuah naskah dengan cara membandingkan dengan naskah lainnya. 

Akan tetapi, kitab-kitab turats yang ditulis sampai abad ke-7 hijriah memiliki kesulitan yang lebih tinggi untuk dibaca sebab tak adanya titik hingga baris yang dapat membedakan huruf.  Karena itu menurutnya seorang peneliti membutuhkan kekuatan bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang lengkap. Sebab itu para peneliti pun perlu waktu panjang untuk menyelesaikan satu naskah.  

Bila telah selesai, naskah tahqiq ditulis pada bagian bawah sedang naskah asli ditulis pada bagian atas. Setelah merapikan naskah, seorang peneliti juga perlu membuat catatan kaki, menyebutkan tokoh dan membuat tarjamah mukhtasarah (biografi singkat). 

Selain itu bila terdapat ayat, seorang peneliti harus memberikan nama surat dan nomor ayat. Sementara itu ketika memasuki penelitian isi dan permasalahan pada naskah turats tertentu, seorang peneliti harus merujuk pada kitab yang asli.

Dia mencontohkan bila pada naskah terdapat hadits yang diriwayatkan Abu Dawud maka peneliti harus merujuk langsung dengan membuka kitab Sunan Abu Dawud.  

"Itulah diperlukan revitalisasi manuskrip itu. Dan kita masih sekarang yang memanfaatkan buku-buku yang tercetak saja. Yang tidak tercetak tidak kita jadikan rujukan. Mengapa? Karena memang ngga punya kita. Kita ngga punya alatnya juga," katanya.  

Maka dari itu, Prof Said mendorong agar manuskrip kitab turats yang belum tercetak agar diangkat ke permukaan sehingga dapat dicetak dan dibaca banyak kalangan. Said Agil mencontohkan banyak karya ulama Tanah Air seperti Syekh Habib Salim bin Ahmad bin Jindan yang meninggalkan 77 kitab hadits tulisan tangan yang baru berhasil dicetak sebanyak tiga buku. 

Baca juga: Amalan Sunnah yang akan Didoakan Puluhan Ribu Malaikat

 

KH Ahmad Sanusi Sukabumi meninggalkan lebih 80 karya ilmiah di mana hanya 30 karya saja yang dipegang oleh keturunannya, sisanya dibawa oleh Belanda dan disimpan di Leiden.

Begitupun dengan karya ulama lainnya seperti Syekh Mahfud At Termasi, Syekh Nawawi Banten, KH Soleh Darat dan lainya yang perlu dilakukan penelitian tahqiq al makhtutat sebab banyak karyanya yang masih berbentuk tulisan Arab atau pun jawa pegon.    

 
Berita Terpopuler