Konvensi Capres: Peserta Bisa Nyapres, Bisa Juga Diabaikan

Nasdem akan menggelar konvensi untuk menjaring bakal capres 2024.

ANTARA FOTO/Wahyu Putro
Anies Baswedan (kanan) saat mengikuti wawancara prakonvensi capres dari Partai Demokrat di Jakarta, pada 2014 lalu. Menjelang Pilpres 2024, Partai Nasdem berencana menggelar konvensi untuk menjaring capres. (ilustasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika

Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi partai politik (parpol) pertama yang berencana menggelar konvensi calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024. Konvensi ini bisa menjadi kesempatan bagi tokoh atau bakal capres nonparpol meraih tiket capres atau cawapres pada 2024.

"Konvensi menghasilkan calon presiden terbaik sebagai pemenang konvensi. Dan yang terkahir, dia memastikan mendapatkan tiket untuk mengantarkan mereka sebagai calon resmi," ujar Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Jakarta, Kamis (28/10) pekan lalu.

Orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas dalam memimpin, tapi tak memiliki jalur untuk maju ke Pilpres 2024 akan dipersilakan mengikuti konvensi. Sehingga, konvensi ini bukan hanya untuk orang-orang yang merupakan elite kelompok atau partai politik tertentu.

Untuk itu, Surya mengimbau ketua umum partai politik tak maju sebagai peserta konvensi. Sebab hal tersebut dinilainya dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam koalisi nantinya.

"Memang sebaiknya kalau ada konvensi dilakukan, ketua umum partai tidak ikut. Kalau ketua umum partai yang ikut (Pilpres 2024), sebaiknya dia jangan ikut (konvensi)," ujar Surya.

Terkait mekanisme konvensi, dijelaskan oleh Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali. Pertama, Partai Nasdem terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan partai politik yang ingin berkoalisi untuk Pilpres 2024.

"Ya, jadi nanti jika kemudian membentuk koalisi di luar, jadi koalisi sebelumnya, lalu diserahkan," ujar Ahmad Ali.

Setelah itu, barulah Partai Nasdem dan koalisinya akan menggelar konvensi untuk menyeleksi bakal capres untuk 2024. Koalisi tersebut akan memutuskan, apakah akan mencalonkan sosok yang diajukan atau tidak.

Baca juga : 3 Tokoh Berpeluang Didukung Jokowi di Pilpres 2024

Namun, jika konvensi tersebut tak menyetujui sosok yang diajukan menjadi calon presiden, barulah partai mendiskusikannya dalam internal koalisi. Hal itu disebutnya merupakan keputusan mutlak dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

"Jika kemudian tidak terjadi kesepahaman antara partai koalisi tentang metode yang akan dilaksanakan secara konvensi, kemudian dilakukan penjaringan yang menjadi domain ketua umum," ujar Ahmad Ali.

 

Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), Hendri Satrio, menilai, konvensi capres yang akan digelar Nasdem akibat dari parpol tak punya tokoh yang bisa dijagokan.

Baca Juga

"Kalau partai papan tengah cari capres itu karena otomatis mereka tidak memiliki figur sentral atau tokoh yang mumpuni secara popularitas sehingga perlu menjaring para tokoh," kata Hendri kepada Republika, Jumat (29/10).

Hendri mengamati konvensi capres bukan kali ini saja dilakukan sebuah parpol. Konvensi pertama kali diadakan di Indonesia oleh Partai Golkar. Tokoh pernah ikut konvensi capres Golkar diantaranya Wiranto, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh.

Wiranto yang saat itu menjadi pemenang konvensi, kemudian oleh Partai Golkar resmi diusung sebagai capres pada Pilpres 2024.

"Golkar lakukan dulu itu efektif dan bagus. Artinya itu jadi jalan tengah di parpol untuk dorong orang yang menurut parpol itu pantas jadi capres," ujar Hendri.

Hendri mempersilakan parpol manapun mengadakan konvensi capres. Ia mengimbau parpol tak perlu cemas prematur soal suara yang bakal diperoleh sang peserta konvensi.

"Masalah menang atau enggak di pilpres belakangan karena itu pilihan rakyat," ucap Hendri.

Namun, Hendri mengingatkan Nasdem agar tak meniru Partai Demokrat. Dalam konvensi yang pernah digelar Demokrat, Hendri menyayangkan tokoh yang telah terjaring malah diabaikan.

"Biasanya penjaringan tokoh ini kalau memang bagus (prosesnya) hasilnya bagus misalnya Dahlan Iskan di Demokrat waktu itu ada Anies Baswedan juga. Sebenarnya kalau dipatuhi bagus, tapi Demokratnya mbalelo enggak patuhi atau teruskan hasil konvensi," ucap Hendri.

Berbicara dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR mengatakan, bahwa saat ini ada tiga jalur untuk menjadi capres untuk Pilpres 2024. Pertama adalah jalur kepala daerah, seperti sejumlah gubernur saat ini yang memiliki elektabilitas tinggi.

Jalur inilah yang dimanfaatkan oleh Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Saat itu, Jokowi meraih simpati publik saat menjadi wali kota Solo dan kemudian melenggang ke DKI Jakarta, hingga menjadi presiden.

Baca juga : Sekjen PDIP: Politik Bansos SBY Jadi Beban APBN

"Ini eskalator politik menuju capres 2024 yang potensial. Khususnya gubernur di Pulau Jawa, yaitu Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur," ujar Yuda dalam rilis daringnya, Senin (25/10).

Kedua adalah jalur partai politik yang dimiliki oleh para elite di dalamnya. Beberapa nama elite partai yang berpotensi maju sebagai capres adalah Prabowo Subianto, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar.

"Karena partai politik adalah pemilik tiket untuk maju di Pilpres 2024," ujar Yuda.

Terakhir adalah jabatan menteri yang dipegang oleh sejumlah sosok potensial, seperti Sandiaga Salahuddin Uno, Erick Thohir, dan Mahfud MD. Menurutnya, Pasalnya, mereka memiliki pekerjaan yang dapat dipantau publik, sehingga dapat memperoleh elektabilitas.

"Jadi ini adalah eskalator politik potensial yang kita analisis berdasarkan temuan survei ini dan tergantung siapa mendapatkan momentum politik ini," ujar Yuda.

 

Belum Ada Capres Dominan - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler