Kisah Haji Raja Mali, Mansa Musa yang Bagi-Bagi Emas di Mesir

Raja Mansa Musa diuji keimanannya setelah melaksanakan haji. 

AP
Kisah Haji Raja Mali, Mansa Musa yang Bagi-Bagi Emas di Mesir.
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti  Red: Ani Nursalikah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Raja Mali Mansa Musa terkenal dengan perjalanan hajinya, di mana ia berhenti di Mesir dan memberikan begitu banyak emas pada rakyat Mesir.

Baca Juga

Mansa Musa adalah cicit Sunjata, yang merupakan pendiri kerajaan Mali. Dia memimpin selama 25 tahun pemerintahannya (1312-1337 M) dan digambarkan sebagai zaman keemasan kekaisaran Mali.

Sementara Sunjata berfokus pada pembangunan kerajaan etnis Malinke, Mansa Musa mengembangkan praktik Islamnya. Dia melakukan haji pada 1324. 

Menurut Levztion, rute perjalanan hajinya melintasi Afrika ke Makkah memakan waktu lebih dari setahun. Mansa Musa melakukan perjalanan melalui Sungai Niger ke Mema, lalu ke Walata, lalu melalui Taghaza dan terus ke Tuat, yang merupakan pusat perdagangan di Afrika tengah.

Tuat menarik para pedagang dari Majorca dan Mesir dan para pedagangnya termasuk orang Yahudi dan juga Muslim. Ketika tiba di Mesir, Mansa Musa berkemah di dekat Piramida selama tiga hari. 

 

Dia kemudian mengirimkan hadiah 50 ribu dinar kepada Sultan Mesir sebelum menetap di Kairo selama tiga bulan. Sultan meminjamkan istananya untuk musim panas dan memastikan bahwa rombongannya diperlakukan dengan baik.

Mansa Musa memberikan ribuan batangan emas dan para pedagang Mesir memanfaatkannya dengan membebankan harga lima kali lipat dari harga normal barang-barang mereka. Hal tersebur menyebabkan nilai emas di Mesir menurun sebanyak 25 persen.

Pada saat Mansa Musa kembali ke Kairo dari haji, bagaimanapun, ia telah kehabisan uang dan harus meminjam dari pedagang Mesir lokal.

Ujian Keimanan

Mansa Musa adalah seorang yang saleh, dia bukanlah seorang pertapa. Kekuatan kekaisarannya dihormati secara luas, dan dia ditakuti di seluruh Afrika. 

Catatan Ibnu Batutah menunjukkan Musa mengharapkan etika penghormatan tradisional yang sama dilakukan untuknya seperti halnya raja lainnya. Orang-orang yang menyambutnya harus berlutut dan menyebarkan debu ke atas diri mereka sendiri. Bahkan di Kairo, Mansa Musa disambut oleh rakyatnya dengan cara tradisional. 

 

Beberapa aturan yang diterapkan selama pemerintahannya adalah tidak seorang pun diizinkan masuk ke hadapan raja dengan sandalnya, jika melanggar atas kelalaiannya maka akan dihukum mati. Selain itu tidak seorang pun diizinkan bersin di hadapan raja, dan ketika raja sendiri bersin, mereka yang hadir memukuli dada mereka dengan tangan mereka” (Levtzion, 108).

Kebiasaan lain adalah raja tidak akan pernah memberi perintah secara pribadi. Dia akan memberikan instruksi kepada juru bicara, yang kemudian akan menyampaikan kata-katanya. Dia tidak pernah menulis apapun sendiri dan meminta juru tulisnya untuk menyusun sebuah buku, yang kemudian dia kirimkan kepada Sultan Mesir.

Namun, Mansa Musa harus menghadapi ujian kerendahan hatinya sendiri karena diharuskan bersujud hingga mencium tanah saat menyapa sultan. Ini adalah tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh Mansa Musa sendiri.

Ibnu Fadl Allah Al-Omari, yang menghabiskan waktu bersama Musa di Mesir, melaporkan Musa telah membuat banyak alasan sebelum dia dapat dibujuk untuk memasuki istana sultan. Pada akhirnya, dia membuat kompromi dengan mengumumkan bahwa jika dia harus sujud saat memasuki pengadilan, itu hanya di hadapan Allah, dan ini dia lakukan.

Mansa Musa mengikuti tradisi panjang raja-raja Afrika Barat yang telah berziarah ke Makkah dan seperti para pendahulunya, ia bepergian dengan penuh gaya. Ibnu Batutah mencatat tampilan kekayaan, termasuk kehadiran besar pengawal, pejabat, kuda pelana, dan bendera berwarna. Dia bepergian dengan istri tertuanya, Inari Kunate, yang membawa serta 500 pelayannya.

 

Istri tertuanya juga dihormati dan ditakuti, dan para penguasa dari berbagai kota memberikan penghormatan kepadanya. Namun, Ibnu Batutah mencatat di istana Mansa Musa, syariat Islam tentang pernikahan tidak dipraktikan. 

Dia mencatat Ibnu Amir Hajib, seorang anggota pengadilan Mamluk, mencatat bagaimana Mansa Musa dengan ketat menjalankan sholat dan mengetahui Alquran, tetapi mempertahankan kebiasaan jika salah satu rakyatnya memiliki seorang putri cantik, dia membawanya ke tempat tidur raja tanpa pernikahan

Ibnu Amir Hajib memberi tahu Mansa Musa bahwa ini tidak diizinkan menurut hukum Islam, dan Mansa Musa menjawab, “Bahkan kepada raja pun tidak?” Ibnu Amir Hajib berkata, “Bahkan kepada raja pun tidak.” 

Sejak saat itu Mansa Musa menahan diri dari praktik tersebut. Haji Mansa Musa memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan Islam di Mali dan persepsi Mali di seluruh Afrika dan Eropa. 

Dia kemudian ditemani kembali ke Mali oleh seorang arsitek Andalusia yang dikatakan telah merancang masjid di Timbuktu. Ia juga mengajak kembali empat orang keturunan Nabi SAW agar negeri Mali diberkahi jejak kaki mereka. Menurut Levtzion, ziarah Mansa Musa tercatat di banyak sumber, baik Muslim maupun non-Muslim dan dari Afrika Barat dan Mesir.

Mali juga muncul di peta orang-orang Yahudi dan Kristen di Eropa. Di Mali, Musa dikenal karena membangun masjid dan mengundang cendekiawan Islam dari seluruh dunia Muslim ke kerajaannya.

 
Berita Terpopuler