Kiai Miftah, Ulama Tawadhu dari Tegal (II)

Baginya, hidup adalah perjuangan dan pengabdian.

SYAIFUL ARIF/ANTARA FOTO
Ilustrasi Pondok Pesantren
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Pengembaraannya yang cukup lama di pesantren Lirboyo membuahkan hasil. Kiai Miftah akhirnya menjadi seorang ulama yang mengamalkan ilmunya. Saat pulang ke kampung halamannya, ia disambut dengan suka cita oleh warga setempat.

Baca Juga

Dirinya pun menjadi seorang tokoh panutan masyarakat, khususnya di kawasan Tegal. Setelah pulang ke kampung halamannya di Kajen, Kiai Miftah sempat menikah dengan putri salah satu tokoh Kajen yang bernama Malikha.

Namun, saat pernikahannya baru berusia tujuh hari, Nyai Malikha berpulang ke rahmatullah. Selama lebih dari setahun, Kiai Miftah hidup menduda. Karena kasihan melihat kondisi sang kiai, mertuanya kemudian menjodohkannya dengan seorang wanita bernama Nyai Hj Umi Kulsum.

Sejak saat itu, ia pun mulai membina keluarga. Di tengah masyarakat pun, perannya kian besar sebagai pembimbing umat.

Awalnya sang istri-lah yang pertama kali mengajarkan Alquran dan qir'aat kepada jamaah. Setelah itu, ada beberapa masyarakat yang mengusulkan agar Kiai Miftah juga ikut mengajar. Dengan begitu, pasangan ini menjadi guru keagamaan bagi masyarakat.

Akhirnya, Kiai Miftah memulai membuka majelis pengajian yang membahas Tafsir Jalalain di rumahnya sendiri. Setelah 10 hari mengajar di rumahnya, lokasi pengajiannya kemudian dipindah ke Masjid Al Rodloh. Demikianlah keadaannya sampai menjelang akhir hidupnya.

 

 

Selain itu, Kiai Miftah juga mengembangkan ilmu agama melalui pendidikan formal, dianta ranya ia mendirikan Yayasan Taman Penawaja (pendidikan ahli sunnah waljamaah) yang membawahi pendidikan formal SMP dan SMA. Dalam perkembangannya Penawaja mendapatkan sambutan dan respon positif dari masyarakat.

Setelah berhasil mendirikan Yayasan Taman Penawaja, Kiai Miftah juga terlibat dalam mendirikan Perguruan Tinggi Islam di Kabupaten Tegal, yaitu Institut Agama Islam Bakti Negara Tegal.

Ia juga mendirikan MTs Nahdaltul Ulama (NU) dan SMA NU Wahid Hasyim, MTs NU Sunan Kalijaga, dan Yayasan Amal Umat Islam (Yaumi). Masyarakat Muslim Kabupaten Tegal tidak akan melupakan nama Kiai Miftah karena jasajasanya dalam pembangunan umat. Dengan segala konsekuen dan disiplinnya, ia juga pernah menjadi rais syuriah Pengurus Cabang NU Tegal hingga empat periode dari 1972 sampai 1984.

Baginya, hidup adalah perjuangan dan pengabdian. Itulah yang dijadikan semboyan dalam menjalani hidup. Dalam bukunya yang berjudul "Kiai Miftah Tegal", Abdul Fatah menjelaskan, beberapa kiprah dan perjalanan hidup Kiai Miftah selalu berorientasi pada perjuangan membangun umat agar menjadi manusia yang bernilai di hadapan Tuhan dan manusia.

 

 

Sifat perjuangan Kiai Miftah sudah tampak sejak di pesantren. Contoh konkretnya adalah ketika Kiai Miftah berangkat bersama para santri dalam mempertahankan kemerdekaan, bertempur melawan penjajah pada 10 November 1945 di Surabaya, yang akhirnya tanggal itu ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari pahlawan.

Menurut Abdul Fatah, jiwa perjuangan Kiai Miftah didorong oleh niat suci mencari ridha Allah Swt dan mengamalkan ajaran hadits Nabi SAW, "Khairunnasi anfa'uhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.

 

Selama hidupnya, Kiai Miftah telah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Namun, setiap manusia tidak bisa menolak datangnya kematian. Setelah melakukan pengabdian dan berjuang mewujudkan kemerdekaan, dai ini akhirnya dipanggil oleh Allah Ta'ala pada Senin, 7 Nopember 1994. Umat Islam, khususnya di Tegal, pun menangisi kepulangannya.

 
Berita Terpopuler