Pelajar Perempuan Afghanistan: Saya Hanya Ingin Sekolah

Taliban melarang anak perempuan ke sekolah.

AP/Petros Giannakouris
Gadis-gadis Afghanistan berpartisipasi dalam pelajaran di Sekolah Menengah Wanita Tajrobawai di Herat, Afghanistan pada 25 November 2021.
Rep: Mabruroh Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Parvana (14) dari provinsi Kabul tidak dapat menghadiri sekolah formal karena ketakutan akan kekerasan, tetapi malah menghadiri kelas pendidikan berbasis komunitas yang dikelola oleh Save the Children. 

Baca Juga

“Ketika saudara laki-laki saya pergi ke sekolah dan saya sebelumnya tidak bisa, saya merasa tidak enak. Yang saya inginkan hanyalah pergi ke sekolah, belajar, menjadi seseorang di masa depan dan membuat keluarga saya dan orang-orang dari daerah ini bangga," kata Parvana dilansir Alaraby

 

“Pendidikan tidak hanya penting untuk anak perempuan tetapi semua orang harus dididik. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk tinggal di rumah. Kami dilahirkan untuk bekerja keras, belajar, dan mencapai tujuan kami," tambahnya. 

“Orang-orang takut ketika transisi kekuasaan terjadi, karena mereka tidak mengizinkan banyak anak perempuan pergi ke fasilitas pendidikan. Bahkan jika mereka diizinkan, anak perempuan terlalu takut untuk pergi ke kelas,” ungkapnya.

Diperkirakan hampir delapan juta anak usia sekolah membutuhkan dukungan untuk mengakses pendidikan saat ini di Afghanistan meningkat dari 2,6 juta dibandingkan tahun lalu.

Ketidakamanan, kemiskinan, tradisi budaya, infrastruktur yang buruk, materi pembelajaran yang tidak memadai dan kurangnya guru perempuan dan laki-laki yang berkualitas terus menjadi hambatan bagi anak-anak untuk mengakses pendidikan. 

 

Shukuria (28) berasal dari provinsi selatan Afghanistan dan menikah pada usia 17 tahun dengan seorang pria 35 tahun lebih tua darinya dan sekarang menjadi ibu dari lima anak. Suami Shukuria tidak bisa lagi bekerja dan putra sulungnya, yang berusia 12 tahun, bekerja di bengkel mobil untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.  

Dia tidak bersekolah sebagai seorang gadis dan tanpa pendidikan apapun, dia telah berjuang untuk mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi anak-anak dan suaminya. Pada usia 25, dia memutuskan untuk mengenyam pendidikan dan sekarang didukung oleh kelas pendidikan anak perempuan Save the Children.

“Pendidikan adalah hal terpenting dalam hidup. Bagi anak-anak saya, saya berharap mereka belajar dan berkembang serta mewujudkan impian mereka. Bagi saya sendiri, saya berharap menjadi guru yang baik dan melayani siswa di masyarakat ini,” kata Shukuria.

Pada Maret, peraih Nobel Malala Yousafzai mengatakan pada pertemuan para politisi internasional dan pemimpin bisnis bahwa larangan tersebut akan lebih sulit untuk ditegakkan daripada selama periode pertama Taliban berkuasa.

"Saya pikir jauh lebih mudah bagi Taliban (untuk menegakkan) larangan pendidikan anak perempuan pada tahun 1996," kata Yousafzai, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2014 atas perjuangannya untuk hak semua anak atas pendidikan.

“Kali ini akan jauh lebih sulit, karena perempuan telah melihat apa artinya dididik, apa artinya diberdayakan. Kali ini akan jauh lebih sulit bagi Taliban untuk mempertahankan larangan pendidikan anak perempuan,” tegasnya.

"Larangan ini tidak akan berlangsung selamanya,” ujar Yousafzai meyakinkan.

Taliban melarang anak perempuan ke sekolah selama pemerintahannya di Afghanistan dari 1996 sampai digulingkan oleh koalisi internasional yang dipimpin AS pada 2001.

Yousafzai, yang selamat dari upaya pembunuhan Taliban Pakistan ketika dia berusia 15 tahun, mengatakan sekolah perempuan harus menjadi syarat untuk membiarkan negara yang diperintah Taliban itu kembali ke kehidupan internasional.

 

"Mereka seharusnya tidak diakui jika mereka tidak mengakui hak asasi perempuan dan anak perempuan," katanya.

Dalam 20 tahun antara dua pemerintahan Taliban, anak perempuan diizinkan pergi ke sekolah dan perempuan dapat mencari pekerjaan di semua sektor, meskipun negara itu tetap konservatif secara sosial.

Belum ada negara yang mengakui pemerintah Taliban dan banyak yang mengatakan mereka tidak dapat melanjutkan bantuan ke negara itu sampai hak-hak dasar, termasuk pendidikan, ditegakkan.

Kepala Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Achim Steiner, memperingatkan bahwa Afghanistan berisiko menjadi krisis yang terlupakan kecuali jika Taliban membuka kembali sekolah untuk anak perempuan. 

 

“Komunitas internasional juga memiliki peran penting untuk dimainkan dan harus terus menyediakan dana untuk mendukung dan melindungi anak perempuan yang masih bersekolah. Sistem pendidikan di Afghanistan tergantung pada seutas benang dan sekarang bukan waktunya untuk mundur,” tambah Franchi Save the Children.

 
Berita Terpopuler