Gagal Nikah Beda Agama Gugat UU Perkawinan dan Jawaban Hakim   

Gara-gara gagali menikah beda agama, pria ajukan gugatan ke MK

Republika/Agung Supriyanto
Menikah beda agama (ilustrasi). Gara-gara gagali menikah beda agama, pria ajukan gugatan ke MK
Rep: Mimi Kartika Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang warga bernama E Ramos Petege menggugat Undang-Undang (UU) tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengaku pernikahannya harus dibatalkan karena perkawinan beda agama tidak diakomodasi Undang-Undang tersebut. 

Baca Juga

"Pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan maka akan ada paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan," ujar kuasa hukum E Ramos Petege, Ni Komang Tari Padmawati, dalam sidang perdana uji materi UU Perkawinan pada Rabu (16/3/2022) lalu.

Dikutip dokumen risalah sidang yang diakses melalui laman resmi MK, Jumat (18/3/2022), pemohon menilai Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." 

Kemudian, dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan disebutkan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Lalu, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan, “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” 

Baca juga: Tentara Israel Paksa Diplomat Muslim Taiwan Baca Alquran

 

Ni Komang mengatakan, E Ramos Patege sebagai pemohon ialah warga negara yang memeluk agama Katolik dan hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan karena perkawinan beda agama tidak diakomodasi UU Perkawinan. 

Menurut dia, hak-hak konstitusional pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut. 

Selain itu, pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.  

 

Kuasa hukum pemohon yang lainnya, Asima Romian Angelina berpendapat, sebagai negara hukum yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha-Esa, dalam penyelenggaraan pemerintahan, negara tidak dapat memisahkan urusan agama dan negara. Akan tetapi, artinya bukan juga negara didasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. 

Sebab, kata dia, kemerdekaan memeluk agama yang dimiliki menjadi hak setiap penduduk di Indonesia tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, pemohon menilai permasalahan agama dan negara harus dipisahkan dan intervensi negara dalam urusan agama hanya sebatas lingkup administrasi yang berhubungan dengan fasilitas, sarana, dan prasarana.

"Artinya negara tidak mencampuri urusan ibadah agama yang ada di Indonesia, tetapi menjamin keberlangsungan peribadatan," tutur Asima.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan tentang perkawinan beda agama, sehingga perlu dilakukan penambahan pengaturan tentang hal tersebut. Pemohon juga meminta MK menambahkan hal pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

"Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan," kata dia.

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Sementara itu, Hakim MK Suhartoyo meminta argumentasi yang jelas dari pemohon mengenai perkawinan beda agama yang tidak diatur dalam norma Undang-Undang. Dia mengatakan, dalam praktiknya meskipun ada perbedaan agama maupun kewarganegaraan, pencatatan perkawinan bisa dilakukan.

"Seolah olah orang untuk menikah itu agamanya harus sama, kan begitu, sehingga baru bisa melaksanakan perkawinan. Padahal dalam praktik dengan adanya perbedaan agama bahkan perbedaan kewarganegaraan, itu sebenarnya tetap bisa dilakukan pencatatan, hanya persoalannya adalah tata cara, tata cara pengucapan akad nikahnya itu menurut cara apa?" tutur dia.

 

"Itu yang kemudian menjadi persoalan adalah apakah itu menjadi persoalan konstitusionalitas yang kemudian menghalangi seseorang terhambat untuk melakukan perkawinan ataukah sebenarnya itu hanya salah satu cara yang kemudian tidak menghambat keabsahan daripada perkawinan itu sendiri," kata Suhartoyo.   

 
Berita Terpopuler