Kiai Miftah, Ulama Tawadhu dari Tegal (I)

Pada zaman revolusi, Kiai Miftah terkenal dengan julukan komandan santri.

Antara/Prasetia Fauzani
Pekerja melintas di depan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di lingkungan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (15/2/2020).
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Di Jawa Tengah, banyak ulama yang mengobarkan semangat para santri untuk turut berjihad fii sabilillah mengusir penjajah. Salah seorang di antaranya adalah KH Miftah. Mubaligh yang alim dan rendah hati ini berasal dari Tegal.

Pada zaman revolusi, dirinya terkenal dengan julukan komandan santri. Para pengikutnya datang dari Pondok Pesantren Lirboyo. Ia memimpin perjuangan kaum sarungan ini di Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.

Dalam palagan tersebut, keberanian kaum Muslimin memang teruji nyata. Pekik takbir mengiringi semangat mereka dalam mempertahankan kedaulatan RI. Hingga kini, momen tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Abdul Fatah dalam bukunya yang berjudul Kiai Miftah Tegal (2012) menuturkan kesaksian Kiai Abdul Muhyi, yakni seorang keponakan KH Miftah. Menurut Kiai Muhyi, jalannya Perang Surabaya diikuti umat Islam dari banyak pesantren di Jawa.

Mereka berdatangan dari pelbagai pondok, termasuk Lirboyo. Sementara, persenjataan yang berhasil direbut para pejuang dari tangan Jepang masih sedikit dan terbatas. Mereka yang tidak memiliki senjata api tetap berani berjibaku melawan musuh. Bahkan, lanjutnya, ada yang hanya membawa golok, bambu atau batang ketela runcing sebagai alat bertempur.

 

 

Dan, salah seorang ulama yang turut memotori perjuangan tersebut adalah Kiai Miftah. Nama lengkapnya adalah Muhammad Miftah. Ia merupakan salah seorang mubaligh karismatik yang berasal Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Tokoh ini lahir pada 6 Juni 1920 dari pasangan KH Mahmud dan Nyai Naimah.

Ia merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Saudara-saudarinya adalah Nyai Mazinah, KH Mawardi, H Malawi, Nyai Mariah, Hajjah Solihah, Nyi Maemunah, dan Abdul Makin. Miftah dan kakak-kakaknya pun masih memiliki darah biru.

Jika dirunut, silsilah ayahnya akan sampai pada Sultan Agung, penguasa Kerajaan Mataram Islam yang memerintah pada 1613-1645.

Saat Miftah masih berusia tiga tahun, ayahnya meninggal dunia. Tiga tahun kemudian, ibunya juga menyusul dipanggil oleh Allah SWT. Ia pun mengalami kesedihan yang mendalam. Perjalanan hidupnya untuk menjadi ulama besar dilaluinya dengan cobaan dan ujian.

Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Miftah ikut bersama kakaknya, KH Mawardi di Pekalongan. Kakak beradik ini menghuni rumah di Jalan Kergon kenayagan Gang III No 15. Semangat sang anak yatim ini pun kembali bangkit untuk mewujudkan cita-cita ibunda tercinta.

Almarhumah sangat berkeinginan untuk melihat anakanaknya, termasuk Miftah, untuk menjadi generasi yang saleh serta bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.

 

 

Selain belajar kepada KH Mawardi, Miftah juga membantu pekerjaan sang kakak sehari-hari. Kiai Mawardi adalah seorang pengasuh pondok pesantren yang menjadi tempat sekitar 100 orang santri menuntut ilmu. Salah seorang gurunya adalah Syekh Kholil Bangkalan, Madura.

Di pondok pesantren kakaknya itu, Miftah muda memperdalam ilmu Alquran dan gramatika bahasa Arab. Proses belajar itu dijalaninya kurang lebih selama dua tahun.

Setelah kegiatan mengaji pagi, Miftah biasanya ikut membantu berjualan es balok di kios milik Kiai Mawardi. Ia pun sering bekerja di kebun milik sang kakak untuk bercocok tanam atau sekadar membersihkan rumputrumput liar. 

Putra KH Mawardi, Kiai Abdul Muhyi, mengatakan, sejak di Pekalongan Miftah saat itu juga sudah mulai menghafal sejumlah kitab. Sebut saja, Jurumiah, Imriti, dan Alfiah Ibnu Malik. Karena itu, tak heran jika pada usia 11 tahun Miftah sudah ber hasil mengingat isi Alfiah, sebuah kitab syair tentang tata bahasa Arab yang ditulis pada abad ke-13.

 

 

Setelah dua tahun belajar di Pekalongan, pemuda ini kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat.

Dari sana, Miftah meneruskan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Watu Congol, Magelang, yang diasuh oleh Mbah Dalhar. Setelah itu, barulah ia memantapkan hatinya untuk belajar ke Pondok Pesantren Hidayatul Mutadiin Lirboyo, Kediri. 

Pada waktu itu, pengasuh Pesantren Lirboyo adalah KH Abdul Karim atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Manab. Miftah belajar di pesantren tersebut kurang lebih 21 tahun lamanya. Ia dikenal sebagai seorang santri yang cerdas, tetapi selalu tawaduk.

Pantang baginya untuk bersikap sombong atau merasa lebih alim daripada yang lain. Selama menjadi santri, dirinya selalu menaati perintah kiainya. Karena itu, ia pun menjadi santri kesayangan Mbah Manab dan panutan seluruh santri Tegal di Lirboyo. 

 

Layaknya santri yang sudah lama di pesantren, Kiai Miftah menjadi tempat mengaji para santri junior yang ingin menambah ilmu di Lirboyo. Ia mengajar mereka di kamarnya sendiri, alih-alih di masjid. Semua itu karena dirinya ingin selalu rendah hati di lingkungan pesantren.

Saat di Lirboyo, Kiai Miftah muda memang mendapat kepercayaan dari gurunya. Ia pun diberikan izin khusus oleh pengasuh untuk mengajar di pesantren. Padahal, persyaratan seorang santri untuk bisa mengajar saat itu sangatlah berat.

 
Berita Terpopuler