Tantangan Migran Muslim di Meksiko

Ada banyak migran Muslim yang mengungsi di Meksiko.

Stringer/Reuters
Migran Muslim (ilustrasi)
Rep: Rossi Handayani Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  REYNOSA -- Di antara ribuan orang Amerika Tengah dan sekarang Haiti di Reynosa, Meksiko, sekarang ada migran dari tempat yang lebih jauh. Beberapa migran dari Guinea juga berkemah di alun-alun Plaza de la Republica, Meksiko.  

Baca Juga

Salah satu migran Afrika tersebut adalah Ibrahima Kal Diallo. Dia datang untuk menghindari persekusi politik, dan berusaha menyelamatkan keluarganya di rumah.

"Saya ingin menyelamatkan keluarga saya karena keluarga saya menderita. Ini (karena) rasisme. Ada banyak rasisme di sana yang terpaksa saya tinggalkan.  Kalau tidak, hidup saya akan dalam bahaya," kata Diallo, berbicara dalam bahasa Prancis, dilansir dari laman Sepctrum Local News pada Rabu (6/10).

Akan tetapi ada hal lain yang membuat dia, dan orang Afrika lainnya berbeda di kota perbatasan Meksiko.  Mereka adalah Muslim. Diallo mengatakan, menjadi seorang Muslim, rumit ketika berada di negara seperti Meksiko, dan dalam situasi mereka sebagai migran yang berpindah-pindah. Bahkan di tengah semua kekacauan, tidak ada alasan bagi seorang Muslim, mereka harus shalat ke arah Makkah lima kali sehari.

"Agar saya bisa menunaikan kewajiban sholat saya harus datang ke sini (merujuk ke tendanya). Hal ini menyebabkan banyak masalah bagi saya karena tidak ada tempat bagi kami untuk shalat. Di alun-alun selalu ada orang yang lewat, apa pun yang terjadi," kata dia.

 

 

Dia sholat lima kali saat waktunya tiba. Namun ketika dia sedang shalat, di luar tendanya sebuah misa sedang dirayakan. Tidak terlalu jauh, seorang pengkhotbah injili menegur para pendatang. Memanggil pendatang untuk bertobat dan menerima Yesus sebagai penyelamat, dan membuat mereka membacakan Alkitab dengan lantang.  

Terlepas dari semua kebisingan, Diallo sholat tanpa takut akan penganiayaan. Dia mengatakan, di antara para migran ada toleransi dan solidaritas yang nyata.

"Kami semua pendatang di sini. Kami memiliki tujuan yang sama. Meskipun saya seorang Muslim dan mereka menjadi Kristen, kami saling memahami. Kami makan bersama, menyantap bersama, kami melakukan segala sesuatu bersama-sama," katanya.

Kendati demikian, ada kesulitan lain yang tidak dia duga sebelumnya. Ada pembatasan dalam diet Islam, dan faktanya bahwa tidak ada yang halal di alun-alun.

"Kami tidak bisa makan babi, ini dilarang. Meskipun orang yang membawakan kami makanan tidak membawa daging babi setiap hari, saya tidak terlalu mempercayainya. Itu ada! Itu adalah masalah yang sangat besar. Kadang-kadang saya dipaksa untuk pergi sepanjang hari tanpa makan apa pun," katanya.

 

 

Sementara migran lain dari Guinea Ekuatorial, Alpha Bah tiba bersama Diallo. Guinea merupakan satu-satunya negara berbahasa Spanyol di Afrika, tetapi Bah adalah bagian dari minoritas, kurang dari tiga persen dari populasi yang berbicara bahasa Prancis.

Terdapat kesedihan di matanya, dan dia selalu memikirkan keluarganya. Mereka tertinggal di sebuah negara dalam kekacauan politik dan kekerasan rasial setelah kudeta baru-baru ini.

"Saya sangat cemas. Saya sudah lama tidak mendengar kabar dari mereka," katanya.

Diallo dan Bah sama-sama mengetahui tahu ada banyak Muslim di Amerika Serikat (AS), serta politisi Muslim di posisi penting di pemerintahan. Mereka memiliki pesan langsung untuk politikus AS, Ilhan Omar dan Rashida Tlaib.

"Mereka bisa membantu kita. Mereka bisa melakukan banyak hal untuk kita. Mereka bisa datang ke sini dan melihat bagaimana migran Muslim hidup. Kami membutuhkan bantuan agar aman di AS. Mereka dapat berkontribusi," kata Diallo.

 

 

Menurut mereka, lebih banyak lagi Muslim dari Guinea dan Guinea Khatulistiwa yang mengikuti mereka.  Mereka juga sadar pada Islamfobia dan ketakutan akan terorisme.

"Kami tidak melakukan kekerasan. Bagi kami, Islam adalah pesan perdamaian. Kami ingin bekerja di Amerika Serikat dan berkontribusi kepada masyarakat jika mereka membantu kami," kata Diallo.

 

 
Berita Terpopuler