Ketua KPK Firli Temui DPD, Bahas Presidential Threshold 0 Persen?

Ketua KPK Komjen Firli mendukung agar presidential threshold sebesar 0 persen.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPK Firli Bahuri mendukung presidential threshold sebesar 0 persen (foto: ilustrasi)
Rep: Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro, Haura Hafizhah Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menemui Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti di Kompleks Parlemen, Jakarta. Namun, ia enggan memberitahu agenda pertemuan keduanya.

Baca Juga

Adapun Ketua Komite I DPD Fachrul Razi menjelaskan, pihaknya bersama Firli terlebih dahulu akan menggelar rapat secara tertutup. Ia juga enggan memberi tahu agenda rapat antara DPD dan Firli.

"Dengan mengucapkan Bismillah, rapat kerja bersama KPK RI secara resmi saya buka saya. Mohon teman-teman wartawan dan tidak berkepentingn di dalam rapat ini," ujar Fachrul di Lantai 8 Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/12).

Diketahui, dalam beberapa waktu terakhir DPD terus menyuarakan ambang batas pencalonan presiden atau parliamentary threshold menjadi 0 persen. Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen turut menjadi penyebab maraknya konflik horisontal.

"Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali pemilihan presiden, hanya menghasilkan dua pasang calon. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” ujar LaNyalla lewat keterangan tertulisnya, Ahad (31/10).

Sebelumnya diketahui, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang tengah ramai menjadi perbincangan.  Hal itu ia singgung Firli Bahuri saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Jumat (10/12).

"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, president threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu pak kalau kita ingin mengentaskan korupsi," katanya.

 

Sementara, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, mengapresiasi dan mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) harus ditiadakan untuk mengentaskan korupsi di Tanah Air. Menurutnya adanya Presidential Threshold, maka demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. 

Ia menilai sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal dihilangkan. Menurutnya ambang batas pencalonan presiden  dikhawatirkan dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan presiden.

"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," kata Guspardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/12).

Guspardi juga berpandangan penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya. Presidential Threshold juga dinilai lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.

Ia juga menilai dengan dihapusnya aturan Presidential Threshold juga dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi di tengah masyarakat. Karena itu, Guspardi mengungkapkan setiap partai politik seharusnya diberikan hak konstitusionalnya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. 

Ia pun mengajak semua pihak berkaca dari pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu. Penetapan Presidential Threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan. 

"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," jelasnya.

 

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menanggapi terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menginginkan Presidential Threshold (PT) menjadi nol persen. Menurutnya, jika PT menjadi nol persen nantinya biaya politik bisa menjadi rendah. 

"Kalau memang PT menjadi nol persen maka nanti cost atau biaya politik menjadi rendah. Setidaknya mahar untuk menjadi capres dan cawapres dapat ditekan seminimal mungkin," katanya kepada Republika.co.id, Senin (13/12).

Kemudian, ia melanjutkan partai politik (Parpol) yang memiliki suara besar mantinya tidak akan lagi semena-mena menetapkan mahar politik. Sebab, parpol lain juga berhak mengusung calon, sehingga capres dan cawapres bisa beralih ke Parpol lain.

Ia menambahkan kalau cost politik capres dan cawapres rendah maka akan berimplikasi pada menurunnya perilaku koruptif jika mereka nantinya terpilih. Mereka tidak lagi berpikir untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya atau mengembalikan kesepakatan dengan pihak sponsor.

"Jadi, perilaku koruptif diharapkan dapat ditekan. Hal ini tentu akan meringankan beban KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya," kata dia.

Selain itu, PT nol persen mengembalikan pelaksanaan pilpres di Indonesia pada prinsif demokrasi. Disini berlaku, variasi pemilih akan diikuti variasi yang akan dipilih. Dengan PT nol persen, diharapkan akan semakin banyak pasangan capres dan cawapres yang ikut dalam kontestasi pilpres 2024. Banyaknya pasangan capres dan cawapres diharapkan semakin mendekati heterogenitas pemilih Indonesia.

"Kalau hal itu dapat diwujudkan, maka pasangan capres dan cawapres yang dipaksakan oleh Parpol dan para oligarki akan sulit memenangkan kontestasi Pilpres. Mereka akan dikalahkan pasangan lain yang lebih berkualitas dan berintegritas yang disodorkan Parpol lain," kata dia.

Ia menjelaskan dampaknya tentu akan memaksa setiap Parpol mengusung pasangan capres dan cawapres yang berkualitas dan berintegritas. Pasangan calon inilah yang diharapkan akan dipilih para pemilih, sehingga siapa pun yang terpilih pastilah pasangan yang berkualitas dan berintegritas.

"Kalau hal dapat diwujudkan, maka pasangan yang hanya bermodal popularitas dengan sendirinya akan tersisih. Indonesia tidak lagi dipimpin oleh presiden hasil pencitraan semata, yang kerjanya tanpa visi yang jelas. Negeri ini akan dipimpin presiden yang punya visi, sehingga jelas arah kerjanya sebagaimana amanah UUD 1945," katanya.

 

 
Berita Terpopuler