Pakai Akun Bodong di Medsos, Taktik Militer Kuasai Myanmar

Junta Myanmar menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan memantau pembangkang

EPA-EFE / LYNN BO BO
Para pengunjuk rasa memegang plakat dengan gambar kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing (kiri), Presiden China Xi Jingping (2-R) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Junta Myanmar menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan memantau pembangkang.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Sejak kudeta, militer Myanmar berupaya memadamkan aksi unjuk rasa di jalan-jalan kota di seluruh negeri. Tak hanya melancarkan pelarangannya secara langsung, pertempuran paralel militer ternyata juga menjamur di media sosial.

Junta menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan menekan prinsipnya bahwa mereka merebut kekuasaan untuk menyelamatkan bangsa dari kecurangan pemilu. Junta memang dilarang pergerakannya oleh platform media sosial Facebook sejak 1 Februari. Namun langkah junta kian agresif dengan menugaskan ribuan pasukannya untuk melakukan 'pertempuran informasi'.

Menurut sumber militer, misi dari gerakan media sosial junta adalah bagian dari operasi propaganda militer yang lebih luas untuk menyebarkan pandangan junta di antara penduduk. Seperti diketahui, Facebook adalah platform media sosial yang dominan di negara tersebut.

Tentara meluncurkan 'pertempuran informasi' juga untuk memantau pembangkang dan menyerang secara daring dengan menyebutnya sebagai pengkhianat. Menurut informasi dari tentara yang membelot dan bergabung dengan pasukan pemberontak, Kapten Nyi Thuta, para junta diminta untuk membuat beberapa akun palsu dan diberikan segmen konten serta poin pembicaraan yang harus mereka unggah.

"Mereka juga memantau aktivitas daring dan bergabung dengan grup daring (anti-kudeta) untuk melacak mereka," ujarnya. Pria berusia 31 tahun itu mengatakan dirinya adalah bagian dari operasi propaganda tentara sampai dia membelot.

Hingga kini, juru bicara pemerintah militer tidak menanggapi permintaan berulang kali untuk mengomentari taktik media sosialnya. Pada September, seorang juru bicara junta di Myawaddy TV milik tentara menuduh kelompok media dan aktivis oposisi menyebarkan berita palsu tentang situasi di Myanmar.

Delapan orang yang mengetahui drive media sosial junta semuanya meminta untuk tidak disebutkan namanya sebab ketakutan akan pembalasan. Namun pengecualian berlaku untuk Nyi Thuta dan Kapten Lin Htet Aung yang membelot dari tentara pada April.

Militer yang dikenal sebagai Tatmadaw, mendorong kampanyenya secara daring bahkan ketika mereka melakukan halauan protes di jalan-jalan. Junta mengeklaim Liga Nasional untuk Demokrasi telah curang memenangkan pemilihan November 2020. Pengawas pemilu internasional mengatakan dalam laporan Mei bahwa pemungutan suara itu adil.

Tinjauan Reuters terhadap ribuan unggahan media sosial pada 2021 merekam 200 personel militer menggunakan akun pribadi mereka di platform media sosial termasuk Facebook, YouTube, TikTok, Twitter, dan Telegram. Junta mengunggah pesan atau video yang menuduh kecurangan dalam pemilihan dan mencela pengunjuk rasa anti kudeta sebagai pengkhianat.

Dalam lebih dari 100 kasus, pesan atau video digandakan oleh belasan akun peniru dalam beberapa menit serta di grup daring juga. Konten itu tersebar di saluran penggemar untuk selebritas Myanmar dan tim olahraga dan media berita. Data ini didapat dari alat pelacakan daring milik Facebook Crowdtangle.

Baca Juga

Baca juga : Populasi Muslim yang Meningkat dan Islamofobia di Kanada

Unggahan junta juga sering menyebut orang-orang yang menentang junta sebagai "musuh negara" dan "teroris". Selain itu, dengan berbagai cara junta mengatakan mereka ingin menghancurkan tentara, negara, dan agama Buddha.

Banyak aktivis oposisi menggunakan beberapa metode serupa. Mereka membuat akun duplikat untuk mengisi "tim Twitter" dengan ratusan ribu anggota dan membuat tren tagar anti-junta.

Sementara taktik seperti itu umum di seluruh dunia, ini bisa sangat berpengaruh di Myanmar. Penduduk menerima sebagian besar informasinya melalui media sosial daripada langsung dari kantor berita yang sudah mapan. Facebook secara teratur digunakan oleh lebih dari setengah populasi negara tersebut.

Dihapus Secara Agresif

Direktur kebijakan publik Facebook untuk negara-negara berkembang Rafael Frankel mengatakan,perusahaan secara proaktif mendeteksi hampir 98 persen unggahan ujaran kebencian yang dihapus dari Facebook di Myanmar. "Larangan kami terhadap Tatmadaw dan gangguan berulang terhadap perilaku tidak autentik yang terkoordinasi telah mempersulit orang untuk menyalahgunakan layanan kami yang menyebabkan kerugian," ujarnya.

Dia menanggapi pertanyaan tentang penggunaan akun palsu yang terus berlanjut oleh tentara. "Ini adalah masalah yang sangat bermusuhan dan kami bekerja keras untuk mengkalibrasi sistem kami untuk menegakkan larangan dengan benar dalam skala besar," ujar Frankel.

Baca juga : Facebook tak Lagi Gunakan Teknologi Pengidentifikasi Wajah

Facebook mengatakan telah menghapus ratusan akun dan halaman yang terkait dengan personel militer Myanmar sejak 2018. Hal itu dilakukan setelah New York Times melaporkan pejabat militer berada di balik halaman palsu yang menghasut kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya. Investigasi Reuters menemukan Facebook gagal mengawasi ujaran kebencian anti-Rohingya.

YouTube mengatakan telah menghentikan dua saluran pro-militer yang menyamar sebagai kantor media yang ditandai oleh Reuters. Pihak YouTube kini sedang memantau konten yang dinilai melanggar.

TikTok juga mengatakan telah secara agresif menghapus ribuan akun Myanmar yang melanggar pedomannya. Twitter mengatakan tetap waspada terhadap upaya manipulasi. Telegram tidak menanggapi permintaan komentar.

Perang Informasi

Penggerak informasi tempur dikoordinasikan dari ibu kota Naypyidaw oleh Unit Produksi Informasi dan Humas Angkatan Darat yang dikenal dengan akronim Ka Ka Com. Nyi Thuta dan Lin Htet Aung mengatakan Ka Ka Com memiliki ratusan tentara di sana.

"Ka Ka Com memberikan informasi seseorang kepada intelijen militer jika mereka yakin mereka harus ditangkap atau menjadi sasaran pengawasan di lapangan," kata Lin Htet Aung.

Menurut para pembelot, unit pusat mengkoordinasikan pekerjaan belasan tim media sosial yang dikerahkan di seluruh negeri di bawah komando dan batalyon militer regional. Militer telah memberlakukan beberapa pembatasan sementara di internet sejak kudeta dan melarang penggunaan Facebook pada Februari.

Namun 20 juta orang di negara itu terus menggunakan platform itu pada Juli. Angka itu dibandingkan dengan 28 juta pada Januari karena banyak pengguna mengatasi larangan dengan menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN).

Nyi Thuta dan Lin Htet Aung menjelaskan para tentara yang memantau tanda-tanda masalah sangat waspada terhadap perbedaan pendapat di antara tentara lain untuk mencegah pembelotan. Mereka mengatakan tim pemantau sering kali dikelola sebagian oleh tentara wanita yang tidak diizinkan untuk peran tempur.

Baik menjelang pemilihan dan setelah kudeta, tentara dan keluarga mereka diberitahu untuk melaporkan akun media sosial mereka kepada tentara. Mereka juga diperingatkan untuk tidak mengunggah konten yang kritis terhadap junta atau mendukung Aung San Suu Kyi.

Nyi Thuta mengatakan dia dan tentara lain yang meninggalkan pasukan telah menjadi sasaran serangan daring. Reuters meninjau dua grup Telegram dengan ribuan tentara di dalamnya yang membagikan identitas, foto, dan detail media sosial dari orang-orang yang mereka katakan mereka duga sebagai "semangka". Istilah itu menandakan pro-militer di luar tetapi diam-diam mendukung Aung San Suu Kyi yang warna partainya adalah merah.

Baca juga : Taliban Larang Gunakan Mata Uang Asing di Afghanistan

Baik Lin Htet Aung maupun Nyi Thuta berterus terang mereka meninggalkan tentara atas kemauan mereka sendiri sebagai protes atas kudeta tersebut. Lin Htet Aung sekarang membantu melatih pasukan pemberontak di Myanmar. Nyi Thuta, yang menolak menyebutkan lokasinya, mengatakan dia telah meluncurkan organisasi dukungan daring untuk personel militer yang ingin membelot, yang disebut Tentara Rakyat.

Kelompok yang memiliki lebih dari seperempat juta pengikut di Facebook itu memperkirakan 2.000 tentara telah membelot sejak kudeta meski angka ini tidak dapat dikonfirmasi oleh Reuters. "Saya menggunakan taktik perang informasi yang saya pelajari di ketentaraan untuk melawan mereka," katanya.

 
Berita Terpopuler