KH Abdullah Syathori Ulama Besar dari Arjawinangun (II)

Tebuireng menjadi tempat KH Abdullah Syathori melabuhkan diri.

garambang.info
Salah satu sudut Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Tebuireng menjadi tempat KH Abdullah Syathori melabuhkan diri. Remaja ini memutuskan untuk menjadi santri Pondok Pesantren Tebuireng, yang diasuh Mbah Hasyim Asy'ari. Di sanalah, anak pendiri Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon itu memiliki kesempatan untuk belajar langsung kepada sang perintis NU.

Baca Juga

Sejak nyantri di Tebuireng, wawasannya kian bertambah luas. Ada banyak kitab yang sebelumnya hanya dikenal judul-judulnya saja oleh Syathori, tetapi kini dengan mudah diperolehnya. Sebut saja, kitab Tafsir Baidlawiyang biasanya dikaji para pembelajar di Makkah, bisa di baca dengan leluasa di Tebuireng. 

Dengan tekun mempelajarinya, Syathori pun memiliki sanad yang langsung sampai kepada penulis buku tersebut. Malahan, Mbah Hasyim sendiri yang mengijazahi dirinya terkait kitab tersebut dan Al-Kifayah al-Mustafid, sebuah karya KH Mahfudz Termas.

Selain mengaji dan melakukan muthala'ah, kesibukannya di Tebuireng pun bertambah.Sebab, sang hadratussyekh menganggapnya sudah mampu untuk menjadi asisten ustaz.

 

 

Dalam beberapa kesempatan, Syathori diminta untuk mengajar para santri lainnya, umpamanya, tentang kitab Alfiyah karya Ibnu Malik. Di antara murid-muridnya kala itu ialah Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi menteri agama RI pada zaman Orde Lama. Bahkan, KH Abdul Wahid Hasyim--putra sang pengasuh Tebuireng--pun pernah menimba ilmu darinya.

Mbah Hasyim diketahui sangat menyenangi cara Syathori mengajar. Karena itu, kakek presiden ke empat RI itu memberikan kepercayaan kepadanya untuk terus melakoni peran sebagai ustaz. Pernah ulama besar ini berkata di hadapan para murid, Anak-anak Cirebon, Indramayu dan lain-lainnya, kalau tidak bisa belajar sama saya, cukup belajar dengan Syathori.

Sebenarnya, Tebuireng bukanlah menjadi tambatan hatinya yang terakhir. Dalam arti, Syathori ingin meneruskan rihlah intelektualnya ke pesantren lain, terutama yang diasuh KH Kholil Bangkalan. Kiai berjulukan Syaikhona itu merupakan guru bagi banyak ulama besar di Tanah Jawa, termasuk Mbah Hasyim sendiri.

Sayang sekali, sosok yang diyakini sebagai waliyullah itu terlebih dahulu wafat pada 1925. Maka, Syathori pun mengurungkan niatnya beranjak ke pesantren selain Tebuireng.

Setelah melihat kecerdasan Syathori, Mbah Hasyim Asy'ari kemudian bermaksud menikahkan santri yang sangat dikasihinya tersebut dengan seorang putrinya. Namun, pemuda ini merasa tidak layak mendapatkan penghormatan sedemikian tinggi itu. Berbagai alasan pun coba ditunjukkannya. Bahkan, pernah suatu ketika dirinya sengaja bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim.

 

 

Pada saat yang sama, Syathori mendengar kabar dari desanya. Ternyata, kedua orang tuanya sudah menjodohkannya dengan seorang gadis yang bernama Masturoh, putri Kiai Adzro'i bin Muhammad Nawawi. Pernikahan antara Syathori dan perempuan tersebut berlangsung pada 1927.Mbah Hasyim turut hadir dalam acara akad nikah santri kinasihnya tersebut.

Setelah melaksanakan akad nikah, Kiai Syathori kemudian berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah pulang Tanah Air, pesta pernikahannya diselenggarakan pada 1928. Selanjutnya, untuk beberapa lama Kiai Syathori menetap di Kali Tengah, Plered, Cirebon.

Di sana, dirinya juga belajar ilmu hikmah kepada Kiai Rofi'i. Ulama-sufi itu juga merupakan ayah tiri dari istrinya. Selain itu, Kiai Syathori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarakat umum. Salah satu kitab yang ditelaahnya ialah Shahih Bukhari. 

Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah, Kiai Syathori kemudian pindah ke Arjawinangun.Di sanalah dirinya membangun Pondok Pesantren Dar al-Tauhid pada 1930. Setelah memiliki pesantren sendiri, ia lebih banyak mende di kasikan waktunya untuk mengajar dan mengembangkan lembaga pendidikan tersebut.

Sebagai ulama, Kiai Syathori dikenal sebagai sosok yang karismatik. Ia tidak hanya bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik dengan telibat aktif di organisasi NU antara tahun 1950an hingga 1970-an. Ia tercatat pernah menjadi syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

 

 

Ide-ide dan langkah Kiai Syatori cukup progresif dalam dunia pendidikan. Misalnya, saat para ulama Cirebon mengharamkan menulis Alquran dengan kapur tulis karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus, Kiai Syathori justru membolehkan dan melakukannya.

Tidak hanya itu, ia juga mendukung emansipasi kaum perempuan Muslimah. Hal ini dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian keagamaan secara khusus bagi wanita. Kiai Syathori juga dikenal sangat tekun dan teliti dalam mengembangkan majelis taklim dan madrasahnya. Jika memiliki jadwal mengajar, sang alim tidak pernah meninggalkan kelas sebelum para siswanya memahami dengan baik apa yang disampaikannya.

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler