Kebijakan Taliban Dinilai Hilangkan Hak-Hak Anak untuk Sekolah

Taliban, telah menutup sekolah menengah untuk anak perempuan.

AP
Pelajar putri Afghanistan
Rep: Mabruroh Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KABUL -- Pemerintah Taliban, telah menutup sekolah menengah untuk anak perempuan, sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu. Kebijakan ini menjadi perhatian Save the Children dan Badan PBB untuk masalah Anak-Anak (UNICEF).

Baca Juga

Dari hasil kajian keduanya terungkap, bahwa sekitar 850 ribu gadis sekolah menengah di Afghanistan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Banyak dari mereka yang terluka dan depresi karena pemerintahnya melarang mereka mengakses hak atas pendidikan.

Dilansir dari Alaraby, Kamis (19/5), hampir 80 anak perempuan telah ditolak haknya atas pendidikan di provinsi-provinsi di Afghanistan. Pemerintah Taliban sempat membuka sekolah untuk pertama kali pada akhir Maret lalu, tapi kemudian segera ditutup tanpa ada penjelasan secara rinci. 

Keputusan mengejutkan itu terjadi tak lama setelah pertemuan rahasia para pemimpin kelompok itu di kota Kandahar, pusat kekuatan de facto Taliban. Para pejabat terus mengklaim bahwa pendidikan anak perempuan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

“Anak-anak perempuan benar-benar hancur ketika mereka tiba di kelas, bersemangat untuk tahun ajaran baru, (laku tiba-tiba) disuruh pulang,” kata Penjabat Direktur Regional Asia Save the Children Afghanistan, Olivier Franchi dilansir dari Alaraby, Kamis (19/5/2022).

“Pendidikan adalah urat nadi bagi semua anak, terutama anak perempuan. Tanpa itu, mereka berada pada peningkatan risiko kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi, termasuk pernikahan dini. Tidak ada masalah administrasi, logistik atau lainnya yang mungkin dapat membenarkan kelanjutan kebijakan yang menolak akses anak perempuan ke pendidikan mereka,” kata dia.

Meskipun menjanjikan versi yang lebih lembut dari rezim keras mereka sebelumnya, dari 1996 hingga 2001. Tetapi fakta di lapangan, pembatasan Taliban versi rezim keras sebelumnya mulai merangsek masuk.

 

Wanita secara efektif dikucilkan dari sebagian besar pekerjaan pemerintah, dan diperintahkan untuk berpakaian sesuai dengan interpretasi ketat Alquran versi Taliban.

Taliban juga memerintahkan maskapai penerbangan Afghanistan untuk menghentikan wanita dari naik pesawat kecuali mereka dikawal oleh "mahram", atau kerabat pria dewasa dan telah melarang wanita melakukan perjalanan solo antar kota.

Pada Maret, dua menteri wanita Muslim, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Wakil Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah Al Khater bersama-sama mengadakan pembicaraan dengan penjabat menteri luar negeri Taliban Amir Khan Muttaqi di Doha, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas hak-hak perempuan di negara itu.

Mereka adalah perwakilan asing pertama yang bertemu dengan seorang pemimpin Taliban sejak kelompok itu mengirim gadis-gadis pulang.

Pada bulan yang sama, juru bicara kementerian luar negeri Qatar Majed Al-Ansari mengatakan penting bagi Taliban untuk mendengarnya dari dunia Muslim bahwa ajaran Islam tidak membatasi wanita.

"Sementara kami memahami sensitivitas di balik janji untuk Afghanistan dalam iklim ini, kami juga menekankan pentingnya tidak mengisolasi Afghanistan lagi. Ini melegitimasi posisi radikal," katanya kepada wartawan pada bulan Maret.

"Kita harus sangat kuat dalam mengutuk dan kita harus sangat jelas dalam berbicara dengan Taliban tentang pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga kita tidak boleh meninggalkan Afghanistan. Kami telah meninggalkan Afghanistan sekali, dan kami tahu apa hasilnya,” kata Franchi.

 

 
Berita Terpopuler