Kematian Covid Banyak Disumbang Pasien Belum Divaksin Lengkap, Angka Drop Out Pun Besar

Angka kematian dari pasien yang belum atau tidak dapat divaksin lengkap, 68 persen.

Antara/Umarul Faruq
Siswa berkostum super hero memberi semangat kepada siswa yang menjalani vaksinasi COVID-19 di Sekolah Pembangunan Jaya (SPJ) 2 Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (17/2/2022). Vaksinansi COVID-19 bagi siswa Sekolah Dasar usia 6-11 tahun itu sebagai upaya percepatan vaksinasi anak dan mendukung pembelajaran tatap muka secara aman.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Dessy Suciati Saputri, Dian Fath Risalah

Baca Juga

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkap data Kementerian Kesehatan terkait kasus kematian Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan data, penyumbang angka kematian berasal dari golongan lanjut usia (lansia), orang dengan komorbid (penyakit penyerta) dan orang yang belum atau tidak dapat di vaksin lengkap.

"Penyumbang angka kematian cenderung berasal dari golongan lanjut usia yaitu ada 49 persen, komorbid 48 persen dan orang yang belum atau tidak dapat divaksin lengkap yaitu 68 persen," ujar Wiku dalam keterangan persnya secara daring, Kamis (17/2/2022).

 

Menurut data, sSebanyak 20 juta orang di Indonesia belum mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis kedua setelah disuntik dosis pertama dengan rentang waktu 1-5 bulan. Dari data Kemenkes, sebanyak lima juta orang di antaranya ada di Jawa Barat. Sedangkan, empat daerah lain sebagai penyumbang terbanyak yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Sumatera Utara.

“Jadi berdasarkan data dari Kemenkes sebanyak 5 juta orang di Jawa Barat belum mendapatkan dosis kedua setelah divaksinasi pertama dengan rentang waktu 1-5 bulan. Secara nasional jumlahnya sebanyak 20 juta orang,” ujar Wiku.

Kelompok Drop out

 

Selain 20 juta orang yang belum mendapatkan vaksinasi dosis kedua setelah divaksinasi pertama dalam rentang 1-5 bulan, ada juga warga yang masuk ke dalam kelompok drop out, atau belum mendapatkan dosis kedua enam bulan setelah suntikan pertama. Kemenkes telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan kelompok drop out ini mengulang vaksinasi dari awal.

Sebelumnya, Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Prof. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, dr., SpA(K),mengungkapkan, ada sekitar 15 juta orang yang belum mendapatkan suntikan kedua, padahal interval waktu dari suntikan pertama sudah lebih dari 6 bulan. Sebagian besar dari mereka pun mendapatkan suntikan pertama dengan platform vaksin Sinovac.

"Nah, untuk sekarang Sinovac itu sudah tidak bisa diberikan karena dikhususkan untuk anak-anak lantaran terbatasnya logistik yang ada," terang Sri.

Meskipun, Sri mengakui, akan terasa sedikit mubazir karena harus mengulang dari awal. Namun, keputusan itu diambil karena bisa dipertanggungjawabkan dengan adanya antibodi maksimal yang akan dimiliki masyarakat.

"Misalnya, suntikan pertama Sinovac lalu 9 bulan belum diberi lagi, kemudian kita mau kasih Astrazaneca ternyata tidak sampai maksimal antibodinya, kan kita salah juga. Jadi, kami ambil yang bisa dipertanggungjawabkan, meskipun agak berlebihan dan agak sedikit mubazir, tapi secara keseluruhan akan bisa dipertanggungjawabkan antibodi masuk," tegasnya.

Pemerintah lewat Kemenkes juga sudah meminta masyarakat yang telah menerima dosis pertama vaksin Covid-19, namun belum mendapatkan suntikan dosis kedua lebih dari enam bulan (drop out) agar mengulang vaksinasi dari awal. Aturan tersebut tertuang dalam surat bernomor SR.02.06/II/921/2022, yang terbit pada 13 Februari 2022.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta warga yang terlambat mendapatkan vaksinasi dosis kedua hingga enam bulan untuk mengulang vaksinnya dari awal. Budi mengatakan, masyarakat harus mendapatkan proteksi vaksin secara lengkap dua dosis.

 

"Tolong segera dilengkapi vaksinasinya. Jangan tunggu-tunggu lagi, jangan pilih-pilih lagi vaksinnya, langsung disuntik," tegasnya, Senin (14/2/2022).

 

 

Jumlah kematian Covid-19 di Indonesia memang terus bertambah setiap harinya, pada Kamis (17/2/2022), sebanyak 206 orang meninggal akibat Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Sehingga, jumlah keseluruhan kasus meninggal akibat Covid-19 tercatat menjadi 145.828 orang.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyatakan ada empat hal terkait kematian Covid-19 di Indonesia. Pertama, angka yang meninggal karena penularan varian Omicron saat ini ini jauh lebih rendah dari angka yang wafat pada saat penularan Delta sampai mencapai 2.000 orang. 

Namun, menurut Tjandra, akan baik bila disadari bahwa, warga yang meninggal dunia tidaklah dapat semata-mata digambarkan dengan angka perbandingan.

"Perlu pula dilihat bagaimana dampak pada keluarga yang ditinggalkan, nyawa yang hilang tidak tergantikan, serta berbagai pertimbangan aspek lainnya," tegas Tjandra. 

Kedua, sambung Tjandra, Kementerian Kesehatan sudah melakukan analisis 1.090 pasien yang meninggal sampai 13 Februari 2022. Antara lain disebutkan bahwa 68 persen di antaranya belum divaksinasi lengkap.

Disampaikan juga data bahwa 49 persen yang wafat masuk golongan lanjut usia, artinya 51 persen belum lanjut usia. Kemudian, 48 persen memiliki komorbid, atau 52 persen tidak memiliki komorbid. Tentu saja, kata Tjandra, dalam angka tersebut ada gabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.

Ketiga, Tjandra mengusulkan agar analisis kematian ini dapat dilakukan dengan lebih mendalam. Setidaknya ada lima bentuk yang dapat dibuat.

"Yakni penentuan cause of death (COD), apakah  karena Covid-19 dengan badai sitokin misalnya, atau barangkali justru karena perburukan komorbid yang ada, atau gabungan keduanya, dan lainnya," ujarnya.

Kemudian, perlu juga analisis bagaimana perjalanan klinis dari mulai pasien tertular, manifestasi gejala awal dan proses perburukannya sampai pasien wafat. Diperlukan juga data berapa perbandingan antara Omicron dan varian lain pada mereka yang meninggal dunia.

"Harus dianalisis apakah wafat di rumah sakit atau di rumah atau mungkin di tempat lain," ujarnya.

Perlu pula, Tjandra melanjutkan, dihitung waktu yang dibutuhkan proses penanganan, yang biasa dikenal dalam bentuk patient’s delay atau doctor’s delay atau health system delay atau mungkin hospital delay dan lainnya. Akan baik sekali kalau hasil analisis ini dipublikasi di jurnal ilmiah sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan di waktu mendatang.

Hal terakhir adalah terkait keterisian rumah sakit. Diketahui, bahwa sekarang angka BOR rumah sakit masih rendah, sekitar 30 persen itupun belum dihitung dari kapasitas maksimal. 

"Jadi, usul konkrit saya lainnya untuk mengantisipasi peningkatan kasus yang meninggal adalah dengan kemungkinan merawat di RS pasien yang masih gejala ringan tetapi punya risiko untuk menjadi berat dan bukan tidak mungkin meninggal dunia. Nanti kalau BOR sudah meningkat maka kebijakan dapat disesuaikan lagi," ujar Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.

 

Son of Omicron atau BA.2. - (Republika)

 
Berita Terpopuler