Staf di Kongo Lakukan Pemerkosaan, WHO Minta Maaf ke Korban

Lebih dari 50 perempuan menuduh pekerja bantuan dari WHO melakukan pemerkosaan

Ist
Logo WHO
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Lebih dari 80 pekerja bantuan termasuk beberapa staf yang dipekerjakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terlibat dalam kasus pelecehan dan eksploitasi seksual selama krisis Ebola di Republik Demokratik Kongo. Hal itu diungkapkan oleh komisi independen pada Selasa (28/9).

Baca Juga

Penyelidikan itu dilakukan pada tahun lalu  oleh Thomson Reuters Foundation dan The New Humanitarian. Dalam penyelidikan tersebut, lebih dari 50 perempuan menuduh pekerja bantuan dari WHO dan badan amal lainnya melakukan pelecehan seksual antara 2018 hingga 2020. 

Dalam laporan tersebut, komisi menemukan setidaknya 21 dari 83 tersangka pelaku dipekerjakan oleh WHO. Mereka menghadapi sembilan tuduhan pemerkosaan, yang dilakukan oleh staf nasional dan internasional. Para korban dijanjikan mendapatkan imbalan pekerjaan, jika mereka mau berhubungan seksual.

"Tim peninjau telah menetapkan bahwa, para korban diduga dijanjikan pekerjaan sebagai imbalan atas hubungan seksual atau untuk mempertahankan pekerjaan mereka," kata anggota komisi Malick Coulibaly.

Sebagian besar pelaku menolak untuk menggunakan kondom. Sementara 29 korban dinyatakan hamil dan beberapa korban dipaksa untuk menggugurkan kandungannya oleh pelaku. 

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus tidak menoleransi pelecehan seksual. Dia meminta maaf kepada para korban.

“Apa yang terjadi pada kalian seharusnya tidak pernah terjadi pada siapa pun. Ini tidak bisa dimaafkan. Ini adalah prioritas utama saya untuk memastikan bahwa para pelaku tidak dimaafkan tetapi dimintai pertanggungjawaban," kata Tedros.

Tedros menjanjikan reformasi besar-besaran dari struktur dan budaya kerja WHO. Sementara, Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga meminta maaf dan berterima kasih kepada para korban atas keberanian mereka untuk bersaksi.

Para pelaku telah dikeluarkan dari WHO dan kontrak mereka telah dihentikan. Tedros mengatakan, dia berencana untuk merujuk tuduhan pemerkosaan ke Kongo dan ke negara asal pelaku. Namun, beberapa pelaku masih belum teridentifikasi.

Perwakilan para korban di Beni yang pernah menjadi pusat wabah Ebola di Kongo timur, menyambut baik tanggapan WHO. Mereka mendesak WHO dan pihak berwenang untuk berbuat lebih banyak.

“Kami mendorong WHO untuk melanjutkan dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa personelnya melecehkan perempuan dan anak perempuan mereka di komunitas kami, mereka harus dihukum berat,” kata Esperence Kazi, koordinator kelompok hak-hak perempuan 'One Girl One Leader' di Beni.

 

Dalam laporan tersebut, seorang gadis 14 tahun bernama "Jolianne", mengatakan kepada komisi bahwa, dia menjual kartu isi ulang telepon di pinggir jalan pada April 2019 di Mangina. Seorang pengemudi WHO menawarinya tumpangan untuk pulang. Namun staf WHO tersebut justru membawanya ke sebuah hotel, dan memperkosanya. Jolianne kemudian hamil dan telah melahirkan.

Beberapa perempuan yang sudah bekerja mengatakan kepada tim peninjau bahwa, mereka kerap menerima pelecehan seksual oleh pengawas mereka. Para pelaku memaksa para korban berhubungan seksual untuk mempertahankan pekerjaan mereka, mendapatkan bayaran atau mendapatkan jabatan yang lebih baik.

Beberapa mengatakan, mereka telah diberhentikan karena menolak berhubungan seksual. Sementara yang lain tidak mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan, bahkan setelah menyetuju untuk berhubungan seksual.

Ketua investigasi Aichatou Mindaoudou mengatakan, ada kesamaan antara para korban yang bersaksi dalam laporan media tahun lalu dan mereka yang diwawancarai dalam laporan penyelidikan. Dia mengakui bahwa ini dapat menunjukkan masalah yang lebih besar.

"Beberapa orang di tingkat tinggi WHO sadar dengan apa yang sedang terjadi dan tidak bertindak," ujar Mindaoudou.

Kongo dan lembaga bantuan lainnya akan melakukan penyelidikan atas kasus pelecehan seksual tersebut. Sementara, menteri hak asasi manusia Kongo tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Pada Juni tahun lalu, pemerintah Kongo mengumumkan berakhirnya wabah Ebola yang telah berlangsung selama dua tahun, dan menewaskan lebih dari 2.200 orang. Ini merupakan wabah terbesar kedua sejak virus itu diidentifikasi pada 1976. 

 
Berita Terpopuler