Polisi di Banjarmasin Perkosa Mahasiswi Magang, Korban Trauma Berat

Ditemukan banyak kejanggalan dalam proses hukum kasus ini.

pelecehan seksual (ilustrasi)
Rep: Febryan A Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) berinisial VDPS menjadi korban pemerkosaan oleh anggota polisi di Polresta Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Meski pengadilan telah memvonis pelaku bersalah, tapi tim advokasi kasus ini menemukan sejumlah kejanggalan.

Di sisi lain, korban kini mengalami trauma berat. "Pada saat ini, korban mengalami trauma berat dan dalam proses pendampingan oleh psikolog guna memulihkan mental/kejiwaan korban," kata Wakil Dekan Fakultas Hukum ULM, Erlina dalam siaran persnya, Selasa (25/1).

Baca Juga

Erlina menjelaskan, pihak fakultas baru mengetahui kasus ini pada 23 Januari 2022. Fakultas menerima laporan dari mahasiswa usai VDPS membuat unggahan di media sosial soal pemerkosaan yang dia alami.

Setelah menerima laporan, pimpinan fakultas langsung menghubungi korban dan membentuk Tim Advokasi Keadilan untuk VDPS. Pada Senin (24/1), Tim Advokasi Keadilan bersama Wakil Rektor 3 ULM, Dekan FH ULM, dan pimpinan FH ULM melakukan audiensi dengan Kejaksaan Tinggi, Polresta Banjarmasin, dan Bidang Propam Polda Kalsel. Tim pun menemukan sejumlah fakta kronologis dan proses persidangan kasus ini.

Dibaha ke hotel...

Erlina menjelaskan, kasus ini bermula ketika VDPS melaksanakan program magang resmi dari Fakultas Hukum ULM di Satuan Reserse Narkoba Polresta Banjarmasin selama satu bulan, tanggal 5 Juli sampai 4 Agustus 2021. Di sana, korban berkenalan dengan Bripka Bayu Tamtomo.

Selama kegiatan magang itu, Bripka Bayu berulang kali mengajak korban jalan-jalan. Tapi, korban selalu menolak. Pada 18 Agustus 2021, Bripka Bayu kembali mengajak korban untuk jalan-jalan dan akhirnya korban terpaksa menuruti.

 

 

Bripka Bayu menjemput korban menggunakan mobil. Dalam perjalanan, Bripka Bayu mengajak korban ke hotel, tapi korban menolak. Lantas Bripka Bayu memberikan korban sebotol minuman saat dalam perjalanan itu.

"Pelaku memberikan minuman Kratingdaeng yang dicampur dengan anggur merah, yang tutup botolnya sudah terbuka. Setelah itu korban merasa tubuhnya lemas dan tidak berdaya," kata Erlina.

Melihat korban sudah tidak berdaya, Bripka Bayu lantas membawa korban ke sebuah hotel yang berlokasi di KM 6 Banjarmasin. Bripka Bayu langsung membawa korban ke dalam kamar dengan menggunakan kursi roda.

"Pada saat berada di dalam kamar, terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban sebanyak dua kali," kata Erlina.

Saat mereka tahu kasus ini, lanjut Erlina, ternyata sudah diproses hukum. Pelaku didakwa dengan Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya saat perempuan itu pingsan atau tidak berdaya. Ancaman maksimalnya 9 tahun penjara.

Lalu pelaku didakwa pasal alternatif, yakni Pasal 290 Ke-1 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap perempuan yang sedang pingsan atau tidak berdaya. Ancaman maksimalnya 7 tahun penjara

Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut pelaku dengan Pasal 286 KUHP dengan tuntutan pidana penjara paling lama 3,5 tahun. Tuntutan ini tak sampai separuh dari ancaman maksimal.

Terhadap tuntutan jaksa, Majelis Hakim menyatakan pelaku bersalah melanggar Pasal 286 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 2,5 tahun. Vonis ini tercantum dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 892/Pid.B/2021/PN BJM.

Banyak kejanggalan...

Berdasarkan temuan fakta kronologi dan persidangan itu, lanjut Erlina, Tim Advokasi Keadilan untuk VDPS menemukan berbagai kejanggalan. Pertama, kasus telah berlangsung sejak Agustus 2021, tapi tidak satu pun ada pemberitahuan dari pihak berwenang kepada pihak universitas maupun pihak fakultas sebagai penyelenggara program magang. Padahal, pelaku kenal dengan korban dalam kegiatan magang di lembaga kepolisian.

Kedua, tidak ada pendampingan hukum terhadap korban. Hanya ada pendampingan secara psikologis oleh dinas terkait. Hal ini mengakibatkan tidak adanya pengawalan

terhadap proses hukum.  

Ketiga, proses sidang berlangsung sangat cepat, yakni dari sidang pertama tanggal 30 November 2021 dan sidang putusan/vonis tanggal 11 Januari 2022. Artinya, persidangan dilakukan dalam waktu 31 hari kerja atau 43 hari kalender.

Keempat, JPU menuntut pelaku dengan Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya perempuan itu pingsan atau tidak berdaya. "Sedangkan Tim Advokasi Keadilan berpendapat bahwa seharusnya JPU mencantumkan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman yang lebih berat. Penyidik dan JPU tidak menggunakan ketentuan Pasal 89 KUHP yang merupakan perluasan makna “kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP," ujar Erlina yang juga bertindak sebagai ketua tim advokasi.

Kelima, JPU langsung menyatakan menerima pada saat pembacaan putusan tanpa dihadiri oleh korban. JPU juga menolak saat Tim Advokasi Keadilan meminta agar dilakukan upaya banding. Untuk diketahui, waktu pengajuan banding berakhir hari ini, 25 Januari 2022.

Keenam, majelis hakim menjatuhkan hukuman yang sangat ringan, yakni pidana 2,5 tahun penjara dari ancaman maksimal 7 tahun. "Artinya, hukuman yang dijatuhkan hakim kurang lebih 1/4 dari ancaman maksimum, tepatnya 27,7 persen," ujar Erlina.

Atas sejumlah kejanggalan tersebut, kata Erlina, Tim Advokasi bersama pimpinan ULM  meminta lembaga berwenang mengusut proses peradilan kasus ini. Tim juga mendesak agar Kapolda Kalsel menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat kepada Bripka Bayu.

"Sebagai ungkapan keprihatinan dan salah satu bentuk protes, Fakultas Hukum ULM menyatakan menarik semua mahasiswa yang sedang magang di Polresta Banjarmasin dan

mengevaluasi kerjasama magang dengan Polresta Banjarmasin dan tempat magang lainnya," kata Erlina.

 
Berita Terpopuler