KH Muhammad Syanwani, Ulama-Pendidik Istiqamah (II)

Kiai Syanwani menamakan pesantrennya Ashhabul Maimanah.

Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pesantren
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  Setelah belasan tahun berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, akhirnya KH Muhammad Syanwani pulang ke Sampang pada 1962. Dia pun tampil menjadi kiai muda. Kiprahnya dimulai dengan mengasuh sejumlah santri. Setelah pelbagai persiapan, ia pun mendirikan sebuah pondok pe santren kira-kira setahun kemudian.

Baca Juga

Kiai Syanwani menamakan pesantrennya Ashhabul Maimanah. Dengan itu, harapannya adalah bahwa pesantren tersebut dapat mencetak orang-orang beriman yang termasuk ahli surga. Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf keluarga Syanwani, ditambah dengan donasi masyarakat sekitar.

Awalnya, santri pesantren ini hanya sekira 80 orang. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya bertambah banyak hingga mencapai ratusan. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, Kiai Syanwani juga membangun gedung madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (Mts), dan madrasah aliyah (MA).

Selain mengembangkan pesantren dan sibuk mengurus santri, ia juga aktif berjuang dan berdakwah di tengah masyarakat. Ia termasuk mubaligh yang tegas dan karismatik. Energinya seakan tidak pernah habis untuk mengajar dari satu pengajian ke pengajian lain.

 

Pada 1966 Syanwani sempat menempuh ujian persamaan mualimin di Kubang, Petir, Serang. Di sini, dirinya berdakwah melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Itu dilakukan atas dorongan alumni Pesantren Tebuireng yang menggiatkan NU di Banten.

Dalam lingkup jam'iyah tersebut, Kiai Syanwani menjadi wakil rais syuriah Kabupaten Serang. Ia juga dipercaya untuk memimpin lembaga Ittihadul Muballighin (Persatuan Mubaligh) daerah setempat.

Pada 1968, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Perjalanan sebulan lamanya ditempuh dengan menggunakan kapal laut dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, hingga Arab Saudi. 

Sepulang dari berhaji, Kiai Syanwani meneruskan pengembangan pesantrennya ke arah yang lebih maju. Selain itu, ia juga menggelar pengajian setiap Jumat pagi (jam'iyahan) untuk kalangan kiai dan ustaz muda.

Pada Jumat sore ia menyediakan waktu untuk mengisi pengajian yang diikuti oleh jamaah ibu-ibu. Semua itu sudah menjadi rutinitas baginya hingga ajal menjemput pada 1993.

 

 

Seiring dengan meningkatnya keinginan masyarakat akan pendidikan agama bagi putraputrinya, jamaah pengajian Jumatan tersebut kemudian menghadap Kiai Syanwani. Mereka memohon untuk mendirikan cabang-cabang Mad rasah Ashhabul Maimanah. Akhirnya, didirikanlah cabang madrasah tersebut beberapa daerah di wilayah Banten dan Jawa Barat.

Selain mendirikan madrasah, Kiai Syanwani juga mendirikan cabang Perguruan Tinggi Islam Banten (PTIB) Serang. Di kampus ini, Kiai Syanwani menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, sedangkan posisi rektor dijabat oleh sahabatnya yang mendirikan PTIB Serang, yaitu Prof KH Wahab Afif.

Kiai Syanwani menyelenggarakan perkuliahan di kampus tersebut pada 1987. Kontribusi Kiai Syanwani dengan menyelenggarakan perkualian tersebut merupakan cerminan dari jiwa pengabdian dan perjuangan seorang Kiai Syanwani untuk kemajuan Islam dan kemuliaan umat Islam. 

 

Sejak mengajar di kampus tersebut, ia mulai menderita penyakit darah tinggi. Bahkan, dirinya sempat dirawat di beberapa rumah sakit. Setelah sakit-sakitan, aktivitas dakwahnya pun mulai dikurangi. Hingga akhirnya, Kiai Syanwani berpulang ke rahmatullah pada 17 April 1993. Jenazahnya dikebumikan di tanah permakaman milik keluarga besarnya di Sampang.

 
Berita Terpopuler