Syekh Ihsan Dahlan Al-Jampesi Dai yang Produktif (I)

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya.

gahetna.nl
Ulama tempo dulu mengajar para santrinya.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi, itulah nama lengkapnya. Di tengah masyarakat, dirinya dikenal sebagai pribadi yang berilmu dan tawaduk. Ulama yang lama berkiprah di Kediri, Jawa Timur, itu lahir pada tahun 1901 M.

Baca Juga

Ayahnya, KH Dahlan bin Saleh, merupakan seorang mubaligh. Ibundanya bernama Istianah. Kedua orang tuanya itu mendirikan sebuah pondok pesantren di Dusun Jempes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri.

Hulu silsilah Syekh Ihsan Dahlan dapat dilacak hingga kaum alim asal Jawa Barat. Kakeknya merupakan seorang ulama kenamaan dari Bogor. Hingga akhir hayatnya, sosok yang bernama Kiai Saleh itu menuntut ilmu hingga menyebarluaskan syiar Islam di Jawa Timur.

Syekh Ihsan pun masih keturunan bangsawan. Beberapa generasi di atasnya, terdapat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Salah satu wali songo itu pernah memimpin kaum Muslimin khususnya di Cirebon, Jawa Barat.

Dari garis ibunya, Syekh Ihsan mendapatkan darah biru Jawa Tengah. Istianah merupakan putri seorang kiai Mesir, yang akhirnya menjadi penyebar agama Islam di Pacitan, Jawa Timur. Silsilahnya, bagaimanapun, tersambung hingga Panembahan Senapati, sang bapak wangsa Mataram.

 

 

Dengan latar belakang demikian, tidak mengherankan bila dirinya tumbuh sebagai pribadi yang saleh. Ihsan Dahlan kecil mendapat kan pendidikan agama Islam dari kedua orang tuanya. Mereka mengajarkannya untuk menyukai pustaka.

Alhasil, sejak muda anak lelaki ini terkenal suka membaca. Motonya, Tiada hari tanpa membaca. Buku-buku yang dikajinya memuat beraneka ragam topik. Mulai dari ilmu-ilmu agama hingga umum. Ada yang berbahasa Indonesia. Tidak sedikit pula yang menggunakan bahasa Arab.

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Waktu senggangnya kerap dimanfaatkan untuk mengulang bacaan dan membuat beragam catatan. Dari buah pikirnya, lahirlah naskah-naskah yang berbobot. Ia sangat senang mengkaji ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan sejarah pesantren serta syiar Islam di Jawa. 

Dalam usia yang terbilang muda 29 tahun ia telah menghasilkan karya. Pada tahun 1930, Ihsan menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu falak atau astronomi. Judulnya ialah Tashrih al- Ibarat. Isinya mengomentari secara kritis dan menjelaskan kitab Natijat al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang.

Kira-kira dua tahun kemudian, ulama muda ini kembali menerbitkan buku. Kitab bertopik ilmu tasawuf itu diberi judul Siraj ath-Thalibin. Di kemudian hari, karya tersebut tidak hanya mengharumkan namanya atau Pondok Pesantren Jampes, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Sebab, Siraj ath-Thalibin menjadi rujukan banyak lembaga pendidikan Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai contoh, Universitas al-Azhar yang memakai kitab itu untuk dikaji para mahasiswa dan dosen.

Pada tahun 1944, penyuka ilmu perdalangan itu mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij al-Amdad. Isinya mengulas kitab Irsyad al-Ibad ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin al-Malibari (982 H), seorang ulama asal Pantai Malabar, India. Buku itu cukup tebal, yakni mencapai 1.036 halaman. Itu pun baru berupa naskahnya yang belum diluncurkan.

Selain Siraj ath-Thalibin dan Manahij al- Amdad, masih banyak lagi karya-karya sang pengasuh Ponpes Jampes. Di antaranya adalah kitab Irsyad al-Ikhwan fii Syurbati al-Qahwati wa ad- Dukhan. Risalah itu secara khusus membi carakan perihal meminum kopi dan merokok dari segi syariat Islam. Buku yang berarti 'kitab yang membahas kopi dan rokok' itu tampaknya ditulis karena pengalaman hidupnya sendiri tatkala masih berusia remaja muda.

 

 

Beberapa sumber menyebut, ulama yang produktif berkarya itu cukup bandel saat masih belia. Orang-orang pun memanggilnya 'Bakri'. Kegemarannya waktu itu ialah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok.

Hobinya itu cukup mengkhawatirkan pihak keluarga. Takutnya, pemuda itu tergoda lebih jauh, semisal ikut bermain judi bersama muda-muda yang sudah nakal. Dan, yang dicemaskan kemudian sempat terjadi.

Ia kedapatan berjudi bersama beberapa remaja. Karena merasa piawai, anak muda ini cukup sukar dibetulkan walaupun sudah dinasihati berkali-kali. Kebiasaan buruk itu tak juga ditinggalkannya.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda. Sang almarhum juga masih ada hubungan kerabat dengan bapaknya. Di depan makam tersebut, ayahnya berdoa, memohon kepada Allah agar putranya itu diberikan hidayah dan insaf.

Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat di tengah umat dan masyarakat. 

Selepas berziarah itu, suatu malam Ihsan muda bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya. Sosok ini membawa sebuah batu besar. Dan, siap-siap benda keras itu hendak dilemparkan ke arah kepalanya.

''Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu," kata kakek tersebut.

 

 

Ia bertanya dalam hati, ''Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,'' timpal Ihsan muda. Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Pada saat itulah, dirinya langsung terjaga sembari bibirnya mengucapkan istighfar. ''Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.''

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler