Kasus-Kasus di Kepolisian Wujud Lemahnya Kontrol Institusi

Beragam kasus di personel kepolisian menjadi indikator ada masalah di internal Polri.

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengingatkan seluruh jajarannya akan tantangan tugas di tengah era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi dewasa ini.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Ali Mansur, Antara

Serentetan kasus yang melibatkan petugas kepolisian menimbulkan citra buruk. Kasus demi kasus yang muncul seakan menunjukkan lemahnya kontrol institusi ke personel kepolisian.

Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan, kasus-kasus terkait polisi terjadi karena arogansi personal dan lemahnya kontrol institusi kepolisian kepada personelnya. "Saya prihatin dengan kondisi kepolisian saat ini. Tentunya banyaknya kasus tersebut adalah ujian bagi kepolisian. Dan ini hendaknya jadi momentum bagi perbaikan Polri ke depan. Terkait dengan kekerasan yang muncul, itu terjadi karena arogansi personal dan lemahnya kontrol institusi kepolisian kepada personelnya," kata Bambang, saat dihubungi Republika, Rabu (27/10).

Ia melanjutkan, kewenangan yang besar dan kontrol yang lemah membuat banyak celah bagi oknum melakukan pelanggaran. Belum lagi terkait reward and punishment yang juga tidak berimbang.

Sanksi yang tajam ke bawahan, tapi tumpul ke atas menjadi api dalam sekam yang memicu kekecewaan di internal. "Peraturan, SOP, surat edaran untuk internal sudah banyak tetapi pelanggaran masih juga marak. Ini indikasi bahwa  personel tidak mengindahkan aturan atau pemimpin tidak mempunyai kewibawaan," kata dia.

Ia menambahkan, masih banyak personal kepolisian yang lebih senang melakukan pendekatan dengan kekerasan daripada cara-cara lain yang lebih humanis. Ini tidak hanya berlaku pada aparat kepada masyarakat tetapi aparat dengan aparat itu sendiri.

Kasus di Nunukan kemarin sebagai salah satu bukti, kekerasan yang dilakukan unsur pimpinan tidak membuat hormat anggotanya. Demikian juga dengan kasus polisi menembak polisi di NTB kemarin.

"Mengapa personel tidak mengindahkan aturan? Karena tidak ada sistem yang bisa memastikan itu berjalan secara konsisten. Munculnya tagar #percumalaporpolisi menunjukan ada ketidakpercayaan masyarakat kepada mekanisme kontrol di kepolisian," kata dia.

Menurutnya, kepolisian tidak hanya diragukan publik, pengawasan internal pun diragukan oleh anggota kepolisian. Terbukti dengan munculnya video CCTV yang diunggah anggota yang ditendang Kapolres Nunukan tersebut.

Belum lagi soal adanya surat terbuka kepada Kapolri yang mengatasnamakan jajaran Polsek terkait pemerasan oknum SDM Polda Sulut. Meskipun itu dibantah Kapolda Sulut sebagai hoaks tetapi substansi masalah itu diakui atau tidak memang ada.

"Personel di Nunukan mengunggah video kekerasan pimpinannya di media sosial, melayangkan surat terbuka pada Kapolri dan sebagainya. Ini menunjukan, mereka sendiri tidak percaya pada institusinya sendiri atau setidaknya tidak percaya pada personel pengawasan di internal. Mereka lebih percaya dengan delik viral untuk mengunggah pelanggaran di internal," kata dia.

Beban kerja yang berat ditambah masalah ketidakadilan di internal yang dirasakan itu salah satu juga yang memicu munculnya emosi yang berujung kekerasan. Makanya, harus ada evaluasi secara menyeluruh terkait pembinaan personel di tubuh Polri.

"Unggahan video CCTV kekerasan kapolres oleh korban yang juga personel kepolisian itu menunjukan ketidakpercayaaan pada institusinya sendiri untuk berbuat adil sesuai dengan yang diharapkan," kata dia.

Ia mengatakan, hal-hal tersebut menjadi indikator ada masalah di internal Polri. "Bagaimana bisa mengayomi masyarakat bila personelnya sendiri merasa tidak terayomi?" kata dia.

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad mengatakan perilaku tidak pantas yang sejumlah petugas kepolisian belakangan membuat kepolisian harus meningkatkan pengawasan supaya lebih profesional dan berintegritas. "Pada satu sisi cukup memprihatinkan atas berita-berita yang tersebar di dalam masyarakat. Dalam hal ini kepolisian harus lebih bisa melakukan pengawasan terhadap anggota-anggotanya agar hal ini tidak terulang kembali," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (27/10).

Kemudian, ia melanjutkan Kapolri juga harus tegas terhadap anggota-anggotanya yang tidak mau diatur. Sehingga nama dan citra lembaga kepolisian tidak buruk di dalam masyarakat.

"Pengawasan dan pelatihan yang tepat harus ditingkatkan lagi. Jangan sampai anggota polisi melakukan hal yang tidak baik lagi apalagi kepolisian itu kan harusnya menjaga keamanan," kata dia.

Baca Juga

 

Sejumlah kasus terjadi melibatkan petugas kepolisian di Tanah Air. Polda Sumatra Utara resmi mencopot Kapolsek Kutalimbaru AKB Hendri Surbakti buntut kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oknum penyidik kepolisian setempat terhadap istri tersangka kasus narkoba. Ada dua penyidik Polsek Kutalimbaru yakni, Aiptu DR dan Bripka RHL yang diduga melakukan pencabulan dan pemerasan.

Lalu, Polda Kalimantan Utara (Kaltara) menonaktifkan sementara Kapolres Nunukan, AKBP Syaiful Anwar. Pemberhentian sementara itu, lantaran aksi Kapolres, yang terekam menganiaya anak buahnya, sesama polisi.

"Atas kejadian viralnya Kapolres Nunukan itu, Kapolda Kaltara memerintahkan Kabid Propam untuk melakukan pemeriksaan. Kemudian, memerintahkan Karo SDM untuk menerbitkan Skep (Surat Keputusan) nonaktifkan Kapolres Nunukan," ujar Kabid Humas Polda Kaltara, Kombes Budi lewat pesan singkatnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/10).

Lalu juga muncul kasus yang viral di media sosial Twitter dari seorang remaja tidak terima telepon genggamnya diperiksa Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Rustamaji pada Sabtu (16/10). Remaja itu tidak terima jika ponsel miliknya diperiksa, lantaran mengandung rahasia pribadi.

Saat ini Aipda Monang Parlindungan Ambarita datang dan menjelaskan penggeledahan ponsel adalah wewenang kepolisian dalam pemeriksaan identitas. "Tugas polisi memeriksa identitas, tidak dibuat di situ memeriksa KTP, tapi identitas. Tahu kau definisi identitas. Nah, pengenalan identitasnya ini (HP). Harus tahu kami siapa kau, kalau ada rencana pembunuhan di situ (HP), memang saya kenal dengan kau," kata Ambarita.

Akibat insiden Ambarita lalu dipindah menjadi bintara bidang humas Polda Metro Jaya. Dia sebelumnya bertugas sebagai bintara unit (banit) 51 Unit Pengendalian Masyarakat (Dalmas) Satuan Sabhara Polres Metro Jakarta Timur.

Kemarin, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengutarakan harapannya agar ke depan seluruh anggota polisi dapat dicintai oleh masyarakat Indonesia. "Ke depan saya inginkan polisi dicintai karena Polri melindungi dan mengayomi masyarakat, karena Polri hadir di tengah-tengah masyarakat. Itu yang ingin kami ciptakan," kata Sigit.

Ia mengingatkan seluruh jajarannya akan tantangan tugas di tengah era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi dewasa ini. Menurut dia, perubahan zaman dengan kemajuan perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi tentunya akan berdampak pada marwah Polri di mata masyarakat.

"Oleh karena itu perlu beradaptasi," kata Sigit, dikutip dalam keterangan tertulis Divisi Humas Polri. Sebagai generasi penerus di institusi Polri era ini, lanjut Sigit, seluruh jajaran harus mengukir sejarahnya sendiri.

Tentunya, catatan sejarah tersebut harus bersifat prestasi, bekerja secara profesional serta bertugas sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Mantan Kabareskrim itu meminta kepada seluruh jajaran Polri untuk bersikap bijaksana dan profesional di era keterbukaan informasi ini, mengingat setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang polisi akan berdampak pada citra institusi Polri. Sigit pun menekankan semangat perubahan sebagaimana konsep Presisi harus terus diimplementasikan setiap saat.

 
Berita Terpopuler