Komnas Pengendalian Tembakau: Merokok Salah Satu Penyebab Hipertensi

Distribusi rokok harus dikendalikan mengingat orang Indonesia banyak yang merokok.

Republika/Prayogi
Hindari rokok (ilustrasi). Merokok merupakan salah satu faktor risiko hipertensi.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Edukasi Publik dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas Pengendalian Tembakau Rita Damayanti mengingatkan bahaya merokok. Ia menyampaikan bahwa merokok adalah salah satu faktor penyebab hipertensi.

Baca Juga

"Merokok adalah salah satu faktor risiko hipertensi dan ujungnya adalah penyakit yang mematikan, seperti serangan jantung dan strok," ujar Rita dalam konferensi pers Hari Hipertensi Sedunia 2022: Pengendalian Faktor Risiko Penyakit tidak Menular (PTM) untuk Indonesia Lebih Sehat yang diikuti di Jakarta, Rabu (18/5/2022).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi pada penduduk dewasa di Indonesia 34,11 persen atau naik dari sebelumnya 25,8 persen pada 2013. Oleh karena itu, Rita mengatakan, distribusi rokok harus dikendalikan mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan persentase perokok dewasa tertinggi di dunia dan perokok anak yang terus bertambah secara signifikan.

Menurut Rita, kondisi ini pada akhirnya dapat memicu komplikasi kesehatan yang lebih buruk. Kondisi itu diperburuk oleh prevalensi konsumsi rokok penduduk di atas 15 tahun di Tanah Air yang mencapai 66 persen dan prevalensi perokok pada kelompok umur 10-14 tahun yang sebesar 3,5 persen (Tobacco Atlas).

Di samping itu, lanjut Rita, konsumsi rokok orang dewasa atau orang tua juga akan memengaruhi gizi anak-anak. Itu dapat menyebabkan stunting (kekerdilan).

"Konsumsi rokok orang dewasa yang tinggi membuat mereka untuk membeli makanan bergizi minim, sehingga membuat stunting," ucapnya.

Untuk mencegah penyakit tidak menular, seperti hipertensi, menurut Rita, tidak ada cara lain, selain dengan menghindari faktor risikonya. Ia menyebut, upaya ini tidak cukup hanya dengan promosi dan edukasi kesehatan saja.

"Harus ada kebijakan yang secara komprehensif yang mengatur," tutur Rita.

 

 
Berita Terpopuler