Syekh Abdurrahman Al-Khalidi, Cahaya dari Batuhampar (II)

Masa yang ditempuh Syekh Abdurrahman dalam mengadakan rihlah keilmuan ialah 48 tahun.

Blogspot.com
Surau tua (ilustrasi).
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Bila ditotal, masa yang ditempuh Syekh Abdurrahman dalam mengadakan rihlah keilmuan ialah 48 tahun. Setelah nyaris setengah abad menghabiskan usia dalam tholabul `ilmi, ia akhirnya pulang ke kampung halaman. Saat itu, usianya sudah mencapai 63 tahun.

Baca Juga

Satu hal yang merisaukannya, Batuhampar kala itu masih jauh dari akhlak Islam. Banyak penduduk setempat yang sering berbuat maksiat secara terang- terangan. Para pria gemar berjudi dan meminum minuman keras. Hampir setiap pekan, mereka menggelar sabung ayam sebagai ajang taruhan.

Sebagai seorang alim, hatinya tergerak untuk membina umat. Ingin rasanya melihat masjid kembali ramai dan makmur. Dalam berdakwah, Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan secara bertahap. Sikap ramah dan pemurah menjadi langkah awal baginya untuk mendekati masyarakat.

Berbagai lapisan sosial dirangkulnya, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Dirinya tidak membeda-bedakan perlakuan antara, umpamanya, para penjudi dan petinggi adat. Mereka diajaknya untuk meramaikan masjid.

Syekh Abdurrahman menjalankan misi dakwah nya dengan lembut. Ia tak pernah keras dalam menanamkan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, syiar Islam disampaikannya dengan sopan santun.Alhasil, orang-orang yang diajaknya untuk berbuat baik tak merasa sedang digurui.

 

 

Dalam tulisannya yang berjudul Dakwah Kelembutan Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar, Apria Putra menuturkan sebuah kisah. Pernah suatu ketika, ada segerombolan pemuda datang kepada Syekh Abdurrahman. Mereka membawa beberapa ayam aduan. Tujuannya untuk meminta doa agar ayam-ayam itu nantinya menang di gelanggang.

Bukannya marah, Syekh Abdurrahman justru hanya tersenyum. Dengan ramah, ia menerima kedatangan mereka. Mulailah dipegang ayam-ayam itu. Lisannya tampak komat-kamit membacakan sesuatu. Namun, doa yang dirapalkan Syekh Abdurrahman seja tinya adalah munajat kepada Allah SWT agar para pemuda tersebut diberikan hidayah.

Setelah didoakan, ayam-ayam itu diserahkan kepada mereka. Keluar dari rumah sang syekh, bukan kepalang gembiranya orang- orang itu. Sesampainya di gelanggang, ayam yang telah didoakan itu pun diadu--dan menang.

Akhirnya, anak-anak muda ini semakin percaya dan hormat kepada Syekh Abdurrahman. Rasa respek itu menimbulkan kedekatan.  Dan, lambat laun perangai mereka pun berubah menjadi lebih baik. Kebiasaan sabung ayam ditinggalkannya sama sekali.

 

 

Membangun surau Untuk kepentingan syiar Islam, Syekh Abdurrahman mendirikan kompleks pendidikan tradisional Islam. Kalau di Jawa, lembaga demikian disebut sebagai pesantren. Namun, orang-orang Sumatra Barat menamakannya surau.

Pembangunan surau itu sangat didukung masyarakat Nagari Batuhampar. Mereka bergotong royong untuk mewujudkannya. Begitu selesai dibangun, institusi itu segera menarik minat banyak orang.

Alhasil, dari waktu ke waktu, jumlah murid Syekh Abdurrahman kian bertambah. Dari yang semula puluhan, kini sudah mencapai ratusan orang.Para santri itu berasal dari dalam maupun luar Minang. 

Rumah-rumah penduduk menjadi ramai karena diinapi santri Syekh Abdurrahman.Karena sudah tak muat di rumah penduduk, Syekh Abdurrahman akhirnya memperluas kompleks surau itu.

Akhirnya, kawasan ini menyerupai sebuah desa baru yang dinamakan Kampung Dagang (kampung para perantau; perantau penuntut ilmu).

 

Kampung Dagang itu terdiri atas masjid utama (surau gadang). Fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat majelis ilmu yang diadakan sang syekh. Di depan surau gadang, terdapat kolam ikan.

Di dekatnya, berdirilah sebuah rumah gadang. Pada sekeliling surau dan rumah gadang itu, ada surau-surau kecil yang umumnya bertingkat dua. Jumlahnya mencapai 30 unit.

Surau-surau itu berfungsi sebagai pondok tempat tinggal para penuntut ilmu. Mereka disebut sebagai orang siak--sepadan dengan sebutan santri. Kaum siak itu belajar siang-malam kepada sang syekh. Pihak surau tidak memungut biaya alias gratis.

Menurut Mansur Malik, jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai 2.000 orang. Tren peningkatan terjadi pada masa sesudah sang mubaligh. Seorang putranya yang bernama Syekh Arsyad meneruskan kepemimpinan atas lembaga itu.

 

Dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Prof Azyumardi Azra menjelaskan, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman me rupakan surau besar.

Secara garis besar, metode pengajaran yang diterapkan di sana tak ubahnya kebanyakan pesantren di Jawa.Guru besar UIN Syarif Hidayatullah ini mene rangkan, Surau Batuhampar telah me wariskan kekayaaan historis yang luar biasa.Legasi sang syekh dinilai berhasil mencetak generasi alim ulama di Minangkabau. 

Azra menyimpulkan, surau yang dibangun Syekh Abdurrahman di Batuhampar itu dapat dikatakan sebagai model atau representasi sistem `pesantren' alaMinangkabau.Memang, diakuinya, banyak surau lain di Sumatra Barat pada periode yang sama dengan Surau Batuhampar. Namun, menurut dia, dari segi kelengkapan sarana dan fasilitas, surau yang didirikan sang syekh itulah tetap nomor wahid. 

 

Selama hidupnya, Syekh Abdurrahman telah mendidik ribuan orang dengan sistem pendidikan surau yang digagasnya. Banyak muridnya yang kemudian mengikuti jejaknya menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah Syeikh Salim Batubara, Syekh Ibrahim Kubang, dan Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang). 

 
Berita Terpopuler