Percepat Vaksinasi, Prof Tjandra: Tiru Singapura-AS

Prof Tjandra menyebut, kebijakan vaksinasi Covid-19 di Singapura-AS bisa jadi contoh.

Antara/Yulius Satria Wijaya
Warga menunjukkan kartu vaksin Covid-19 setelah menjalani vaksinasi di Polsek Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (15/11/2021). Sebanyak 208 juta warga Indonesia menjadi target vaksinasi Covid-19.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama menyarankan pemerintah Indonesia untuk mencontoh kebijakan vaksinasi yang diterapkan negara lain, seperti di Singapura ataupun Amerika Serikat, untuk mempercepat cakupan vaksinasi. Ia menyebut, kebijakan seperti yang diterapkan di luar negeri tersebut bisa diadopsi sebagai solusi bagi masyarakat yang menolak untuk divaksinasi karena berbagai alasan.

"Bisa pakai aturan seperti di Singapura, kalau kamu tidak divaksin, kalau sakit masuk rumah sakit bayar sendiri," kata Prof Tjandra dalam webinar bertemakan Libur Nataru dan Varian Baru Strategi Cegah Gelombang Ke-3 Pandemi Covid-19 yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura Suryopratomo mengatakan, pemerintah Singapura menerapkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan cakupan vaksinasi. Dia menjelaskan, sebelumnya pemerintah Singapura menerapkan kebijakan vaksinasi Covid-19 yang bersifat sukarela bagi masyarakat.

Baca Juga

Kebijakan itu telah diubah menjadi wajib. Bahkan, terdapat sejumlah sanksi seperti tidak dibiayai perawatan rumah sakit apabila terinfeksi Covid-19 bagi warga yang tidak divaksinasi.

Suryopratomo mengatakan, saat ini cakupan vaksinasi Covid-19 di Singapura sudah mencapai 85 persen. Meskipun saat ini kasus Covid-19 di Singapura meningkat, namun sebagian besar yang terinfeksi tidak bergejala dan angka kematiannya rendah.

"Sejak Juli meningkat cukup tinggi sampai sekarang, tapi 99 persen tidak bergejala dan sehat. Sampai sekarang yang dirawat hanya 0,3 persen, yang meninggal 0,2 persen atau 0,3 persen, jadi relatif rendah," kata Suryopratomo.

Prof Tjandra juga menjelaskan bahwa Indonesia bisa mencontoh negara Amerika Serikat yang memberikan imbalan bagi warganya yang mau divaksinasi. Hal tersebut ditempuh dikarenakan sulitnya mencari orang yang belum divaksinasi mengingat sebagian besar warganya sudah mendapatkan imunisasi yang lengkap.

"Sekarang udah susah mencari orang yang mau divaksin di New York, Amerika Serikat, itu setiap yang mau divaksin dapat 100 dolar jadi anak saya sudah pernah divaksin di Jakarta sampai di sana vaksin lagi dapat 100 dolar," kata Prof Tjandra.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah total vaksin Covid-19 yang dapat diberikan kepada masyarakat hingga akhir tahun ini mencapai 290 juta hingga 300 juta suntikan. Ia menyebut, vaksinasi untuk dosis pertama sebanyak 161 juta orang atau 78 persen dari target populasi dan untuk dosis lengkap mencapai sekitar 118 juta orang atau hampir 60 persen.

"Diperkirakan sampai akhir tahun ini mungkin bisa mencapai total suntikan 290 juta sampai 300 juta suntikan," kata Budi saat konferensi pers di Kantor Presiden, dikutip pada Selasa (16/11).

Menurut Budi, proyeksi vaksinasi hingga akhir tahun ini bahkan lebih besar dari target WHO yang diharapkan dapat mencapai 40 persen vaksinasi dosis lengkap pada akhir tahun. Ia melanjutkan, saat ini vaksinasi yang dilakukan per harinya juga telah mencapai 1,6-2 juta suntikan.

Hingga saat ini, pemerintah telah memberikan 216 juta suntikan vaksin Covid-19 kepada 130,6 juta masyarakat Indonesia. Sebanyak 84,5 juta masyarakat di antaranya telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap dari target populasi yang harus divaksinasi, yakni 208 juta.

"Sebanyak 62 persen sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama dan 40 persen sudah mendapatkan vaksinasi lengkap," kata Budi.

Dalam keterangannya pada Senin (15/11), Budi mengungkapkan, cakupan vaksinasi kepada para lansia baru mencapai sekitar 40 persen. Pemerintah pun bertekad menuntaskan vaksinasi untuk lansia hingga akhir tahun ini, sebelum memvaksinasi anak-anak usia 6-11 tahun pada awal tahun depan.

"Jadi memang logikanya, kalau orang tuanya belum beres sebaiknya jangan turun dulu ke anak," ujar Budi  saat konferensi pers usai rapat terbatas evaluasi PPKM di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (15/11).

Setelah target vaksinasi lansia terpenuhi, vaksinasi akan dilanjutkan kepada kelompok-kelompok lain yang memiliki risiko fatalitas lebih rendah dibandingkan lansia, yakni kelompok usia 40-50 tahun, kelompok masyarakat remaja. Setelah itu, vaksinasi akan menyasar kelompok anak-anak yang memiliki fatality rate sekitar 0,5 persen.

 
Berita Terpopuler