Profesor Asal Yakima Ungkap Dampak 9/11 Terhadap Umat Islam

Usai Sejak 9/11, Muslim Amerika hadapi permusuhan dan kecurigaan.

About Islam
Komunitas Muslim di Rockford, Illinois, Amerika Serikat menggelar program open house bagi masyarakat umum
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,   YAKIMA -- Salam Awad merupakan salah satu Muslim yang hidup saat teror 9/11 terjadi. Ia dan keluarganya tinggal di Yakima, negara bagian Washington.

Baca Juga

Sebagai asisten profesor ilmu politik di Central Washington University selama tiga tahun terakhir, bidang keahlian dan minat pengajaran Awad meliputi hukum internasional, hak asasi manusia, serta gerakan sosial, dengan fokus pada Timur Tengah.

Dia dan keluarganya yang merupakan keturunan Palestina merasakan beragam masalah 20 tahun yang lalu, akibat dari serangan teroris 11 September 2001. Teror tersebut menyebabkan banyak Muslim Amerika menghadapi permusuhan dan kecurigaan.

"Orang tua saya berimigrasi ke AS pada 1970-an, dan mereka tinggal di Yakima sejak 1990-an. Mereka mencintai komunitas ini dan Yakima secara keseluruhan. Banyak anggota komunitas yang hebat dan selalu mendukung mereka, berdiri dalam barisan solidaritas, bahkan setelah serangan 11 September,” kata Salma Awad dikutip di Yakima Herald, Ahad (19/9).

Pada saat 9/11 terjadi, ia berumur 10 tahun dan sedang menonton berita dengan keluarga. Setelah melihat informasi yang beredar, ia merasakan ketakutan. Bagi sebagian besar Muslim, mereka menghadapi ketakutan ganda yaitu ketakutan akan masa depan bangsa dan apakah masih ada teror lain ke depannya. Ia juga mengkhawatirkan keselamatan komunitas Muslim, terlebih setelah semua orang mulai menekankan identitas atau agama para pelaku.

 

 

Wanita yang menjadi anggota Islamic Center of Yakima ini ingat, setelah kejadian itu ia pergi ke sekolah dan banyak siswa menanyakan hal-hal aneh. Mulai dari apakah ia secara pribadi mengenal para pembajak atau memiliki hubungan dengan Osama bin Laden.

"Ini sangat menyakitkan dan membuat saya frustrasi sebagai seorang anak. Saya pikir bagi sebagian besar dari kita, 9/11 mendefinisikan periode isolasi dan ketakutan. Sebagai Muslim Amerika, identitas dan keyakinan kami dipandang sebagai ancaman di AS," lanjutnya.

Di sebagian besar hidupnya, ia harus terus berusaha bertahan dan menjelaskan kepada orang-orang bahwa ia bukanlah seorang lawan. Kejadian paska 9/11 membawa trauma dan keterasingannya sendiri.

Setelah 9/11, kejahatan dan kebencian terhadap Muslim meroket, terutama bagi wanita berhijab. Ia ingat sang nenek menelepon dari Palestina dan meminta ibunya mempertimbangkan untuk melepas jilbabnya. Ibu Awad jelas menolak. Tetapi ia tahu di luar sana, banyak wanita lain yang melepaskan jilbabnya karena merasa takut.

Di komunitasnya, ada beberapa insiden wanita tua yang berhijab dilecehkan. Serangan-serangan ini meningkat ke tingkat yang lebih besar setelah Donald Trump menjabat.

 

 

"Kami merasakannya di sini, di Yakima, antara 2016-2018. Secara statistik ini adalah tahun-tahun di mana kejahatan rasial terhadap Muslim melonjak sekali lagi. Beberapa laporan menunjukkan aksi ini melampaui tingkat yang dilaporkan setelah 9/11," ujar dia.

Awad pun menyebut tidak berpikir bias terhadap Muslim telah mengalami perbaikan. Ada begitu banyak faktor, termasuk perang melawan teror dan bagaimana 20 tahun terakhir memiliki konsekuensi yang menghancurkan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Negara-negara Eropa, seperti Republik Ceko dan Hongaria, memiliki beberapa kebijakan paling bermusuhan terhadap pencari suaka Muslim. Partai-partai nasionalis ekstremis telah bangkit di seluruh Eropa dengan platform Islamofobia yang jelas, dimana hal itu menakutkan. Tindakan teroris di Christchurch, Selandia Baru, menunjukkan kebencian dan kefanatikan ini.

Media juga disebut memainkan peran besar dalam hal ini. Sebuah studi baru-baru ini oleh University of Alabama menemukan, tindakan teroris yang dilakukan oleh Muslim dibandingkan dengan kelompok lain mendapat liputan media 357 persen lebih banyak, daripada tindakan teroris yang dilakukan oleh kelompok lain.

"Muslim Amerika, bagaimanapun, telah mengambil sikap yang lebih tegas dan berjuang melawan stereotip dan bias yang kita terima sebagai Muslim," katanya.

Ia pun merasa cara terbaik untuk memahami Islam adalah dengan mendengarkan suara Muslim dan menghilangkan semua asumsi maupun ketakutan, yang telah ditanamkan ke dalam masyarakat dan budaya melalui media dan politik. 

 

Awad menyadari jalan yang harus diperjuangkan masih panjang, tetapi saat ini sudah ada langkah besar yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir, yang sangat penting. Salah satu kenangan favoritnya adalah buka puasa lintas agama pertama yang dilakukan pada 2018 di Islamic Center of Yakima. Lebih dari 100 anggota komunitas Yakima memakan roti bersama komunitas Muslim saat Ramadhan.  

 
Berita Terpopuler